imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

NAV (Net Asset Value) emiten properti.

Karena emiten di sektor properti termasuk yang paling merana kena 'Trump Effect' dan kuatnya USD.
Tulisan ini sengaja bikin tambah pusing 馃ぃ

Misalnya ada suatu emiten properti punya cadangan lahan (landbank) 1.000 hektare atau 10 juta m2.

Tanah itu tercatat di buku (laporan keuangan) bagian aset 'Tanah Untuk Dikembangkan' dan atau 'Persediaan' sebesar Rp 10 triliun.
Berarti kalau dirata-rata harga belinya Rp 1 juta per m2.

Nah tanah itu diperkirakan cuma bisa digarap untuk dijual sebanyak 60% dari total luas, atau 600ha (6 juta m2).
Karena 40% sisanya digunakan untuk sarana prasarana dan ruang terbuka hijau (jalan, trotoar, taman, gedung warga, lapangan, pos security, dll).

Diperkirakan juga tanah tersebut setelah digarap dan dibangun, rata-rata bisa dijual dengan harga (ASP / average selling price) Rp 10 juta per m2.

Maka total asset value dari tanah tersebut adalah Rp 10 juta per m2 dikali 6 juta m2 = Rp 60 triliun.

Tapi, kalau terlebih dahulu ASP Rp 10 juta per m2 dikurangi dengan rata-rata harga beli Rp 1 juta per m2, maka didapat net ASP Rp 9 juta per m2.
Jadinya net asset value (NAV) Rp 54 triliun.

Modal tanah Rp 10 triliun, bisa jadi bernilai Rp 54 triliun, kelihatan bagus 馃憤
Jadi seharusnya market cap (valuasi saham = harga saham dikali jumlah saham beredar) pantasnya sama dengan NAV Rp 54 triliun ?

.............................................
Nanti dulu, namanya juga usaha, tentu ada pengorbanan (beban) yang harus dikeluarkan untuk bisa merealisasikan NAV itu.

Pertama, Beban Pokok Penjualan.
Selain harga beli tanah yang tadi sudah masuk ke hitungan net ASP dan NAV, jangan lupa ada ongkos pematangan lahan dan ongkos konstruksi.
Nilainya akan makin besar seiring dengan naiknya kuantitas penjualan (variable cost).

Kedua, Beban Penjualan.
Biaya seperti promosi marketing, gaji bonus komisi insentif marketing, dll.
Nilainya juga cenderung naik seiring naiknya aktivitas penjualan, walaupun laju kenaikan biaya ini biasanya lebih kecil dibanding laju kenaikan penjualan (lebih banyak jualan jadi lebih hemat).

Ketiga, Beban Administrasi dan Umum.
Biaya seperti gaji karyawan administrasi, pemeliharaan kawasan, perlengkapan kantor dan umum, dll.
Nilainya cenderung stabil berapapun tingkat penjualan yang dicapai (lebih banyak unsur fixed cost).

Keempat, Beban Keuangan.
Kalau beli tanah di awal atau untuk menggarap lahan itu ternyata perusahaan mesti berutang ke bank atau menerbitkan obligasi, maka tentu ada beban bunga yang muncul.
Bunga tersebut akan terus membebani dari periode ke periode selama utang belum dilunasi (fixed cost).

....................................................
Misalnya, perusahaan di atas punya proporsi beban pokok penjualan 50% dari total penjualan.

Beban Penjualan diperkirakan Rp 150 miliar setahun.
Beban Adm dan Umum Rp 150 miliar setahun.
Beban Keuangan Rp 200 miliar setahun.

Maka minimal perusahaan tersebut harus dapat jualan Rp 1 triliun setahun, hanya untuk impas (tidak rugi).
(1T x 50%) - 150M - 150M - 200M = 0

Dengan tingkat jualan Rp 1 triliun setahun, maka dengan ASP Rp 10 juta per m2, konsumsi lahan adalah 100 ribu m2 per tahun.
Jadinya, tanah net yang bisa dijual 6 juta m2 akan habis dalam kurun waktu 60 tahun.

Tapi 60 tahun ya cuma impas aja, gak ada lebihnya.
Hitungan NAV Rp 54 triliun tadi boleh dibilang 'menguap' jadi beban-beban yang dibayar. Paling cuma dapat kembalian duit beli tanah di awal aja.

Nah apalagi kalau jualannya di bawah Rp 1 triliun setahun, pasti tekor alias rugi.

Kalau jualan Rp 2 triliun setahun, baru deh ada untung Rp 500 miliar setahun.
(2T x 50%) - 150M - 150M - 200M = 500M.
Tanah akan habis dalam kurun waktu 30 tahun, namun akan terkumpul value (profit) Rp 15 triliun.
Artinya masih dapat 27,78% dari perkiraan NAV Rp 54 triliun.

Kalau jualan Rp 4 triliun setahun, baru deh ada untung Rp 1,5 triliun setahun.
(4T x 50%) - 150M - 150M - 200M = 1,5T.
Tanah akan habis dalam kurun waktu 15 tahun, namun akan terkumpul value (profit) Rp 22,5 triliun.
Artinya masih dapat 41,67% dari perkiraan NAV Rp 54 triliun.

........................................
Dari simulasi di atas bisa disimpulkan kalau NAV itu tidak serta merta bisa terpenuhi seutuhnya, dan menjadi "riskan" kalau market langsung menghargai saham setara atau bahkan melebihi perkiraan NAV-nya.

Maka itu realisasi NAV sangat tergantung faktor :

1. Tingkat ASP (harga rata-rata penjualan).
Walaupun seiring waktu ASP bisa naik seiring harga jual properti di lokasi strategis yang naik. Tapi tentu juga bisa ketat bahkan turun dengan adanya persaingan, lemahnya pasar properti (ekonomi), perubahan tata ruang pemerintah yang menurunkan nilai strategis dari kawasan, dll.

2. Tingkat Beban.
Berapa margin laba kotor yang bisa diperoleh. Tingginya beban penjualan dan beban adm umum, serta berapa beban bunga utang yang harus dibayar.

3. Seberapa Cepat Jualan.
Makin cepat jualan, makin banyak biaya dari waktu ke waktu yang bisa dihemat, makin cepat dan besar juga NAV yang bisa terealisasi.

4. Tingkat Utang Berbunga (Debt).
Adanya debt mengindikasikan sebagian NAV merupakan bagian "milik" kreditur.
Jadi NAV yang seutuhnya milik pemegang saham seharusnya pun sudah dikurangi nilai debt (utang bank/obligasi) ini.

5. Faktor Lainnya.
Pemenuhan fasilitas dan janji marketing, seberapa bagus pelayanan penghuni dan pengembangan kawasan, hubungan dengan lingkungan dan masyarakat sekitar (banjir, keamanan, kebakaran, polusi, beres tidaknya urusan jual beli pembebasan tanah), dll.

................................................
Kesimpulan:

Mau menghitung NAV untuk memperkirakan harga wajar saham properti itu tidak salah.
Tapi harus tau kalau di dalamnya sangat banyak perkiraan dan asumsi.
Tiap orang bisa beda-beda memasukkan angka walaupun alur pikirnya sama sekalipun.

Dan sebenarnya 'tanah' bagi emiten properti tak ubahnya adalah 'persediaan barang dagang' biasa bagi emiten lain.
Hitungan NAV ya bisa overestimate kalau laku persediaannya gak sekencang itu.

Jadi kalau ada emiten properti yang harga sahamnya sudah di atas PBV 1, dan NAV digunakan untuk menjustifikasi harga tersebut.
Bukannya gak boleh dan gak bisa, tapi hati-hati. Lebih baik gunakan asumsi-asumsi paling konservatif ke rumus NAV.

Lalu kalau ada emiten properti yang dihargai di bawah PBV 1.
Memang betul mungkin market meragukan emiten tersebut bisa merealisasikan NAV nya.
Ujung-ujungnya jualan lambat, gak nutup beban-beban, rugi. Apalagi kalau pengadaan tanah dan konstruksinya pakai debt. Nilai tanah tercatat di laporan keuangan bakal 'menguap' begitu saja.

Namun walaupun banyak faktor pengurang, emiten yang dihargai di bawah PBV 1 justru punya peluang besar.
Asalkan faktor pengurang ini lama-lama bisa dieliminir, dan dipastikan faktor pengurangnya masih lebih kecil dibanding NAV-nya, jadi gak bikin NAV minus.

Soalnya emiten yang seperti ini, jangankan sahamnya dihargai di bawah NAV (harga jual rata-rata), ini malah dihargai di bawah nilai buku (harga beli rata-rata) 馃

Contoh nih emiten punya tanah Rp 11,1 triliun, dengan luas tanah 1.943ha, artinya harga beli tanah cuma Rp 571 ribu per m2.
Ini belum termasuk aset-aset lainnya ya.

Market cap emiten ini cuma Rp 3,28 triliun. Walaupun ada utang bank (debt) Rp 6,16 triliun.

Pakai rata-rata harga beli aja (nilai buku), gak perlu asumsi pakai harga jual saat ini, maka tanah "milik" pemegang saham masih Rp 4,93 triliun (11,1T dikurang 6,16T).

Kalaupun dikurangi beban-beban setahun sekitar Rp 1,5 triliun, masih ada nilai buku bersih dari tanah sebesar Rp 3,43 triliun.

Artinya nih emiten kalau dilikuidasi sekarang seharga nilai buku pun pemegang saham masih untung 馃槀

Market cap Rp 3,28 triliun < nilai buku diskon dari tanah (bukan NAV) Rp 3,43 triliun.

Jadi, kalau realita di lapangan emiten ini mengalami kenaikan marketing sales. Launching produk barunya diminati pelanggan.
Masa iya masih mau dihargai dengan nilai buku Rp 571 ribu per m2. Masih didiskon pula.

Plus utang yang berangsur dicicil, makin berkurang tuh utang, dan masih bisa beli cadangan tanah baru.

Biar adil nih emiten dihitung lah dengan NAV juga 馃
Ya tapi nanti juga dihargai lebih baik kok, selama belum dihargai begitu ya enjoy the "safe" wave.

Jangan anda marah-marah cuma kegulung ombak kecil.

.............................................................
Naga laut di Utara, naga gunung di Selatan.

Lumayan lah di Tengah ada cacing kecil buat umpan mancing 馃槀

Sekian. semoga makin pusing 馃憤

$BSDE $PANI $CTRA $ASRI $SMRA

Read more...
2013-2024 Stockbit 路AboutContactHelpHouse RulesTermsPrivacy