Salah satu action yang diluncurkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam 100 hari pertama jabatannya adalah pendirian sebuah lembaga pemerintah baru.
Namanya adalah Danantara. Nama lengkapnya adalah Daya Anagata Nusantara, sebuah lembaga investasi pemerintah yang bakal lebih besar dari sisi kekuasaan dan pengelolaan aset investasi dibandingkan SWF yang sudah dibangun oleh era Presiden sebelumnya, INA atau Indonesia Investment Authority. Anagata berarti adalah masa depan, sehingga Daya Anagata Nusantara berarti daya masa depan Nusantara. Sebuah nama yang bagus.
Tapi bentar bentar, SWF ini apa sih? Kenapa lembaga lembaga seperti ini, yang sudah dibangun di banyak negara, perlu diadakan?
======
SWF (sovereign wealth fund) Atau terjemahan bahasa Indonesia secara kasarnya adalah dana kekayaan pemerintah, merupakan dana investasi yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengelola aset aset pemerintah yang berasal dari sejumlah sumber. Sifatnya SWF ini sebagai dana abadi yang bisa menjadi tambahan pendapatan negara (secara langsung dan tidak langsung), sekaligus menjadi sumber dana alternatif untuk pembangunan negara, seperti infrastruktur.
SWF ini sudah dibentuk oleh beberapa negara, utamanya negara negara yang maju - atau paling minimal ekonominya memungkinkan mereka punya simpanan untuk diinvestasikan dalam dana abadi ini. Negara negara seperti Singapura, Uni Emirat Arab hingga Norwegia sudah melakukan hal ini dan mereka aktif berinvestasi di sejumlah negara melalui berbagai tipe aset, seperti saham dan obligasi, investasi di perusahaan tertutup hingga jenis investasi alternatif seperti real estate atau properti dan infrastruktur. Sejumlah SWF ini sudah ada yang berinvestasi di Indonesia, melalui berbagai tipe aset tadi. Keberadaan mereka di lantai bursa, misalnya, bisa terlihat dari kepemilikan mereka di sejumlah emiten big caps sebagai investor publik.
Namun, tak jarang mereka langsung melakukan investasi dalam jumlah yang relatif signifikan dari sisi porsi sahamnya. Misalnya yang sering dilakukan SWF Singapura, GIC (Government of Singapore Investment Corporation) di beberapa emiten di bursa. Mereka tergolong aktif dalam investasi investasi di sejumlah sektor, misalnya konsumer, infrastruktur, kesehatan dan teknologi. Yang terbaru adalah investasi minoritas mereka di tol Trans Jawa milik Jasa Marga (JSMR) bersama grup Metro Pacific/Nusantara Infrastruktur (META). Jejak mereka juga terlihat di sejumlah emiten, seperti Elang Mahkota Teknologi (EMTK) dan Famon Awal Bros Sedaya (PRAY).
Cara kerja investasi para SWF ini umumnya ada 2. Pertama, investasi langsung atas nama pemerintah negara tersebut. Kedua, investasi melalui SPV (Special Purpose Vehicle) yang dibentuk khusus untuk melakukan investasi. Atas SPV ini, mereka tidak mengkonsolidasikan laporan keuangan SPV ini, sehingga hanya mencatat nilai wajar investasi di SPV ini. Jalan yang kedua ini juga umum dilakukan banyak investor institusi lain, seperti private equity (CVC, Bain, General Atlantic, KKR dsb), yang merupakan prinsip pemisahan yang umum di produk produk investasi dan keuangan (pengelola terpisah dengan dana yang dikelola).
Mengikuti jejak negara negara tersebut, Pemerintah Indonesia membentuk SWF tersendiri bernama INA, atau Indonesia Investment Authority. Bahasa resminya, Lembaga Pengelola Investasi. INA dilahirkan melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja, yang kemudian diformalisasi melalui penyuntikan modal perdana pada 2021 dan inbreng (pemasukan) sebagian saham Bank BRI (BBRI) dan Bank Mandiri (BMRI) milik pemerintah di tahun yang sama. Berbeda dengan SWF lain yang menggunakan cadangan negara, SWF INA ini cenderung menggunakan pola kerja sama dengan investor untuk bersama sama berinvestasi di portofolio mereka. Per 2023, INA sudah memiliki aset senilai Rp 116 Triliun, dimana yang digolongkan sebagai investasi adalah Rp 103 Triliun. Namun, Asset Under Management (AUM) INA sendiri sudah mencapai Rp 147 Triliun, yang merupakan aset bersama dengan sejumlah investor tadi.
Jejak INA cukup banyak di lantai bursa. Mereka “menolong” Waskita Karya (WSKT) melalui sejumlah transaksi pelepasan investasi jalan tol WSKT, serta melakukan investasi di beberapa ruas tol Trans Jawa. Sementara mereka memiliki sejumlah saham emiten di bursa, seperti BBRI-BMRI, Pertamina Geothermal Energy (PGEO), Mitratel (MTEL) dan saham dari anak usaha emiten di bursa, Kimia Farma Apotik. Hampir sebagian besar investasi mereka selalu berkaitan dengan BUMN dan anak usahanya. Hal ini kemudian diperjelas dengan posisi Menteri BUMN yang menjabat anggota Dewan Pengawas SWF ini.
Perkembangan INA pun relatif cukup menggembirakan dengan dana dan AUM yang sebenernya jauh lebih kecil dari kebanyakan SWF negara negara lain. Itu juga yang mungkin membuat investasi mereka memang masih terbatas di Indonesia saja.
Saat eksplorasi SWF INA ini masih dalam tahap awal, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto justru membentuk satu lembaga baru yang mirip mirip. Namanya Danantara, Daya Anagata Nusantara. Lembaga ini tengah dalam persiapan peraturan yang melandasi kehadiran lembaga tersebut. Wacananya, Danantara ini mungkin akan lebih mirip Temasek dan Khazanah, dua BUMN Singapura dan Malaysia, yang memegang banyak perusahaan berskala besar. Istilahnya, Danantara ini mungkin akan diproyeksikan sebagai superholding dari BUMN, terutama BUMN BUMN yang memberi kontribusi kepada negara dengan jumlah signifikan, seperti bank bank BUMN dan Telkom (TLKM).
Tentu ini menimbulkan kebingungan tersendiri, kenapa harus dua? Bener bener terinspirasi dari Singapura, sampai bikin dua segala. Namun, wacana yang beredar menyebut bisa jadi kedepannya INA akan terintegrasi (merger? Atau konsolidasi?) dengan Danantara. Apalagi melihat proyek dan investasi yang didanai INA masih berputar di BUMN, sama dengan tujuan Danantara. Akan ada irisan irisan yang muncul, sehingga pemerintah perlu memperjelas fungsi dan perbedaan dari masing-masing ini. Selain itu, jika memang perlu memperjelas perbedaan keduanya, salah satu yang harus difokuskan adalah diversifikasi investasi INA ke swasta. Saat ini, investasi yang berjalan terkait Swasta adalah pinjaman dan waran di Traveloka (Loka Holdings) dan investasi di pengelola pergudangan dengan ESR Group (perusahaan pengelola pergudangan) dan Mitsubishi.
Selain menghindari anggapan INA ini cuma tempat “bersih bersih” BUMN, diversifikasi ini memungkinkan peran INA yang lebih jauh dalam ekonomi dan keuangan di Indonesia.
Oh ya, ada yang menggolongkan Temasek sebagai SWF juga, meski kalau melihat dari tujuan utama sih, hanya GIC yang lebih cocok disebut SWF. Temasek itu BUMN mereka.
Begitu ~
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $BBRI $KAEF $PGEO $MTEL
1/2