Beberapa waktu terakhir, ada dua kasus berbeda - namun intinya sama, yang sama sama menuai perhatian juga.
Yang pertama adalah mengenai status hutang negara (mungkin lebih tepatnya hutang pemerintah) yang posisinya cukup besar dan di tahun depan harus membayar pokok dan bunga yang nilainya signifikan, di tengah tekanan ekonomi yang mungkin baru akan reda di tahun depan pula. Nilainya sendiri bahkan bisa mengalahkan subsidi kepada masyarakat menengah ke bawah. Definisi beban yang bukan main main, dengan rencana program yang tergolong mercusuar.
Yang kedua, adalah tentang kasus Sri Rejeki Isman alias Sritex (SRIL). Sebagian percaya bahwa isu SRIL ini adalah tentang “keberatan” hutang, bukan masalah sektor tekstil hari ini. Meski hal ini bisa dinyatakan benar, namun kenyataannya sebelum pandemi, isu “keberatan” ini sebenarnya masih bisa dimanage dengan situasi yang definisi normal dan tidak anomali seperti sekarang. Memang ada isu soal bagaimana gencarnya ekspansi Sritex di masa lalu, namun sebagai satu pemain terbesar, rasanya ekspansi masih relatif wajar dilakukan. Tentu, saat ekspansi itu terjadi, manajemen punya asumsi yang nampaknya besar.
Tapi, yang lebih penting dari urusan seberapa besar hutangnya, terutama secara angka atau nominal, adalah bisa bayar atau ngga? Ini yang menjadi hal penting dalam diskusi soal hutang ini.
=======
Yang penting dari hutang itu adalah bisa bayar. Ini soal dasar tentang hutang, yang seharusnya kita sepakati semuanya, terutama bagi kita kita yang posisinya sebagai kreditur atau yang memberi pinjaman. Entah itu sebagai individu maupun atas nama bisnis/perusahaan kita. Bukan soal nominalnya. Kenapa? Nominal itu bisa relatif besar kecilnya (beban tidaknya), tergantung siapa yang melihat angka tersebut. Sehingga ngga bisa mendang mending kalau soal ini. Angka gede, yang penting bisa bayar. Angka kecil, yang penting bisa bayar. Kalau ngga bisa bayar, itu baru masalah.
Karena prinsip bisa bayar ini, maka asumsinya sebelum mengambil pinjaman tersebut kita sudah memperhitungkan dari mana kita membayar hutangnya. Umumnya kita memperoleh pendapatan dari berbagai cara, mulai dari penghasilan, penjualan aset aset yang tidak digunakan, meminta tambahan modal baru hingga yaa…. Mengambil pinjaman baru untuk memperlancar likuiditas. Istilah keren untuk yang terakhir ini adalah refinancing, atau bahasa awamnya adalah gali lubang tutup lubang.
Dari sisi prioritas, tentu pendapatan jadi yang pertama, kemudian penjualan aset, kemudian mengambil pinjaman baru - bisa dibalik dengan penjualan aset dalam banyak kasus, kemudian menambah modal, baru mengambil langkah langkah lainnya. Bisa diotak atik saja tergantung satu kemampuan, yaitu cashflow atau arus kas.
Urusan arus kas ini, entah kenapa jarang dibahas dalam pembahasan hutang ini. Padahal, urusan arus kas ini sama pentingnya - bahkan bisa lebih penting - daripada angka angka lain yang jadi pedoman hutang, misalnya Debt to Equity Ratio (DER), Debt to PDB (Produk Domestik Bruto), Debt to EBITDA (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, Amortization). Arus kas itu, kalau diibaratkan adalah nadi yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Jika nadinya tersumbat, maka memicu penyakit yang serius. Sama seperti jika arus kasnya macet, yang menimbulkan masalah pembayaran hutang (baik yang berbunga maupun hutang usaha).
Arus kas macet, selain karena seretnya pendapatan karena memang penjualan turun, juga karena masalah dalam penagihan piutang usaha dan piutang lain lain, yang membuat seharusnya hutang bisa terbayarkan namun malah jadi macet. Belum lagi adanya “kebijakan” arus kas dan pembayaran hutang yang kadang disisi kreditur (di luar kreditur bank dan berbunga lainnya, yang tagihannya sudah fix tanggal jatuh tempo) dinilai tidak adil dari sisi kebutuhan mereka, tidak tepat waktu dan “lebih galak yang ditagih daripada yang nagih”. Situasi yang terakhir inilah yang kadang membuat sejumlah kreditur melakukan “gertakan” melalui meja hijau, melalui PKPU atau pailit. Bahasa awamnya, “bikin malu dulu dengan menurunkan citra, biar bisa lancar bayarnya”.
Karena itulah, memastikan arus kas lancar menjadi satu kata kunci utama untuk tetap bisa bayar. Malah harusnya jadi peringkat no 1. Baru berbicara soal rasio rasio keuangan. Logikanya, arus kas lancar berarti disisi piutang lancar, disisi hutang pun bisa dikendalikan. Dengan demikian, tidak perlu ada (minimal bisa ditekan) penurunan nilai atau penghapusbukuan atau pencadangan nilai atas piutang, yang mempengaruhi laba rugi, dan pada akhirnya mempengaruhi rasio rasio keuangan yang gagal tercapai sesuai covenant (persyaratan).
Lagipula, rasio rasio keuangan itu juga tak bisa berbicara banyak. Kita hanya bisa mengatakan pass or fail (mencapai atau gagal) dan membandingkan dengan rasio serupa di tahun lalu atau di periode lalu. Kita tetap perlu memperhatikan faktor lainnya untuk tahu benarkah situasinya memang sehat atau sakit secara sepenuhnya. Maksudnya, kalau dalam konteks bisnis, kita perlu memperhatikan fundamental bisnisnya, seperti prospek dan strateginya, selain si cashflow. Dalam konteks yang lebih besar, yaitu dalam konteks negara, kita perlu memperhatikan fundamental dari ekonomi negara tersebut, seperti peluang pertumbuhan negara, strategi pemerintah dalam mengelola ekonomi dan menekan resiko yang timbul dari faktor internal negara maupun dari internasional hingga bagaimana pemerintah mengelola hutangnya selama ini.
Itulah alasannya kenapa dalam analisis fundamental investasi, kita memang benar benar harus mendalami dan melihat semua hal. Itupun belum tentu menjamin kita selamat. Namun setidaknya kita bisa lebih waspada terhadap resiko yang bisa saja muncul.
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $SRIL $BBRI $BMRI $PBRX
1/2