“Bro, seinget ane lu bolak balik menyebut kalo ekonomi kita ini lagi ngga baguslah, daya beli tertekan dan sejumlah tantangan ekonomi saat ini terjadi. Tapi ane bingung deh, kenapa sih masih ada aja orang yang beli Labubu, nonton konser keknya rame banget sampai rame rame nyicip makanan atau minuman yang viral?”
Sejujurnya, fenomena ini memang menjadi keheranan tersendiri. Seperti menunjukkan memang kesenjangan ekonomi beneran nyata terjadi, karena banyak yang nyari duit buat makan yang biasa aja susah payah. Belum lagi membicarakan beban beban khas orang dewasa seperti membayar tagihan, membayar hutang dan sejumlah kebutuhan spesifik yang berbeda beda tiap orang.
Kalau kata ekonom, ini fenomena K shape, yang menunjukkan ada yang makin kaya, tapi ada yang belum bisa bangkit seperti sebelumnya. Tapi, ada satu istilah baru lain yang mungkin lebih sesuai, dan lebih edgy, terhadap fenomena ini. Saya baru denger belakangan ini istilahnya : lipstick effects. Apa Ini?
======
Secara sederhana, lipstick effects Ini menyebut bahwa ada fenomena karena kita stress dengan keadaan, kita menghadapi tantangan ekonomi yang sulit, tapi bukannya kita ngerem pengeluaran, malah kita cari pelampiasan dengan membeli atau mengonsumsi barang barang yang dianggap bisa menghibur diri sendiri. Biasanya barang barang ini adalah barang barang konsumtif, tapi bukan kebutuhan sehari hari, seperti hiburan, wisata dan kebutuhan tersier lainnya.
Berarti yang beli Labubu, cerminan lagi stres sama keadaan dong ya? Wkwkwkwkw ~
Fenomena ini adalah amatan menarik seseorang bernama Juliet Schor, yang meneliti fenomena kenaikan penjualan lipstik Estee Lauder, sebuah brand personal care, perfume and cosmetics terkemuka dunia, yang signifikan terjadi saat peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat (peristiwa apa itu? Google ajalah, bahaya saya tulis disini). Itulah kenapa disebut sebagai lipstick effects, yang kemudian diperluas maknanya ke berbagai barang sekunder dan tersier lainnya. Hal ini kemudian beliau bukukan dalam buku The Overspent American : Why We Want What We Don't Need (Orang Orang Amerika yang Boros : Mengapa Kita Ingin Sesuatu yang Tidak Kita Butuhkan).
Mungkin ada yang bingung, kok bisa sih? Apalagi kenyataannya, teori ekonomi pada umumnya menyebut, biasanya kalau ekonomi sulit maka umumnya kecenderungannya kita akan cenderung memenuhi kebutuhan pokok duluan. Namun, secara manusiawi, hal ini bisa dijelaskan. Simpelnya, kebutuhan pokok tentu akan tetap terpenuhi, dan tetap diperhatikan - malah mungkin tetap akan secara otomatis anggarannya bertambah/membesar secara porsi atau nominal. Namun, mosok iya si ngga ada “colong colongan” duit dikit buat menghibur diri. Apalagi dengan tren viral yang silih berganti muncul, keknya bisa nih kita nyoba nyobain, ye ga?
Nah, sebagai akibat dari keinginan tersebut, ya ada anggaran yang diubah porsinyalah. Atau, kalau ngga bisa diubah porsinya, cari deh yang murah murah. Kebutuhan pokok dicari yang murah, begitupun yang jadi penghiburan ini. Itu yang juga bisa menjelaskan mengapa belakangan yang viral itu selalu ada embel embelnya “harga murah” atau “dengan harga sekian, dapetnya oke banget/enak banget”. Namun, karena ada namanya latah dan FOMO, keknya kalo ngga beli yang mahal mahal sesekali kurang dar der dor hidup gitu, ya. Kurang ada adrenalinnya, kurang seru. Apalagi kalau temen temen sudah pakai, sudah cobain atau pergi ke sana juga. Seperti fenomena Labubu atau iPhone baru yang sampai antri.
Akhirnya, segala cara dilakukan untuk nekat dapetin yang mahal mahal itu. Disinilah akhirnya muncul hutang. Kalau jaman dulu saat riset lipstick effect itu, jamannya kartu kredit ya, namun jaman sekarang jamannya pinjaman online atau paylater. Definisi godaan berat, apalagi dengan integrasi ekosistem belanja online dan paylater straight away (langsung). Klik klik sana sini, masukin data pribadi, tunggu approval (persetujuan), beres. Semudah itu. Jadilah situasinya adalah duit mepet, daya beli tertekan ditambah hutang, tapi gayanya harus shimmering splendid.
Dengan mereka melakukan itu, bukan hanya menghibur diri dan melepas stress karena realitas situasi mereka yang keras, namun juga ada sensasi kenikmatan dan keseruan sekaligus. Apalagi sampai misalnya rebutan barang sampai ribut ribut. Duh, dijamin berwarna ini hidup. Apalagi dengan tren jaman sekarang yang apa apa masuk media sosial, duh kalau ada ribut ribut enaknya minimal nonton kali ya keributan itu. Mayan, tontonan gratis.
Dari deskripsi tadi, sudah kebayang kan betapa puyengnya memahami mereka mereka ini? Bagaimana jika kita harus memperingatkan mereka untuk berhati hati dan lebih eling (sadar) saat berbelanja? Bisa jadi mereka punya banyak alasan soal hal ini, sehingga agak sulit melepas mereka dari jeratan ini. Sama sulitnya seperti melepas mereka mereka yang terjerat toxic relationship (hubungan antar manusia yang tidak sehat).
Namun bagi ekonomi, situasi ini sebenernya masih bagus. Mengindikasikan permintaan masih ada, cuma sebagai pelaku bisnis kita memang harus melakukan penyesuaian untuk menjaga level permintaan dan memaksimalkannya. Tapi bukannya tanpa dampak negatif ya, karena selain memberi tekanan pada sektor konsumer untuk membuat “apapun murah” karena daya beli mengarah ke hal hal yang kurang menjadi prioritas/kurang penting, juga karena akan memberi dampak pada kinerja kredit konsumsi, yang di dalamnya mengandung kartu kredit, pinjaman online, paylater, kredit tanpa agunan dan lain sebagainya. Belum lagi dampak tekanan daya beli berlanjut karena harus membayar hutang, sementara pendapatan ngga naik sekencang pengeluarannya.
Karena itu, bagi pelaku bisnis salah satu yang harus difokuskan adalah penajaman target pasar untuk menghadapi dampak hal ini. Sementara bagi konsumen, tentu kesadaran diri sendiri untuk mengendalikan apa yang kita punya, memaksimalkan peluang yang ada untuk memperbesar dan memperoleh sumber pendapatan, serta berupaya untuk mengendalikan (bahkan tidak mengambil) hutang menjadi upaya terbaik untuk menghadapi tantangan yang sedang kita hadapi.
Soal kebahagiaan dan menghibur diri, pada akhirnya hanya bisa terwujud dalam rasa cukup dan bersyukur, bukan pada barang barang yang dibeli, bukan pada uang yang telah dikeluarkan. Ini memerlukan kebiasaan yang dilatih. Jikapun memang ngga nahan mau beli, ya setidaknya kita tidak menjadikan barang itu sebagai sumber kebahagiaan.
Percuma dapet kebahagiaan semu, tapi selanjutnya pusing bayar hutangnya.
======
Setelah menulis ini, saya kemudian menyadari jangan jangan saya kena efek ini juga lagi? Beberapa waktu terakhir, saya muter muter beli berbagai kopi dari merek berbeda, seperti Starbucks (MAPB), Point Coffee (Indomaret - DNET), Familymart, Tomoro Coffee, Kopi Kenangan dan Fore. Tinggal Tuku, Janji Jiwa sama Flash yang belum dicoba. Yang puyengnya, saya beli kopinya tipe yang sama : Caramel Machiato semua wkwkwk. Dari semua brand ini, yang saya suka banget ada 3 : Starbucks, Fore dan Point Coffee.
Eh kok jadi review sih wkwkwkw
Tapi serius, rasanya memang muter muter begini seneng banget, meski rasanya nampak sama aja. Hal ini yang kemudian saya lakukan juga saat belanja online misalnya, dimana saya sampai menggilir belanja di hampir semua e-commerce. Atau ketika saya belanja kebutuhan sehari hari, saya menggilir belanja di hampir semua supermarket-minimarket yang bisa dijangkau dari rumah. Selain, tentu saja untuk menjadi bahan riset buat konten. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Eh tapi bentar, jangan jangan viralnya j dan i 4 huruf online, sebenernya juga lipstick effects juga? Melihat yang memainkannya rata rata adalah kaum menengah ke bawah, yang bukan hanya sulit dari sisi ekonomi dan lemah dari sisi edukasi, tapi sangat haus hiburan?
Duh, pekerjaan pemerintah makin sulit banget ini ya dalam menghadapi dan memberantas dampak j dan i online 4 huruf, karena sudah menyentuh emosional manusia ~
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $MAPI $LPPF $RALS $MAPB
1/2