Seberapa Parah Industri Tekstil Indonesia?
Kita tahu bersama bahwa SRIL baru saja pailit. Melihat pailitnya SRIL, saya jadi bertanya - tanya, seberapa parah sih industri tekstil di Indonesia?
Saya pun melakukan rekap Keystat 15 perusahaan tekstil yang ada di IHSG (gambar 1). https://bit.ly/45FDAJu
Laba Perusahaan Tekstil (gambar 1):
1 MYTX Laba ✅ 154.4 Milyar
2 SSTM Laba ✅ 9.52 Milyar
3 BELL Laba ✅ 7.82 Milyar
4 ARGO Laba ✅ 5.73 Milyar
5 ESTI Laba ✅ 3.89 Milyar
6 PBRX Laba ✅ 1.98 Milyar
7 UNIT Laba ✅ 0.21986 Milyar
8 TFCO Rugi❌ -2.74 Milyar
9 HDTX Rugi❌ -20.06 Milyar
10 CNTX Rugi❌ -23.12 Milyar
11 SBAT Rugi❌ -23.88 Milyar
12 INOV Rugi❌ -30.1 Milyar
13 POLY Rugi❌ -35.27 Milyar
14 INDR Rugi❌ -158.58 Milyar
15 $SRIL Rugi❌ -421.88 Milyar
Dari data rekap, saham sektor tekstil yang belum merilis Laporan Keuangan per Juni 2024 adalah UNIT (laporan terakhir per 30 Juni 2020), $PBRX (laporan terakhir per 31 Maret 2024), CNTX (laporan terakhir per 31 Maret 2024), dan $SBAT (laporan terakhir per 30 September 2023). Ini sudah jadwal rilis LK Q3 2024, mereka malah belum rilis LK Q2 2024. Ini contoh perusahaan ha Direkturnya keuangannya entah belum gajian atau memang malas. Padahal sudah menjadi kewajiban perusahaan Tbk itu untuk tepat waktu rilis Laporan Keuangan. Mereka malah malas - malasan rilis Laporan Keuangan. https://bit.ly/3YGX6Dc
Dalam sektor tekstil ini, saham dengan harga paling murah adalah SBAT pada harga 1, yang mencerminkan nilai yang sangat rendah, kemungkinan besar karena kondisi keuangan yang kurang stabil dan kinerja yang buruk. Di sisi lain, saham dengan harga paling mahal adalah INDR dengan harga 3,210, yang menunjukkan valuasi pasar lebih tinggi, meskipun perusahaan juga menghadapi tantangan seperti utang besar (1.79 Triliun) dan kerugian yang ditunjukkan dalam rasio PER negatif (-6.62). SBAT salah satu saham yang banyak penggemarnya di Stockbit.
Dalam sektor tekstil ini, POLY mencatat free cash flow (FCF) terbesar dengan nilai positif 57.17 Miliar, menunjukkan arus kas operasional yang cukup untuk mendukung pengeluaran tanpa perlu menambah utang dalam jangka pendek. Di sisi lain, MYTX memiliki FCF paling negatif di angka -128.23 Miliar, menandakan tekanan likuiditas yang besar. Dengan FCF negatif, MYTX kemungkinan besar harus mengandalkan pendanaan eksternal atau utang tambahan untuk menutupi kebutuhan operasional, yang berisiko meningkatkan beban finansial di masa depan.
Dari data yang ada, PBV paling murah dimiliki oleh PBRX dengan nilai 0.08, yang biasanya menandakan undervaluation. Namun, dalam kasus ini, PBV rendah mencerminkan risiko tinggi daripada peluang investasi sehat, mengingat kondisi keuangan PBRX yang lemah. Perusahaan ini memiliki utang besar mencapai 5.19 Triliun, kas terbatas sebesar 328.91 Miliar, dan free cash flow negatif sebesar -25.35 Miliar. Selain itu, PBRX mencatatkan penurunan laba signifikan sebesar -88.58%, menandakan tantangan besar dalam profitabilitas. Di sisi lain, PBV paling mahal ada pada ARGO di angka 26.68, yang menunjukkan ekspektasi pasar tinggi. Namun, laba ARGO hanya 5.73 Miliar, dengan PER yang sangat tinggi di 469.31, sehingga PBV tinggi ini tidak didukung fundamental yang kuat dan justru mengindikasikan risiko overvaluation. https://bit.ly/3YGX6Dc
Untuk PER, MYTX memiliki PER positif terendah di 1.15, yang bisa terlihat menarik. Namun, di balik PER rendah ini, MYTX menghadapi tantangan likuiditas dengan free cash flow negatif sebesar -128.23 Miliar dan ekuitas negatif (PBV -1.04). Utangnya mencapai 1.80 Triliun, menunjukkan bahwa PER rendah bukan tanda kesehatan, melainkan risiko tinggi. Sebaliknya, PER tertinggi yang negatif dimiliki oleh TFCO (-559.01), mencerminkan kerugian besar sebesar 2.74 Miliar dan ketergantungan pada utang sebesar 22.49 Miliar. Meski TFCO memiliki kas sebesar 613.25 Miliar, kondisi keuangan dan kerugian besar membuat PER negatif ini menjadi indikator risiko signifikan. Secara keseluruhan, baik PBV maupun PER dalam data ini menunjukkan lebih banyak risiko daripada peluang yang sehat dalam sektor tekstil.
Industri tekstil Indonesia, berdasarkan data rekap saham tersebut, tampak menghadapi tantangan yang cukup signifikan di berbagai aspek keuangan dan operasional. Kondisi ini terlihat dari berbagai indikator seperti profitabilitas, arus kas, utang, dan pertumbuhan yang menunjukkan gambaran yang kurang sehat untuk hampir seluruh perusahaan dalam sektor ini. Beberapa saham mencatatkan angka pertumbuhan laba yang positif, namun sifatnya sangat fluktuatif dan tidak menunjukkan kestabilan yang diinginkan dalam industri yang kompetitif ini. ❌ https://bit.ly/3YGX6Dc
Dalam hal valuasi, mayoritas perusahaan tekstil di Indonesia memiliki Price to Book Value (PBV) yang rendah atau bahkan negatif. Sebagian besar saham, seperti MYTX dengan PBV -1.04 dan SRIL -0.19, menunjukkan nilai buku negatif, menandakan ekuitas negatif atau kondisi keuangan yang bermasalah. Valuasi rendah ini bisa mengindikasikan persepsi risiko yang tinggi dari investor terhadap sektor ini, karena kekhawatiran terhadap kondisi likuiditas dan profitabilitas. ❌
Di sisi profitabilitas, rasio Price to Earnings Ratio (PER) menunjukkan bahwa banyak perusahaan tekstil dalam kondisi yang tidak menguntungkan, dengan nilai PER negatif, seperti pada TFCO (-559.01) dan SRIL (-3.54). Hal ini disebabkan oleh kerugian yang berkelanjutan atau rendahnya tingkat keuntungan yang dapat dicapai. Rasio PER yang negatif menjadi sinyal bahwa perusahaan-perusahaan ini mengalami kesulitan dalam menghasilkan laba dari operasional mereka. ❌ https://bit.ly/3YGX6Dc
Beberapa perusahaan seperti ARGO memiliki PER yang sangat tinggi (469.31), yang mencerminkan valuasi saham yang tidak wajar, terutama bila mempertimbangkan bahwa laba perusahaan hanya 5.73 Miliar. PER tinggi ini mungkin disebabkan oleh kenaikan harga saham yang tidak proporsional dengan laba yang dihasilkan, sehingga rentan terhadap koreksi harga di masa mendatang. ❌
Dalam hal arus kas, banyak perusahaan tekstil menghadapi kesulitan dalam menghasilkan free cash flow (FCF) yang positif. Misalnya, MYTX mencatat FCF negatif sebesar -128.23 Miliar dalam satu tahun terakhir, yang mengindikasikan tekanan dalam memenuhi kebutuhan kas operasional tanpa menambah utang atau melakukan penjualan aset. Ini adalah salah satu masalah umum dalam sektor ini yang berpotensi mempengaruhi likuiditas perusahaan. ❌
Utang yang tinggi menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh perusahaan tekstil di Indonesia. SRIL, misalnya, memiliki total utang 14.56 Triliun dengan kas yang tersedia hanya 75.59 Miliar, menunjukkan ketergantungan tinggi pada utang. Ketidakseimbangan ini meningkatkan risiko gagal bayar utang, terutama jika arus kas dari operasional tidak cukup untuk menutupi kewajiban yang ada. ❌
Ketergantungan yang tinggi pada utang ini terlihat pula pada POLY, yang memiliki utang sebesar 17.61 Triliun dengan kas yang hanya mencapai 67.00 Miliar. Kesenjangan yang signifikan antara utang dan kas memperlihatkan potensi masalah likuiditas, yang dapat mengancam keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang jika tidak ada perbaikan dalam pengelolaan keuangan. ❌
Di sisi lain, meskipun ada beberapa perusahaan yang mencatatkan pertumbuhan laba operasi yang tinggi seperti ARGO dengan 5,171.29%, fluktuasi yang ekstrem ini tidak mencerminkan kestabilan keuangan. Ketidakstabilan pada pertumbuhan laba operasi ini mengindikasikan tantangan dalam pengelolaan biaya operasional dan pemasaran, serta ketergantungan pada kondisi pasar yang cenderung berubah-ubah. ❌ https://bit.ly/3YGX6Dc
Pertumbuhan pendapatan juga mengalami fluktuasi yang tinggi, seperti pada SBAT yang mencatat penurunan pendapatan sebesar -87.40% secara Year-on-Year. Penurunan ini dapat diakibatkan oleh persaingan ketat di pasar domestik maupun internasional, atau mungkin akibat dari perubahan permintaan yang sulit diprediksi, yang menjadi tantangan besar bagi industri tekstil. ❌
Dividen yield di sektor ini pada umumnya sangat rendah atau bahkan tidak ada, dengan hanya sedikit perusahaan yang memberikan dividen, seperti INDR dengan yield 7.48%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan tekstil memilih untuk tidak membagikan laba kepada pemegang saham dan mungkin mengalokasikan laba yang ada untuk mempertahankan operasional atau mengurangi utang. ❌
Dalam hal rasio likuiditas, hanya beberapa perusahaan yang memiliki kas yang memadai untuk menutupi kewajiban jangka pendek mereka. BELL, misalnya, memiliki kas 10.71 Miliar dengan utang yang lebih kecil, tetapi ini merupakan pengecualian dalam data yang ada, karena sebagian besar perusahaan dalam sektor ini menunjukkan kesenjangan besar antara utang dan kas. ✅❌
Ketidakstabilan pendapatan dan laba juga memengaruhi minat investor terhadap saham tekstil. Return harga satu tahun terakhir banyak menunjukkan angka negatif, seperti pada SSTM (-68.41%) dan SBAT (-98.00%), yang mencerminkan rendahnya minat investor dan potensi volatilitas tinggi pada saham-saham di sektor ini. ❌
Selain itu, beberapa perusahaan yang memiliki PBV rendah seperti PBRX (0.08) mungkin tampak murah secara valuasi, tetapi risiko yang tinggi akibat kesulitan keuangan membuat saham-saham ini kurang menarik. PBV rendah yang konsisten di sektor ini menjadi salah satu indikator bahwa pasar melihat industri tekstil dalam kondisi yang kurang menguntungkan secara umum. ❌ https://bit.ly/3YGX6Dc
Data ini menunjukkan bahwa industri tekstil Indonesia menghadapi tekanan besar dari segi profitabilitas, arus kas, dan utang. Keterbatasan dalam menghasilkan arus kas positif, tingginya ketergantungan pada utang, dan ketidakstabilan dalam pertumbuhan laba membuat industri ini terlihat kurang sehat secara finansial. Investasi dalam sektor ini mungkin memerlukan kehati-hatian ekstra dan peninjauan lebih lanjut terhadap rencana perbaikan di tiap perusahaan. ❌
Dari data yang tersedia, perusahaan tekstil dengan utang paling besar adalah POLY, dengan total utang sebesar 17.61 Triliun. Free cash flow (FCF) POLY sebesar 57.17 Miliar terlihat positif, tetapi jika dilihat secara keseluruhan, kondisi ini masih perlu dicermati lebih lanjut. POLY memiliki utang yang sangat besar, mencapai 17.61 Triliun, yang jauh lebih tinggi dibandingkan kas sebesar 67.00 Miliar. Meski FCF positif, jumlah ini relatif kecil dibandingkan total utang, sehingga kemampuan perusahaan untuk mengurangi utang atau membiayai operasional tanpa ketergantungan pada pinjaman tambahan masih terbatas. Kondisi ini mengindikasikan bahwa meskipun ada arus kas positif, POLY tetap menghadapi tekanan finansial yang tinggi karena beban utang besar yang membutuhkan arus kas lebih signifikan untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang. ❌
Meskipun MYTX mencatat laba sebesar 154.4 Miliar, kondisi ini tidak sepenuhnya bagus karena beberapa indikator keuangan menunjukkan masalah mendasar. Perusahaan memiliki ekuitas negatif (PBV -1.04), yang menandakan risiko solvabilitas, serta free cash flow (FCF) negatif sebesar -128.23 Miliar, menunjukkan kurangnya likuiditas untuk menutupi pengeluaran operasional tanpa utang tambahan. Selain itu, utang MYTX mencapai 1.80 Triliun, jauh lebih besar dari kas yang hanya 61.58 Miliar, membuat ketergantungan pada utang tinggi dan membebani kondisi keuangan secara keseluruhan. Secara umum, meskipun laba tercatat positif, kondisi MYTX secara keseluruhan masih belum sehat. ❌
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
(caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Dan jangan lupa kunjungi Pintarsaham di sini
https://bit.ly/3QtahWa
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://bit.ly/3YGX6Dc
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
https://bit.ly/44osZSV
https://bit.ly/47hnUgG
https://bit.ly/47eBu4b
https://bit.ly/3LsxlQJ
$BBRI $BRIS
1/2