Beberapa waktu lalu, salah satu Pemilu yang paling ditunggu di seluruh dunia telah digelar di Amerika Serikat.
Pemilu kali ini, yang awal formasinya adalah Donald J Trump vs Joe Biden (jilid 2), yang kemudian diganti menjadi Donald J Trump (selanjutnya Donald Trump saja) vs Kamala Harris, akhirnya menghasilkan Donald Trump sebagai pemenang. Serentak kemenangan Trump ini kemudian dibahas dalam berbagai sudut, termasuk sudut ekonomi. Salah satunya yang sangat sering dibahas adalah bagaimana hubungan Amerika Serikat vs Tiongkok yang sangat meruncing di periode Trump yang lalu (2017-2021). Nampaknya, situasi akan meruncing kembali dan ini punya dampak pada bursa saham, pasar keuangan di seluruh dunia dan ekonomi - dalam konteks ekspor impor.
Namun, sebelum jauh jauh ngomongin itu, kita bahas dulu : kenapa sih urusan Amerika Serikat ini jadi penting, termasuk penting juga bagi Indonesia? Kita akan belajar sedikit tentang ekspor impor, perdagangan internasional dan tentang bagaimana hubungan antar negara punya hubungan pada ekonomi.
=======
Saya kemudian jadi teringat saat awal awal jadi investor pasar modal 6 tahun lalu.
Saat itu, saya masuk di kondisi pasar saham yang kelihatan “kurang menguntungkan”. IHSG yang sekitar 2017-awal 2018 sempat all time high, kemudian turun cukup dalam selama beberapa bulan, sebelum akhirnya kembali naik menjelang 2019. Kontributor utamanya saat itu disebut karena upaya Amerika Serikat untuk bangkit dari sisi ekonomi, sekaligus melawan upaya dominasi Tiongkok dalam persaingan ekonomi dan teknologi di kancah internasional. Saat itu, presiden Amerika Serikat adalah Donald Trump, yang menggaungkan sebuah tagline : “Make Amerika Great Again” yang kemudian disingkat sebagai MAGA.
Atas upaya tersebut, sejumlah intervensi pun dilakukan, yang membuat pasar keuangan dunia menghadapi gejolak. Terkhusus Indonesia, USD menguat melawan Rupiah saat itu, karena arus dana keluar (outflow) dari Indonesia lebih besar untuk mengamankan posisi dari pasar yang beresiko ke pasar yang dinilai lebih aman - emas dan USD/obligasi pemerintah Amerika Serikat-Treasury. Ini yang menyebabkan IHSG, yang kebanyakan diisi mayoritas oleh saham saham big caps, yang kebanyakan investor publiknya (sampai sekarang) adalah investor asing, menghadapi penurunan tersebut. Ini teori yang umum dikenali oleh banyak pelaku pasar. Situasi mirip mirip juga terjadi di pasar obligasi pemerintah Indonesia saat itu.
Tahun 2019 lebih baik, dengan situasi yang terkendali. Meski demikian, persaingan Amerika Serikat vs Tiongkok masih terus berlanjut sampai sekarang. Bahkan, meski kepemimpinan sempat berganti ke Biden, dari partai yang berbeda dengan Trump (Trump Republik, Biden Demokrat), aroma persaingan masih tetap ada. Kecurigaan demi kecurigaan pemerintah Amerika Serikat masih terus terjadi terhadap berbagai produk produk teknologi asal Tiongkok, seperti Huawei dan Tiktok. Disisi lain, Tiongkok pun makin pede dengan teknologi dan platformnya sendiri (di bawah grup teknologi seperti Alibaba dan Tencent), sehingga mereka pun juga menolak produk produk teknologi dan platform Amerika Serikat.
Disinilah teori bahwa teknologi dunia tidak terstandarisasi 1 standar tunggal mulai beredar : akan ada standar Amerika Serikat dan standar Tiongkok.
Satu cerita di atas menggambarkan bahwa Amerika Serikat, dalam posisi ekonomi, memang sepowerful itu. Kok bisa? Jawaban utamanya adalah, kontrol melalui USD atau US Dollar. Mata uang suatu negara, selain sebagai alat transaksi/belanja, juga mencerminkan kekuatan ekonomi negara tersebut. Ini terjadi berkat perdagangan internasional, alias ekspor impor.
Transaksi perdagangan dari dan ke Amerika Serikat definisi besar. Impor mereka besar, melalui kebutuhan energi, sumber daya alam lainnya dan produk produk yang tidak disediakan oleh mereka. Sementara, transaksi impor produk produk dari negara ini (ekspor disisi mereka) juga besar, melalui sejumlah produk seperti produk teknologi, manufaktur/industrial, konsumer, luxury brand dan produk peternakan dan pertanian tertentu. Mereka pun juga mensupport kebutuhan energi, misalnya minyak dan gas dan turunannya.
Karena berlangsung lama, akhirnya membuat USD mempengaruhi banyak hal, termasuk kebijakan moneter, ekonomi dan bisnis banyak negara. Simpanan USD wajib dimiliki, hutang USD pun diambil - terutama untuk mereka mereka yang berorientasi ekspor/impor (karena meluasnya adopsi USD untuk perdagangan antar negara, bahkan termasuk yang tidak melibatkan Amerika Serikat di dalamnya), pergerakan USD vs mata uang setempat menjadi target pencapaian ekonomi pemerintah negara, hingga kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dipantau oleh banyak mata.
Apalagi ketika sumber duit untuk investasi di banyak negara, ternyata sumbernya dari Amerika Serikat. Baik pemerintah maupun institusi asal Amerika Serikat, mereka banyak berinvestasi di pasar keuangan negara lain - baik obligasi dan saham, pasar komoditas seperti emas hingga investasi di startup/venture capital.
Dengan kombinasi jumbo antara perdagangan internasional dan pengaruh Amerika Serikat di pasar keuangan - dua hal yang tidak dimiliki banyak negara, membuat USD dan Amerika Serikat sendiri disebut sebagai negara “adidaya”. Ini belum ditambah dominasi di sektor sektor lain, termasuk pendidikan, budaya populer, media konten dan hiburan dsb, yang mempengaruhi makin kuatnya dominasi USD.
Posisi ini cenderung tidak tergoyahkan berpuluh puluh tahun, disaat negara negara lain yang pernah dilabeli adidaya juga pun bubar jalan. Begitupun disaat ada yang mencoba menandingi posisi ini, termasuk Tiongkok yang termasuk fast grower sejak era 90an hingga sekarang. Namun khusus Tiongkok, nampaknya mereka benar benar menjadi penantang serius kali ini.
Program program ambisius mereka dalam pengembangan ekonomi dan produk produk lokal mereka, serta meningkatkan kompetisi dan kompetensi sumber daya manusia mereka di level internasional memberikan hasil yang signifikan bagi pengaruh mereka. Mereka pun juga ikut “membangun” negara lain melalui sejumlah program, seperti One Belt One Road. Meski program ini disebut membuat sejumlah negara “bangkrut”, namun demi menghadapi dominasi besar, tentu ini punya pengaruh - apalagi tujuan negara negara yang dibangun adalah negara negara berkembang.
Dalam situasi ini, Indonesia tentu harus berfokus meningkatkan kompetensi dan level kompetitifnya dalam pertarungan serius Amerika Serikat vs Tiongkok ini. Peningkatan kualitas ekspor, peningkatan kualitas sumber daya manusia unggul, mendorong masuknya investasi yang lebih menarik dan bertanggung jawab (ESG) sekaligus, strategi diplomasi yang tepat untuk masing-masing kekuatan, integritas dari para penanggung jawab negeri ini dalam hal hukum dan peraturan, fokus ekspansi bisnis dan budaya Indonesia ke luar negeri hingga pengelolaan pariwisata, ekonomi kreatif dan produk lokal Indonesia lainnya yang lebih baik, menjadi hal hal yang penting dikerjakan untuk meningkatkan daya saing Indonesia.
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $SRIL $BBNI $ICBP $BMRI
1/2