Baru baru ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pencabutan izin usaha yang cukup bikin geger.
Pencabutan izin ini dilakukan terhadap PT Investree Radhika Jaya (Investree), salah satu penyelenggara P2P Lending yang menyediakan pinjaman untuk UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) secara online. Investree disebut melanggar ketentuan permodalan dan ketentuan lainnya. Ini adalah puncak dari kasus yang selama setahunan terakhir menjadi isu di pelaku startup teknologi, terutama sesama P2P Lending, yaitu tentang pengembalian pinjaman dari para investor, yang disalurkan platform semacam ini, dan tidak menemukan kejelasan restrukturisasinya dan skema pengembalian dana investornya. Singkatnya, kredit macet.
Saya menyebut, ini sebagai sebuah bubble dan sekaligus resiko dari investasi berbentuk pinjaman seperti ini.
======
Saya sebut bubble, karena sebenarnya apa yang terjadi di Investree ini adalah puncak dari memburuknya kredit macet di banyak P2P Lending dalam beberapa tahun terakhir. P2P Lending, yang menaungi pinjaman online dan pinjaman kepada UMKM “berbalut investasi”, menghadapi tantangan serius dari kekacauan tata kelola yang belum beres diatur OJK dan tekanan ekonomi makro yang memicu kredit macet.
Kekacauan tata kelola ini, berawal dari izin P2P Lending yang dibuka terlalu luas kepada banyak pemain, yang belum diperkuat dengan peraturan yang ketat dan pengawasan memadai. Meski telah kemudian dilakukan moratorium (penghentian) terhadap kehadiran pelaku bisnis baru di sektor ini, namun masalah sudah terlanjur terjadi. Sementara itu, kondisi ekonomi yang menantang beberapa tahun ini mengakibatkan tekanan pada 2 debitur terbesar pinjaman online dan P2P Lending (seperti Investree) : masyarakat kelas menengah-menengah ke bawah dan UMKM. Secara kebetulan, kedua debitur terbesar ini saling berhubungan, karena umumnya pelaku bisnis UMKM adalah mereka mereka yang tergolong dalam kelas ekonomi tersebut. Sehingga, jika terjadi tekanan di salah satunya (personal atau bisnis), maka berdampak ke yang lainnya.
Sebagai gambaran mudahnya, bro and sis bisa mengamati kinerja bisnis emiten perbankan yang kreditnya berfokus pada sektor ekonomi ini : BTPN Syariah (BTPS). Emiten ini sempat menghadapi tekanan laba di 2023 lalu karena memburuknya kualitas kredit, sebagai akibat tekanan ekonomi yang dialami debitur debiturnya, yang berada di golongan ekonomi tersebut. Situasi ini rupanya masih berlanjut di 2024, dimana laporan keuangan Q3 2024 menunjukkan penurunan laba bersih dari Rp 1 Triliun menjadi Rp 771 Milyar (turun 30%), sebagai akibat tekanan dari sisi penurunan pendapatan pembiayaan (didorong juga penurunan pembiayaan disalurkan) dan masih tingginya pencadangan kredit. Karena itu, mereka masih harus mengantisipasi tekanan ekonomi seperti saat ini terus berlanjut (semoga tidak, ya. Jujur saya mulai capek juga baca keluhan orang soal ekonomi sulit ini).
Sementara itu, untuk memperbandingkan secara apple to apple, ada emiten perbankan yang memiliki bisnis yang definisi mirip dengan P2P Lending ini - alias punya pinjaman online bernama Tunaiku, bahkan ada sahamnya grup Investree di dalamnya. Namanya Bank Amar Indonesia (AMAR). Bank ini belum merilis laporan keuangan Q3 2024 saat tulisan ini dibuat, namun kondisi bisnis mereka cukup kontras dengan BTPS tadi. Mereka malah meraih kenaikan laba, dari Rp 85 Milyar di semester 1 2023 menjadi Rp 98 Milyar di semester 1 2024. Meski, pada laporan keuangan bulanan per Agustus 2024, terjadi sedikit penurunan laba bersih dari Rp 137 Milyar menjadi Rp 133 Milyar, namun dari sisi laba operasional tetap mengalami kenaikan. Kenaikan ini selain ditunjang pertumbuhan kredit, juga ditunjang oleh peningkatan pendapatan fee based income - salah satunya dari kontribusi biaya administrasi, yang merupakan komponen “mencekik” dalam pinjaman online, yang sering disalahpahami sebagai komponen bunga. Namun, AMAR menghadapi tantangan NPL gross mereka masih tergolong tinggi, sebagai konsekuensi dari pinjaman online yang potensi kredit macetnya selalu tinggi.
Situasi yang terjadi tersebut, nampaknya membuat berita gagal bayar pinjaman “berbalut investasi” di UMKM yang didanai investor P2P Lending menjadi cukup sering terdengar belakangan ini. Sejumlah nama pun juga ikut menghadapi masalah serupa. Namun, para investor tersebut masih belum menerima kejelasan soal pengembalian investasi mereka tersebut, termasuk masalah asuransi yang disebut seharusnya mencover 70-80% investasi mereka, namun ternyata tidak membantu karena klausul yang membuat asuransi tidak bisa mencairkan jaminan mereka. Selain itu, ada beberapa P2P Lending ini yang nakal dengan tidak mewajibkan asuransi, sehingga menjadi masalah serius.
Kondisi yang tidak kondusif tersebut, nampaknya juga menjadi alasan mundurnya Akseleran, salah satu pelaku P2P Lending, yang tadinya merencanakan IPO di bursa pada tahun 2023 lalu.
=======
Keluar dari sengkarut yang butuh perhatian segera dari OJK - termasuk mengejar pertanggungjawaban Adrian Ashariyanto Gunadi, selaku founder Investree, yang kabur ke luar negeri dengan alibi “masih cari investor”, sebenarnya sejak lama investasi macam P2P Lending ini sudah tergolong beresiko tinggi. Sehingga, resiko gagal bayarnya memang sangat besar. Level resiko P2P Lending ini hampir serupa dengan equity crowdfunding yang juga marak beberapa tahun ini.
Kesamaan level resiko ini disebabkan sejumlah faktor. Faktor utamanya adalah investasi di UMKM, yang memang secara naturenya memiliki resiko bisnis tinggi, karena level ekspansi yang terbatas dan model bisnis yang kemungkinan tingkat persaingan tinggi. Jikapun ada yang tidak bermain di yang tingkat persaingan tinggi, model bisnisnya memungkinkan gagal lebih tinggi karena permodalan yang tidak terlalu kuat dan akses pendanaan terbatas, sementara memperkenalkan hal baru butuh panjang napas. Selain itu, sebagai sebuah format investasi yang relatif “baru” dan belum sematang investasi lainnya seperti deposito, obligasi dan saham, eksperimen masih terus dilakukan, termasuk regulasi yang diperlukan, sehingga menjadi resiko tinggi yang sangat memungkinkan duit hilang.
Dengan demikian, siapapun yang berinvestasi disini tentu harus memahami resiko dan mempelajari peluang investasi yang timbul dari produk produk semacam ini. Selain itu, dengan eksperimen yang masih dilakukan di produk produk investasi ini, kita tentu menjadi perlu lebih kritis terhadap sejumlah hal. Misalnya bagaimana mereka (si platform ini) melakukan seleksi debitur atau perusahaan/usaha yang dibiayai/dimodali, coverage dan pengecualian asuransi kredit yang diikutsertakan, bagaimana mereka melakukan pengelolaan/tata kelola secara internal dan mengatasi conflict of interest yang mungkin terjadi dalam proses seleksi hingga upaya mereka mendukung investor dalam proses penagihan dan restrukturisasi.
Selain itu, meski disebut “berizin dan diawasi OJK”, namun bukan berarti kita melepaskan skeptisme (kekritisan) kita dan menganggap “all in the right hands” (sudah aman, sudah tepat). Tanpa menghilangkan kewajiban OJK untuk menjaga kepercayaan masyarakat akan produk jasa keuangan - sambil tak melupakan kasus kasus di sektor ini masa silam, sebagai masyarakat kita tetap perlu untuk melakukan kontrol/pemantauan secara mandiri terhadap penempatan investasi yang dilakukan dan selalu selektif dalam memilih instrumen investasi. Tidak semua instrumen investasi atau produk keuangan lainnya bisa, boleh, layak dan cocok untuk kita coba.
Tidak mencoba sama sekali, ngga selalu berarti merugikan, kok.
$IHSG $BTPS $AMAR $BBRI $BBCA
1/2