Apakah diversifikasi bisa membantu kinerja portfolio kita? (Backtrack kinerja saham 2013-2023)
Salah satu hal yang sering menjadi bahan diskusi yang cukup hangat adalah diversifikasi portfolio, seperti:
- Berapakah jumlah saham yang seharusnya kita miliki dalam portfolio saham?
- Apakah semakin banyak saham yang kita miliki, return kita akan semakin rendah?
- Apakah benar diversifikasi bisa membantu kita untuk tidur lebih nyenyak (karena tidak banyak bergejolak)?
Seperti biasanya, saya akan mencoba untuk mencari ‘clue’ untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Perlu diperhatikan, yang dimaksud dengan diversifikasi di sini adalah memiliki lebih dari 1 saham dalam portfolio. Jadi, memiliki 2 saham pun sudah saya anggap sebagai diversifikasi.
Katakanlah dengan menggunakan screener, kita mencari saham-saham yang memenuhi kriteria P/E ratio yang rendah (< 12x) dan ROE yang cukup tinggi (> 10%).
Apa alasan penggunaan rasio-rasio tersebut dan mengapa menggunakan batasan-batasan angka tersebut?
Saya menggunakan ROE karena merupakan indikator kemampuan perusahaan untuk mengalokasikan modal. Sementara itu, P/E ratio yang rendah merupakan tanda-tanda suatu saham dijual dengan harga yang relatif murah.
Saya memilih angka-angka batasan tersebut dengan mengira-ngira saja berdasarkan pengalaman. Saya juga sengaja menggunakan kriteria yang terlalu ketat agar saham yang terpilih tidak terlalu sedikit.
Hanya itu saja kriterianya. Dalam kasus ini saya mengesampingkan dahulu bagaimana model bisnisnya, bagaimana prospek ke depan, bagaimana utangnya, bagaimana cash flow-nya. Kali ini kita hanya akan mencari tahu bagaimana efek diversifikasi terhadap kinerja portfolio kita.
Dengan menggunakan kedua kriteria tersebut (P/E ratio dan ROE), terdapat 90 saham yang memenuhi syarat pada tahun 2013.
Mengapa menggunakan data tahun 2013?
Sederhana saja. Dengan menggunakan 2 kriteria tersebut, kita akan melihat return rata-rata portfolio selama 10 tahun ke depan (sampai dengan tahun 2023). Ke-90 saham tersebut selanjutnya akan menjadi semesta saham yang bisa kita pilih untuk masuk ke dalam portfolio.
Bagaimana cara memilihnya?
Saya akan memilih secara acak sejumlah saham dan melihat bagaimana kinerja portfolio yang berisi saham-saham tersebut.
Misalnya kita hendak melakukan analisis bagaimana kinerja portfolio jika terdiri dari 3 saham. Maka yang kita lakukan adalah:
1. Pilih secara acak 3 saham dari 90 saham.
2. Hitung berapa return rata-rata selama 10 tahun ke depan.
3. Hitung berapa standar deviasi dari return.
4. Hitung berapa reward to risk ratio (return tahunan rata-rata / standar deviasi).
5. Ulangi point no 1 sampai dengan 4 sebanyak 100 kali.
6. Hitung rata-rata untuk return, standar deviasi, dan reward to risk ratio dari 100 kali pengulangan tersebut.
Waduh, mengapa sampai 100 kali? Agar lebih stabil hasilnya. Semakin banyak pengulangan, hasilnya akan lebih stabil.
Lalu hasilnya bagaimana?
Portfolio yang terdiri dari 1 saham, setelah 100 kali pengambilan acak memiliki standar deviasi rata-rata 57,9%.
Apa artinya?
Return tahunan rata-rata portfolio dengan 1 saham adalah 15,0%.
Lumayan bagus ya.
Masalahnya, karena standar deviasinya 57,9%, artinya jika hanya memegang satu saham return kita secara ekstrim bisa saja 72,9% (15,0% + 57,9% ) atau malahan -43,0% (15% - 57,9%). Range tersebut memang sangat lebar.
Kok bisa begitu?
Secara intutitif, dapat dijelaskan bahwa karena portfolio kita hanya terdiri dari 1 saham, jika terjadi apa-apa terhadap saham tersebut, dampaknya akan sangat besar terhadap portfolio kita karena tidak ada saham lain yang menjadi penopang portfolio kita.
Sebagai perbandingan, dalam kurun waktu yang sama (2013-2023), return rata-rata IHSG adalah sebesar 6,0% dengan standar deviasi sebesar 11,1%. Artinya, return tahunan IHSG berada di kisaran -5,1% sampai dengan 17,1%.
Ok, ok. Hanya punya 1 saham memang riskan, lalu bagaimana jika portfolio kita terdiri dari 2 saham?
Dari hasil pengambilan acak sebanyak 100 kali, portfolio kita akan memiliki return rata-rata 14,8% dan standar deviasi sebesar 44,2%. Dengan kata lain, kisaran kemungkinan return yang akan kita dapatkan berada di range -29,4% hingga 59,1%.
Walaupun kisarannya masih cukup lebar namun masih lebih baik daripada portfolio yang hanya terdiri dari satu saham saja. Tentu saja ada yang kita korbankan untuk itu. Jika dengan 1 saham dalam portfolio kita bisa mendapatkan return 72,9% per tahun, dengan 2 saham dalam portfolio harapan return kita hanya mencapai 59,1% per tahun.
Kita bisa melanjutkan eksperimen ini untuk 3, 4,5 saham dan seterusnya. Hasilnya, semakin banyak saham dalam portfolio, standar deviasi return akan semakin rendah. Artinya, dengan menambah jumlah saham, pergerakan portfolio kita menjadi tidak terlalu ‘liar’.
Yang menarik, ketika jumlah saham sudah mencapai 8 macam, penurunan standar deviasi melambat secara drastis. Artinya, kita sudah tidak memperoleh keuntungan yang signifikan lagi dengan menambah saham lebih dari itu. Tentu saja ini hanya berlaku pada semesta 90 saham itu ya.
Namun setidaknya, kita mendapatkan insight bahwa diversifikasi dalam kadar yang cukup (tidak terlalu sempit dan tidak terlalu luas) akan bisa menghindarkan kita dari hancurnya portfolio karena ada salah satu saham yang kinerjanya buruk.
Pada eksperimen ini, saya melakukan pengujian sampai dengan 50 saham yang bisa dilihat pada grafik 1 di attachment. Pada grafik tersebut terlihat bahwa diversifikasi secukupnya akan mampu meredam ‘goncangan’ pada portfolio dengan efektif.
Dari tadi kita lebih banyak membahas tentang standar deviasi. Lalu bagaimana dengan return-nya?
Terkait dengan return, hasil eksperimen ini cukup mengejutkan bagi saya.
Penurunan return portfolio sebagai akibat dari penambahan jumlah saham tidak terlihat signifikan. Sepertinya memang kita perlu menggali lebih dalam tentang ini. Dugaan awal saya, penyebabnya adalah sedikitnya parameter screening yang digunakan. Batasan-batasannya juga terlalu ‘loose’ sehingga tidak ada pembeda yang kontras antara satu saham dengan saham yang lain. Hasil lengkapnya bisa terlihat pada grafik 2 pada attachment.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan menerapkan 2 kriteria screening (P/E ratio dan ROE), return portfolio selama kurun waktu 2013-2023 adalah sekitar 14,5%. Return ini jauh di atas IHSG yang rata-rata return-nya hanya 6,0% dalam kurun waktu yang sama.
Sebenarnya yang lebih menarik adalah hasil analisis terhadap reward to risk ratio (RRR) portfolio. Saya mendefinisikan RRR sebagai return rata-rata / standar deviasi. Rasio tersebut akan memberikan kita insight mengenai efektivitas diversifikasi dalam meredam fluktuasi return portfolio. Semakin besar RRR, semakin baik portfolio kita dalam meredam ‘goncangan’.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, kita bisa membandingkan RRR portfolio dengan RRR IHSG. Selama kurun waktu 10 tahun tersebut, RRR IHSG adalah sebesar 0,54. Pada kurun waktu yang sama, rata-rata RRR portfolio dengan 1 saham hanya sebesar 0,21.
Artinya, meskipun berpotensi mendapatkan return yang tinggi, kita juga harus menghadapi fluktuasi yang tajam pada portfolio kita.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak saham dalam portfolio, RRR cenderung semakin tinggi.
Dari hasil eksperimen, terlihat bahwa portfolio yang terdiri dari 8 saham memiliki RRR 0,50 (mendekati RRR IHSG). Jika benar-benar menginginkan RRR yang lebih baik daripada IHSG, kita membutuhkan minimal 23 saham di dalam portfolio kita (lihat grafik 3 pada lampiran agar lebih jelas).
Walaupun begitu, kita tentu tidak menginginkan portfolio kita sebagai supermarket. Sesuaikan jumlah saham dalam portfolio dengan kemampuan kita.
Sejauh ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita dapatkan dari hasil eksperimen tersebut.
1. Diversifikasi yang tepat akan bisa mengurangi gejolak pada portfolio kita tanpa harus mengorbankan return terlalu besar.
2. Walaupun penggunaan parameter screening yang tepat akan bisa memberikan return yang cukup baik, kita tetap harus melakukan analisis secara mendalam (kualitatif dan kuantitatif) agar bisa mendapatkan reward to risk ratio yang tinggi tanpa harus membeli terlalu banyak saham.
3. All in di 1 saham berisiko sangat tinggi jika kita tidak benar-benar memahami tentang saham tersebut. Selain itu, portfolio kita juga akan lebih terancam oleh risiko tak terduga yang belum kita perhitungkan sebelumnya.
Terakhir, saya akan menampilkan sebuah quote dari Warren Buffett:
“Diversification is protection against ignorance…It makes little sense if you know what you are doing.”
Warren Buffett
Waduh, gak boleh diversifikasi dong kalau begitu?
Pada dasarnya, saya melakukan diversifikasi selama masih diperlukan. Sebisa mungkin saya saya berusaha untuk memegang saham sesedikit mungkin. Namun memang ada beberapa hal terkait dengan itu:
1. Meskipun sudah melakukan analisis dengan mendalam, terkadang masih saja ada faktor X yang menyebabkan kinerja saham tidak sesuai dengan harapan. Saya tidak ingin jika hal tersebut terjadi akan menganggu kinerja portfolio saya.
2. Cukup banyak saham yang saya anggap bagus dan saya memiliki waktu untuk melakukan analisis terhadap saham-saham tersebut dan juga memantaunya secara berkala.
3. Bagaimanapun juga, saya adalah investor individual yang tidak memiliki akses informasi sepenuhnya pada suatu perusahaan. Hal ini tentu akan menyebabkan adanya beberapa poin analisis penting yang tidak bisa yakini sepenuhnya.
4. Kemampuan saya jelas jauh di bawah Warren Buffett sehingga saya tidak cukup pede untuk memiliki portfolio yang terkonsentrasi atau bahkan all in di 1 saham saja.
5. Diversifikasi saya anggap efektif jika kinerja portfolio tetap mampu memberikan return yang memuaskan (misalnya mengalahkan market) dan sekaligus mampu membuat portfolio tidak terpapar pada risiko yang tidak terlalu besar.
Catatan penting:
Angka-angka di atas bukanlah referensi mutlak. Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan sense mengenai pentingnya diversifikasi serta apa saja yang perlu diperhatikan dan bukan memberikan batasan-batasan yang baku dalam bentuk angka.
Sampai di sini dulu ya. Kalau ada pertanyaan langsung sampaikan di bagian comment.
$IHSG
1/3