Terkadang dalam waktu senggang, saya masih bisa menyempatkan nonton TV - baik nonton di perangkat TV langsung maupun nonton VOD (Video On Demand) dari program TV yang sudah ditayangkan.
Salah satunya, adalah menyaksikan serial FTV. Tayangan yang kini jadi andalan beberapa stasiun TV di waktu siang hingga sore hari ini kadang kadang saya tonton sekadar untuk melepas kejenuhan. Meski saya paham jalan cerita FTV jaman sekarang terkadang kurang kreatif, sampai akhir ceritanya cukup mudah ditebak, namun saya menganggap itu hanya sebagai hiburan semata. Just relax aja lah wkwkwk ~
Namun, beberapa hari lalu ada judul FTV yang ceritanya menurut saya “agak laen” temanya dibandingkan kebanyakan FTV yang ada saat ini. Kebanyakan kisahnya FTV sekarang antara “benci jadi cinta” ala remaja-dewasa muda, atau ya selingkuh. Dua topik simpel dan gampang dipahami, serta dijamin laku kalau mau dibikin format apapun. Namun ini berbeda. Kebetulan, tema FTVnya berhubungan soal keuangan, tentu dalam koridor rumah tangga - genre khas FTV, sehingga membuat saya tertarik membahasnya.
(mengandung spoiler tingkat tinggi)
======
FTV tersebut tayang hari Kamis minggu lalu, di Indosiar. Judulnya tipikal FTV Indosiar pada umumnya, yang selalu pakai kata “derita”, “t3r0r”, “mendua” dan kata negatif lainnya : “Derita Memiliki Istri yang Hidup Sederhana”. Aneh sih judulnya, karena terkesan kek “orang orang banyak berharap pasangan yang mau hidup sederhana, kok ini malah menderita?”. Namun saat menonton full, hampir setengah dari durasi fullnya (tanpa iklan 1 jam 20 menit, setengahnya sekitar 40-50 menit) saya ngakak terus terusan untuk genre FTV yang sebenernya serius ini - tentu tidak ada sound effect ketawa ala Bajaj Bajuri.
Jadi, disebut “derita” karena si istri ini kebangetan hematnya - dan ini titik lucunya. Saking kebangetannya, satu keluarga (suami, adik ipar dari sisi suami, ibu mertua dan asisten rumah tangga) ngga boleh pakai mesin cuci, AC, motor dan sejumlah barang barang lainnya. Penggunaan setrika dibatasi hanya untuk pakaian keluar, tapi pakaian rumah tidak perlu setrika. Sang asisten rumah tangga pun harus jalan kaki ke pasar dan catatan pengeluaran (bon) harus diberikan ke majikannya (istri).
Segala pengeluaran dan pemasukan diperhitungkan si istri sampai detail detailnya, sehingga dia bakal marah marah jika ada kekurangan uang kembalian, padahal kadang cuma kurang berapa ribu aja. Tagihan listrik naik Rp 90 ribu, mikirnya seperti kenaikan tagihan listrik jutaan. Yang parah, sayur mendekati busuk (layu) dimasak lagi - dengan prinsip yang penting harus habis baru beli lagi, yang menyebabkan satu keluarga keracunan makanan.
Yang lebih unik, saat sang istri jatuh sakit, dan perawatannya dibiayai asuransi (jarang jarang sinetron atau FTV di TV Indonesia pakai istilah ini) sang istri malah kesel kenapa malah ada duit keluar buat premi asuransi. Pas di adegan ini, saya makin heran (plus makin ngakak) dan ini terkesan berkebalikan dengan prinsip “hemat”. Dibanding keluar ratusan ribu sampai jutaan buat perawatan inap plus obat dsb, dijamin pasti sama keselnya. Kebangetan hematnya ini, berkebalikan dengan profil suaminya yang diceritakan tergolong mampu, jadi manajer di cafe.
Secara logis, dan berdasarkan pengalaman yang saya denger dari beberapa orang, sebenernya kebangetan “hemat”nya (alias sangat pelit) seperti ini itu jarang terjadi. Orang pelit ada, orang perhitungan ada, tapi yang sampai “mengorbankan” kenyamanan seperti ini - hingga keracunan, keknya agak gimana gitu. Tega amat sama keluarga sendiri.
Biasanya dalam kehidupan nyata, orang orang pelit begini tidak bener bener hemat di semua sektor. Mereka biasanya akan irit di hal hal yang ngga kelihatan di muka publik, tapi dalam presensi atau kehadiran di muka publik (tetangga, temen dsb), justru jaga image (jaim) banget. Misalnya di luaran kelihatan royal, bagi bagi duit, bantu bantu orang, kelihatan orang kaya banget. Tapi di balik layar, di internal keluarga, malah sang istri disuruh talangin belanja (reimburse) dulu baru ditagih ke suaminya. Sudah macam paylater saja.
Yah, saya kemudian sadar bahwa cerita yang lebay binti aneh ini adalah bagian dari strategi penceritaan alias dramatisir - tentu menarik penonton, sekaligus eksperimen. Sepertinya penulis skenario yang mengerjakan episode ini mencoba untuk memasukkan unsur komedi yang cukup kental, untuk menyegarkan cerita - yang juga diakui lucu oleh pemainnya sendiri. Sayangnya, percobaan ini juga agak mengurangi detail detail - misalnya seberapa berkecukupannya si suami, yang mungkin bisa membantu memahami mengapa si istri sampai harus melakukan tindakan hematnya menuju sangat pelit.
Namun cara kerja drama Indonesia di TV yang kejar tayang (stripping), membuat saya jadi “memaklumi” situasi itu. Sebagai sebuah percobaan, ternyata ini cukup berhasil. Kinerja rating FTV ini di waktu tayangnya dilaporkan menjadi yang tertinggi, diantara banyak program televisi di jam tayang yang sama. Secara kebetulan memang FTV Indosiar dalam beberapa tahun ini cukup mendominasi kinerja rating TV di jam tayang siang-sore hari. Hanya memang saya agak tidak menyangka topik non perselingkuhan, bisa punya performance yang sama bagusnya.
Keluar dari itu semua, saya salut bahwa kata asuransi dan dana darurat, dua kata dalam dunia keuangan, dipergunakan dalam skenario episode FTV ini. Sebuah hal yang sangat sangat jarang digunakan di sinetron atau FTV manapun - bahkan dari rumah produksi yang sama dengan yang memproduksi FTV ini.
======
Menjelang akhir cerita, drama pun kembali dikeluarkan. Ada sosok misterius (ciri khas FTV Indosiar belakangan ini) yang mengganggu si istri, yang ternyata kerjaan dari asisten rumah tangga yang disuruh oleh ibu mertuanya serta kerjaan dari seseorang yang pernah suka pada suaminya dulu, namun kali ini diceritakan ia kepepet ekonomi sehingga harus mencuri kalung si istri buat dijual. Istri tersebut kemudian ngambek dan pergi dari rumah, karena lama kelamaan capek menghadapi “teguran” satu keluarga suaminya itu.
Akhirnya, terkuaklah alasan mengapa si istri kebangetan pelitnya. Alasannya, karena si istri trauma dengan masa kecilnya, yang awalnya hidup dalam kondisi berkecukupan - semua dipenuhi dan diberi orang tuanya, namun rollercoaster kehidupan membawa mereka jatuh secara ekonomi dan membuat si istri jadi yatim piatu karena kondisi keluarga yang memburuk (orang tuanya sakit sakitan dan stress). Si istri harus berjuang dengan kondisi apa adanya, sehingga ia menjadi lebih takut jika (misalnya) besok ngga kerja, ngga ada uang, atau ada masalah, terus kehidupannya gimana?
Sebuah kekhawatiran dan ketakutan yang valid, dan jadi relate dengan kebanyakan orang. Apalagi dengan situasi hari hari belakangan ini. Apalagi jika kita sedang merencanakan sesuatu dan usaha nabung macam yang dilakukan Kalula di film Home Sweet Loan. Hal hal ini yang sulit kita antisipasi, dan sepenuhnya di luar kontrol kita, sehingga tentu kita sendirilah yang harus bisa mengartikan, mengarahkan apa yang bisa dilakukan oleh kita sendiri.
Berpikir tentang berbagai kemungkinan tentu boleh, tapi tetap harus terukur dan ngga menjadi ketakutan berlebihan. Istilah awamnya, gas dan rem harus tetap dijalankan sesuai dengan apa yang kita lihat dan mempertimbangkan apa yang orang sekitar kita, yang kita bawa ini perlukan.
Begitu ~
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $BBCA $BBRI $SCMA $MNCN
1/2