Masih soal boikot.
Salah satu argumen yang sering dikeluarkan oleh kang boikot untuk membenarkan langkah mereka adalah : ini sekaligus sebagai support kepada produk lokal, dimana duitnya “hanya” beralih ke produk produk lokal, sehingga bisa memajukan produk produk ini dan ujungnya mengatasi dampak PHK akibat boikot ini. Argumennya berulang ulang terus, macam buzzer politik yang mudah kebaca pola narasinya.
Logika ini memang terlihat benar. Namun, apakah dunia konsumen dan sektor konsumer semudah itu beralih dan apakah memang dampaknya sebesar apa yang mereka gaungkan untuk produk produk lokal tersebut? Nampaknya ngga sesimpel itu.
======
Ada banyak alasan konsumen memilih sebuah produk atau layanan. Secara simpel, ada 3 alasan utama : branding-marketing, harga dan emosional. Tiga alasan ini juga yang mempengaruhi perubahan preferensi atau minat terhadap produk atau layanan.
Alasan branding-marketing adalah faktor yang dibentuk oleh produk atau layanan itu. Biasanya merupakan strategi yang tersusun dengan tujuan membentuk persepsi yang relate dengan tujuan pasar (segmentasi), misalnya sebagai produk yang membantu, produk yang lengkap dan produk yang keren. Produk yang murah pun, juga adalah persepsi yang bisa dibentuk oleh produk layanan tersebut. Namun demikian, persepsi ini akan melawan persepsi yang terbentuk di sisi pasar atau konsumen, oleh berbagai sebab. Misalnya isu isu yang berada di sekitar produk tersebut, situasi kondisi ekonomi dan sosial hingga persaingan yang terbentuk di pasar, termasuk adu strategi yang terbentuk disisi kompetitor.
Alasan harga dibentuk oleh supply demand di pasar, serta tentunya beban produksi dan promosi yang dicover produsen - termasuk bahan baku dan beban COGS (beban pokok). Dalam konteks sektor konsumen, supply demand ini biasanya ditentukan dari sisi persaingan di pasar, misalnya dari range harga dan segmentasi pasar yang terbentuk dari persaingan. Ada pemain yang memasuki segmen pasar premium, dengan harga yang lebih tinggi, dan ada pemain yang memasuki segmen pasar mass-market dengan harga yang lebih terjangkau. Disini memang produk tersebut harus bener bener stand out, bener bener kelihatan menonjol di segmen pasarnya, ngga bisa setengah setengah. Perlu ada strategi terintegrasi dengan branding marketing tadi.
Alasan yang terakhir adalah emosional. Alasan ini biasanya cenderung organik, alias berasal dari pasar atau konsumen. Misalnya isu isu viral atau tren di konsumen. Boikot, bisa jadi satu dari sekian banyak dari alasan emosional ini. Seperti namanya, alasan emosional ini diarahkan oleh reaksi sesaat dan pengaruh yang lebih kuat, misalnya karena lebih nyaring terdengar, lebih sering disebut dan jadi kesadaran banyak orang. Namun, alasan ini biasanya akan cepat surut atau mereda, karena untuk bisa menggaungkan isu atau tren itu perlu panjang napas, konsistensi dan perlu strategi melawan isu lain yang muncul berikutnya serta lebih rame. Alasan ini juga kurang kuat mengubah preferensi, kecuali jika sudah sampai tahap cuci otak atau prinsip.
Ngerti kan kenapa sampai sekarang ajakan boikot dan isu isu terkait boikot, termasuk kerugian atau tutupnya bisnis yang dianggap berpengaruh, selalu digaungkan? Untuk menunjukkan power, propaganda dan sekaligus cuci otak, sehingga mengarah ke buzzer - selayaknya buzzer politik. Polanya itu persis banget.
Dalam tahap ini, sebenarnya kita perlu bertanya, memangnya sengaruh itu mereka mereka ini pada urusan preferensi konsumen?
Seperti yang pernah saya ceritakan tentang hasil riset Trimegah Sekuritas Indonesia (TRIM) soal Unilever (UNVR) yang bisa dibaca di s. id/hasilrisetunvrplbk, responden dalam riset online mereka ini menerangkan posisi kang boikot ini sekitar 30%-an dari responden mereka. Sisanya, adalah mereka yang ngga ikut aksi dan ada sebagian kecil yang sudah tidak ikut boikot. Meski kelihatan besar, tapi posisi mereka sebenernya ngga sebesar itu. Setidaknya kalau kita berkaca pada isu bansos di Pemilu 2024 lalu yang lebih signifikan berpengaruh dibandingkan isu isu seperti ini.
Mereka ini, umumnya cuma kuat nyaring suaranya, tapi sebenernya ngga terlalu seberdampak itu. Mereka mungkin bisa mendrive isu, membuat strategi produk produk yang terdampak harus berubah untuk melawan persepsi, tapi mereka kalah oleh realitas bahwa tidak semua orang peduli dengan isu yang mereka sampaikan. Ini tidak sama dengan menganggap apa yang terjadi di sana tidak kejam ya, karena secara manusiawi semua pasti akan prihatin, sedih dan kesal. Namun demikian, tidak semua orang ikut boikot. Kenapa?
Ada isu yang jauh lebih serius dan ini yang mempengaruhi apakah dampak boikot bisa berpengaruh ke produk lokal. Pasar konsumen Indonesia sendiri cenderung price sensitive. Seperti di postingan ini (s. id/mikirinhargaplbk), isu mengenai harga menjadi sangat penting. Harga ini berkaitan dengan kondisi ekonomi dan daya beli, dan dalam situasi saat ini, tentu kebanyakan orang masih akan memprioritaskan untuk memikirkan hal ini dibandingkan boikot. Selain dari sisi isunya tidak semua orang relate dengannya, ikut boikot artinya membatasi pilihan dan ini akan membingungkan disisi konsumen yang sudah pusing dengan perbandingan harga.
Itulah sebabnya, saya melihat situasi boikot ini tidak memberi dampak semenggelegar narasi boikot itu sendiri, termasuk kepada produk produk lokal yang dianggap akan berpengaruh positif. Kenyataannya, pertarungan yang serius di depan mata adalah pertarungan harga, yang menjadi perhatian. Konsentrasi kebanyakan konsumen tentu adalah mengendalikan daya beli dan ini cenderung menguntungkan produk produk yang berharga lebih murah - baik produk yang kena dampak maupun tidak. Produsen pun, tentu akan lebih berfokus pada strategi harga ini, yang lebih bisa dihitung secara keuangan.
Bahkan, di sesama produk lokal yang tidak kena dampak pun juga pertarungan seriusnya sama aja, sama sama harga juga. Apalagi di segmen atau kategori yang memang kompetisinya ketat, misalnya makanan minuman, skincare, kosmetik dsb. Apalagi ditambah dengan banjir impor produk asal Tiongkok. Definisi bener bener keras.
Yang tidak disadari kang boikot, kebanyakan produk lokal yang mereka rekomendasikan umumnya adalah produk yang harganya memang murah. Artinya, mereka sebenarnya juga mengakui bahwa isu ekonomi dan daya beli ini lebih kuat dampaknya bagi mereka sendiri, jauh lebih kuat daripada boikot. Saya pun juga yakin, mereka pun juga banding bandingin harga antar sesama produk lokal atau dengan produk asing yang non boikot - termasuk dari Tiongkok. Jadi sama aja kan, cuma bedanya pilihannya dipersempit oleh mereka sendiri.
Itu alasannya kenapa dalam sejumlah counter narasi yang saya buat di sejumlah post media sosial, saya selalu menyebut bahwa isunya soal ekonomi dan persaingan pasar. Bukan soal isu emosional. Sehingga, saran buat produsen produk dan layanan, tentu adalah selalu memperkuat branding dan menajamkan segmentasi pasar yang dituju, agar bisa tetap stand out dalam persaingan, serta menambahkan pembeda yang nyata ketika masuk di pasar yang rame. Fokusnya kesini, bukan ke yang lain lain, terutama dalam situasi struktur ekonomi kita yang saat ini (ironisnya) ditunjang oleh pinjol/paylater dan dirobohkan oleh j dan i online 4 huruf.
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $FAST $PZZA $UNVR $MYOR
1/2