Dalam keriuhan masalah emiten Sri Rejeki Isman alias Sritex (SRIL) beberapa waktu terakhir, salah seorang influencer investasi membuat sebuah “tantangan” yang ia post di Instagram.
Sebenernya bukan “tantangan” sih, cuma mempertanyakan kenapa tidak ada yang membahas emiten yang satu ini, yang merupakan emiten yang sukses keluar dari bisnis tekstil ke sektor lain yang juga merupakan mainan dari pemain sektor tekstil - properti. Keluar disini bener bener keluar ya, dan berubah bisnisnya ke bisnis baru ini.
Emiten ini bukan nama yang terkenal banget di telinga pelaku pasar, namun nama ini beberapa kali dibicarakan di lingkup kecil forum forum atau grup saham. Ini dipengaruhi karena memang emiten ini ngga sibuk bikin berita di media ekonomi bisnis terkenal, ngga sibuk bikin aksi korporasi macem macem, dan cenderung “lempeng” di jalurnya. Kalau boleh dibilang, emiten ini tergolong konservatif, dan ini yang mungkin membuat mereka benar benar mencoba keluar dari sektor tekstil 10 tahun lalu. Mereka sudah tahu diri.
Ini adalah cerita dari emiten Roda Vivatex (RDTX).
========
Meski saya baru beberapa tahun ini mengenal nama RDTX, ternyata saya sudah pernah tahu salah satu proyek mereka yang lokasinya tidak jauh dari rumah saya terdahulu. Proyek mereka tersebut adalah PHE Tower di Jl TB Simatupang, Jakarta Selatan. Lokasinya mengarah ke Lenteng Agung/Kebagusan. Saya tahu proyek ini sekitar 2012, tahun dimana saat itu keluarga saya mulai pindah rumah ke sekitaran Kebagusan tersebut.
Awalnya saya bukan hanya ngga tahu ini proyeknya siapa, tapi saya juga ngga tahu ini PHE ini apaan. Saya pikir cuma nama gedung biasa, tanpa arti apapun. Sampai akhirnya saya tahu bahwa PHE ini adalah salah satu anak usaha/subholdingnya Pertamina, Pertamina Hulu Energi - yang pernah disebut sebut akan IPO. Jadi, gedung ini adalah kantor pusat dari PHE. Pada saat itu, daerah TB Simatupang definisi berubah dari hanya sekadar wilayah perlintasan Jakarta Selatan ke Jakarta Timur, menuju ke Bogor, dengan sedikit sekali gedung kantor dan hanya dikenal karena Lebak Bulus-Pondok Indah-Fatmawati-Antasari-Pasar Minggu, menjadi New CBD (Central Business District) baru di Jakarta.
Sebagai akibat perubahan status menjadi New CBD, sejak saat itu hingga setidaknya saat ini, wilayah tersebut ramai oleh pembangunan gedung dan proyek proyek properti baru (serta makin macet wkwkwkwk). Pembangunan gedung kantor yang dilakukan oleh emiten Tbk sepanjang areal tersebut, misalnya oleh Ratu Prabu Energi (ARTI) melalui Ratu Prabu 1 dan 2, Intiland (DILD) melalui South Quarter, Grup Total Bangun Persada (TOTL) melalui GKM Green Tower (usaha patungan) dan RDTX ini dengan PHE Tower. Nama terkenal lain yang juga memanfaatkan peluang ini, misalnya adalah Agung Sedayu dengan Fatmawati City Center yang memanfaatkan akses langsung ke jalan TB Simatupang tersebut, grup media-entertainment-lifestyle MRA (yang dimiliki keluarga (Alm) Ibnu Sutowo, mantan Direktur Utama Pertamina yang kontroversial itu) yang membangun kantor pusat mereka disana, grup Metropolitan (tapi proyek ini tidak masuk Metropolitan Land - MTLA) yang bikin gedung kantor, Sinarmas-Aeon dengan proyek superblok-mal Aeon di Lenteng Agung dan Tokyu Land asal Jepang yang bikin apartemen di sekitaran gedungnya Metropolitan.
Kembali ke PHE Tower. Akhirnya saya hanya bisa melihat dari luar gedung ini, hingga keluarga saya pindah ke tempat yang lain. Namun, saya kemudian berkesempatan masuk di proyek RDTX yang lain, yang lokasinya di Kuningan, Jakarta Selatan. Gedung itu adalah RDTX Square (d/h Menara Standard Chartered). Itupun karena 2 kali diundang kopdar atau kopi daratnya Stockbit hehehehehe ~ Gedung ini posisinya cukup menarik, menuju persimpangan ke Jend Sudirman dan ke area Tanah Abang.
Namun, proyek RDTX ini masih ada 2 lagi. Proyek pertama RDTX adalah proyek Mandiri Inhealth Tower (d/h Menara Bank Danamon). Proyek ini secara akurat memang posisinya di Mega Kuningan dan sempat cukup lama jadi kantor pusatnya Bank Danamon (BDMN). Sementara proyek paling akhir mereka, yang sudah jadi beberapa tahun lalu adalah RDTX Place, yang bertetangga dengan Lotte Shopping Avenue/Ciputra World Jakarta 1. Total ada 4 proyek yang mereka buat sejak 2002.
Namun, mereka memulai bisnis mereka justru dari sektor tekstil. RDTX berdiri sejak 1980 dan melakukan produksi pada 1983. Pabrik pertama mereka ada di Citeureup, Jawa Barat. Kemudian mereka memperbesar bisnis, melalui IPO di lantai bursa pada 1990 dan membuat fasilitas produksi baru di Karawang, Jawa Barat. Pada tahun 2002, mereka membangun proyek properti mereka yang pertama (alias Mandiri Inhealth Tower) sebagai bentuk diversifikasi. Hal ini dilanjutkan pada tahun 2008, melalui proyek kedua (alias RDTX Square), proyek ketiga di 2012 (alias PHE Tower) dan proyek keempat di 2017 (alias RDTX Place).
Dalam periode ekspansi properti ini, manajemen RDTX kemudian mengevaluasi bisnis tekstil mereka, dan mulai mengurangi porsi bisnis ini. Tahun 2010, mereka menjual pabrik di Karawang dan empat tahun kemudian mereka menutup pabrik di Citeureup. Sejak saat itu, mereka berfokus di sektor properti. Alasan evaluasi tersebut, karena beban bisnis tekstil yang tidak seimbang dengan prospek bisnisnya, dimana mereka mulai lebih sering mengalami kerugian. Apalagi, saat itu sudah mulai berkembang tekstil impor, terutama dari Tiongkok.
Keputusan yang rasanya tepat. Sejak saat itu, RDTX relatif memiliki kinerja yang mumpuni. Bisnisnya 100% bergantung pada sewa ruangan kantor melalui 4 gedung yang ada saat ini, sehingga ini membantu mereka untuk memperoleh pendapatan yang stabil. Pendapatan yang stabil ini definisi beneran stabil, karena pendapatannya (sebelum 2022) rata rata sekitar Rp 300-400 milyar. Setelah 2022, pendapatan mereka meningkat ke level Rp 500 milyaran, karena peningkatan tenancy rate dari RDTX Place, meski data per 2023 lalu masih menjadi yang paling rendah diantara 4 gedung lainnya (58% terisi).
Yang lain, 3 dari 4 gedungnya sempat memiliki anchor tenant yang menguasai minimal setengah - bahkan 100% - space dari Gedung yang tersedia. Namun, kini hanya ada 2 dari 4 gedung yang masih memiliki anchor tenant, karena Standard Chartered memilih hengkang ke gedung World Trade Center - alias tetangganya RDTX Square. Dua gedung tersebut adalah PHE Tower yang full 100% terisi dan Mandiri Inhealth Tower yang terisi 83%. RDTX Square, yang ditinggalkan Standard Chartered pun masih bisa mempertahankan di level 85% terisi.
Yang unik, dalam pengembangan gedung terakhir RDTX (RDTX Place), mereka sama sekali tidak menggunakan hutang bank dalam proses pembangunannya. Terakhir mereka menggunakan hutang bank untuk pengembangan gedung kedua dan ketiga. Untuk gedung ini, mereka menggandeng TOTL sebagai kontraktor utama. Posisi mereka saat ini - sama halnya dengan TOTL - memiliki cash dan investasi yang memadai, alias net cash dan profitabilitasnya tinggi karena model bisnisnya yang sudah solid. Situasi ini jugalah yang membuat mereka bisa membagi dividen, setidaknya 5 tahun terakhir, yang terus meningkat hingga pada dividen tahun buku 2023 mencapai 100% laba bersih.
Apa selanjutnya? Tentu saja kita perlu memantau kinerja keempat gedung ini, untuk bisa mempertahankan tenancy ratio di tengah persaingan antar gedung kantor Jakarta yang oversupply saat ini. Selain itu, dengan keberadaan sejumlah land bank di sejumlah tempat, yaitu di area Casablanca-Jakarta Selatan, Badung-Bali dan BSD-Tangerang, patut ditunggu apa yang akan mereka lakukan dengan tanah tanah ini. Ekspansi lanjutan mereka bisa membuat emiten ini menjadi lebih menarik lagi.
Let's see ~
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $RDTX $CTRA $SRIL $PWON
1/2