Bisa dibilang, hanya sedikit emiten di bursa saham yang bener bener saya terus update.
Salah satunya, Unilever (UNVR). Beberapa kali emiten ini saya bahas dalam berbagai situasi dan kondisi selama beberapa tahun ini. Bisa baca sejumlah postingan soal UNVR ini di s .id /unileverindonesiaplbk. Selain itu, sejumlah postingan saya tentang boikot atau “penolakan” akibat isu Israel VS Palestina pun juga selalu menggunakan UNVR sebagai salah satu sumber informasinya dalam proses analisis maupun opini saya tersebut.
Update kali ini terkait UNVR, yang menurut saya cukup menarik, adalah terkait dengan 2 kejadian dalam waktu berdekatan : tekanan kinerja di Q3 2024 dan rencana pelepasan bisnis es krim Walls-Magnum yang sejalan dengan rencana bisnis Unilever pusat. Berikut ini ulasan dan analisisnya.
=======
Kinerja keuangan UNVR per kuartal 3 2024 bener bener bukan hanya di luar dugaan, namun definisi tekanan yang lumayan kenceng dibanding sebelumnya. Bahkan, dibandingkan pada puncak pandemi 2020-2021 sekalipun.
Laba bersih secara kuartal an menjadi yang terendah sepanjang beberapa tahun terakhir (Rp 543 Milyar vs rata rata Rp 1-2 Triliun), sementara laba bersih 9 bulan 2024 menurun 28% dari posisi serupa di tahun sebelumnya, menjadi Rp 3 Triliun. Dari sisi laba kotor, juga terjadi tekanan, meski masih bisa mempertahankan margin laba kotor di angka 48%. Pendapatan mereka pun juga turun, dimana pendapatan segmen domestik/dalam negeri turun 9,9% menjadi Rp 26,6 Triliun.
Sejumlah media dan akun influencer investasi bolak balik menggoreng penurunan ini sebagai dampak dari situasi boikot yang digoreng terus oleh sekelompok pihak yang mengaku pembela Palestina. Namun, bagi saya ini bukan alasannya. Bahkan (saya harus ulangi lagi), hasil surveinya Trimegah Sekuritas (TRIM) sudah pernah menyebut yang boikot sekitar 1/3 responden. Meski terbilang besar, namun mereka yang boikot ini sifatnya segmented dan tidak mewakili pasar, serta ada potensi konsumen tidak lagi melakukan boikot. Apalagi isu yang melatarbelakangi boikot ini bukan isu yang jadi perhatian utama kebanyakan masyarakat, tidak seperti Pemilu maupun Pilkada tahun ini yang lebih diperhatikan. Masyarakat, suka tidak suka, masih lebih mikir perut daripada apa yang terjadi nun jauh di sana.
Buat saya, ini merupakan situasi yang bisa ditrack lebih lanjut sejak beberapa tahun terakhir, bahkan sebelum pandemi. Tekanan laba dan pendapatan UNVR ini menurut saya disebabkan oleh tantangan persaingan pasar yang makin ketat beberapa tahun ini, dimana pesaing pesaing baru di bisnis bisnis UNVR mulai banyak mengganggu posisi mereka, meski dari sisi market leadership, UNVR masih menempati posisi strategis (klaimnya, masih menempati top 1 di sejumlah kategori). Berdasar survei lembaga riset konsumen Kantar pada laporan mereka di tahun 2024 ini, sejumlah produk unggulan UNVR seperti Lifebuoy, Sunlight dan Royco masih menempati posisi teratas di segmen segmennya. Jikapun bukan yang teratas, posisi mereka bersaing ketat dengan pemain di atasnya (minimal top 3 - top 5).
Hal ini menurut saya wajar adanya, karena memang pasar konsumen sekarang ini jadi memiliki lebih banyak pilihan, sehingga perebutan kue dan mempertahankannya menjadi pekerjaan utama dibandingkan hanya sekadar melempar inovasi tanpa arah. Ini yang nampaknya sedang dikerjakan oleh UNVR, untuk menjaga posisi mereka tetap kompetitif di pasar. Sejumlah strategi terus dijalankan, seperti inovasi inovasi yang menonjolkan kelebihan, menawarkan produk yang sama dengan harga yang murah (melalui kemasan sachet misalnya) dan meningkatkan fokus di premiumisasi produk.
Namun, situasi ekonomi saat ini memberi tekanan tambahan pada kinerja UNVR. Ini memicu “perang” harga antar produk yang makin kencang. Tantangan dari harga komoditas utama pun juga memberi tekanan lebih. Yang lain, sejumlah strategi teknis yang dilakukan internal terkait dengan supply chain dan distribusi menyebabkan adanya penyesuaian dan menekan kinerja. Belum lagi investasi dari sisi promosi yang belakangan makin gencar dilakukan UNVR, dan meningkat dari sisi persentase bebannya.
Bisa dibilang, UNVR saat ini sedang dalam “perbaikan”, yang diharapkan bisa memberi hasil pada 2025. Situasi ini mirip seperti yang sedang dilakukan Unilever pusat, yang juga sedang dalam proses “perbaikan”. Proses ini disebut sebagai Growth Action Plan 2030. Rancangan ini digelar sejak 2023 lalu, diawali dengan perubahan pucuk pimpinan Unilever pusat yang dilanjutkan sejumlah inisiatif strategis untuk memperbaiki pertumbuhan bisnis. Salah satunya, yang cukup menuai perhatian pelaku pasar, adalah pelepasan atau spinoff dari bisnis es krim Unilever (Walls, Magnum dsb).
Secara teknis, spinoff ini membuat bisnis es krim tersebut membentuk entitas publik terpisah, dimana pemegang saham Unilever pusat memiliki 2 entitas berbeda. Mirip mirip lah dengan apa yang dilakukan Alamtri x Adaro (ADRO x AADI) baru baru ini, meski bedanya ini murni spin off tanpa ada “drama” bagi dividen dan PUPS. Hal ini kemudian harus dilaksanakan oleh anak anak usaha Unilever di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hal inilah yang kemudian baru baru ini diumumkan manajemen UNVR dalam keterbukaan informasinya, berupa penjualan dan pengalihan aset aset es krim ke PT The Magnum, entitas khusus terkait aksi korporasi ini.
Peristiwa pelepasan begini bukan barang baru untuk Unilever pusat. Sebelumnya, bisnis teh Unilever di seluruh dunia (seperti Lipton), kecuali di Indonesia dan India, dilepas dengan penjualan bisnis ke entitas baru bernama Ekaterra pada 2021. Entitas ini dimiliki oleh private equity CVC. Sebelum pandemi, Unilever pusat juga menjual bisnis margarin Blue Band mereka ke Upfield (kini Flora Food Group), yang dimiliki oleh private equity KKR.
Setelah pelepasan bisnis es krim ini, Unilever hanya memegang 4 bisnis utama yang ada saat ini : home care, personal care, beauty and foods. Keempat bisnis utama ini memegang masing-masing sekitar 24-26% dari pendapatan/turnover Unilever secara global (setelah mengeluarkan es krim). Penyelesaian atas spin off ini secara global sepenuhnya dilakukan di 2025.
Alasan pelepasan bisnis es krim ini, baik yang diungkap manajemen UNVR maupun Unilever pusat mirip mirip. Alasannya : refokus bisnis, integrasi dan sinergi yang tidak bisa maksimal karena bisnis es krim sangat capital intensive (terutama dalam proses distribusi/supply chain), serta masalah pertumbuhan bisnis es krim yang lebih rendah dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan bisnis Unilever dan UNVR secara umum.
Terkhusus Indonesia, meski Unilever mengakui bahwa Walls masih leading di market dengan sekitar 60% pangsa pasar (perhitungan kemungkinan hanya di modern market/supermarket dan minimarket), namun persaingan pasar memang menjadi ketat beberapa tahun ini (pengaruh es krim Aice yang agresif?)
dimana pertumbuhannya melambat dan membuat mereka memilih untuk melakukan refokus bisnis dan reinvestasi di 4 bisnis tadi.
Tentu bagi sebagian investor, akan menganggap ini sebagai “kemunduran”. Apalagi memang tantangannya untuk back to growth akan tergantung pada pemulihan ekonomi Indonesia, yang tidak dikontrol oleh Unilever. Namun, “bersih bersih” seperti ini adalah langkah positif yang tentunya sangat diharapkan bisa memperbaiki kinerja, apalagi tema besar dalam dunia bisnis secara umum - dalam ketidakpastian kedepannya - adalah efisiensi dan sinergi. Selain itu, sentimen positif berupa potensi dividen hasil penjualan bisnis es krim ini tentu bisa memperbaiki citra mereka dalam persepsi pelaku pasar yang beberapa tahun ini cukup sering “membully” UNVR.
Let's see ~
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $UNVR $MYOR $ICBP $MRAT
1/2