imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Saat tulisan ini dibuat, sedang ramai diskusi di media sosial soal mengorek hubungan antara e-commerce Shopee Indonesia dengan rezim pemerintahan saat ini.

Hubungan tempat belanja online warna orange ini memang sejak lama dinilai cukup dekat dengan pemerintah, dimana ada sejumlah hal hal yang dinilai menggambarkan kedekatannya - bahkan diduga ada kedekatan dari sisi ekonomis. Salah satunya mengenai pembentukan Shopee dan bisnis bisnis grup Shopee lainnya di Indonesia seperti Seabank dan Seainsure (asuransi jiwa dan asuransi umum).

Cerita tersebut adalah satu dari sekian cerita tentang bagaimana pengendalian bisnis atau perusahaan bisa berlangsung secara real alias prakteknya. Kita bisa belajar banyak dari sini.

=======

Sejak lama, saya melihat pola pembentukan bisnis jasa keuangan Shopee di Indonesia minimal selalu didahului oleh kepemilikan PT Indonesia. Alias dimiliki tidak langsung. Berbeda dengan kebanyakan perusahaan asing ketika ingin memiliki perbankan, asuransi dan perusahaan jasa keuangan lainnya disini yang selalu menunjukkan identitas perusahaan asingnya (misalnya Pte Ltd atau Limited).

Kepemilikan PT asal Indonesia ini umumnya dilakukan melalui akuisisi PT tersebut dari pihak lain seperti pada kasus Seabank, atau pembentukan PT bersama pihak lain seperti dalam kasus Seainsure. Kalau lihat skema yang beredar di Seabank misalnya, ada peran “perusahaan offshore” (perusahaan luar negeri) yang memegang sahamnya. Jadi, nama Sea Limited sebagai induk semua bisnis Shopee secara internasional ada di lapisan minimal ke 3-5 dari bawah.

Atas hal tersebut, tersebutlah 2 nama yang cukup mentereng di pelaku bisnis Indonesia yang dianggap bermitra dengan Shopee (ada kepemilikan saham?). Pertama, Pandu Patria Sjahrir, keponakan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Kedua, Martua Sitorus, pemilik dari produsen minyak goreng dan beras Sania-Fortune, Wilmar International. Pandu Sjahrir disebut berkaitan dengan bisnis gaming Sea Limited, Garena. Sementara Martua Sitorus, disebut berkaitan dengan beberapa bisnis jasa keuangan Shopee, melalui nama keponakannya, Darwin Indigo dan Andy Indigo, yang secara jelas memegang 1% saham di beberapa PT tersebut.

Secara kebetulan atau tidak, sejumlah unit bisnis Shopee di Indonesia juga berkantor di 2 gedung yang dimiliki oleh Luhut dan keluarga Martua. Masing-masing adalah Sopo Del Office dan Gama Tower. Dua duanya berlokasi di sekitaran Kuningan, Jakarta Selatan. Gama Tower, yang menjadi salah satu gedung tertinggi di Jakarta yang mengalahkan ketinggian gedungnya BBNI, menjadi kantor pusat dari Seabank dan Seainsure. Sementara Sopo Del pernah dipakai beberapa divisi Shopee Indonesia dan kini masih dipakai sebagai kantor pusatnya Spaylater dan Spinjam.

Meski terdengar sebagai skema baru, namun apa yang dilakukan Shopee sebenarnya bukan satu hal baru. Pola ini ternyata pernah dilakukan juga, misalnya, oleh grup Akulaku, sebuah penyedia pinjol dan paylater terkemuka Indonesia. Pola kepemilikan tidak langsung melalui perusahaan Indonesia dan “perusahaan offshore” dilakukan di sejumlah bisnis Akulaku, baik yang menangani e-commerce mereka, pinjol maupun perbankan mereka, Bank Neo Commerce ($BBYB). Kalau melihat hal ini, nampaknya pengendalian serba ribet seperti Shopee dan Akulaku menjadi gaya pengendalian umum khas perusahaan daratan Tiongkok, yang jago urusan “menyembunyikan” begini.

Sudah paling advance? Belum.

Ada perusahaan asal Hongkong, yaitu grup J&T Express - salah satu kurir pengiriman terkemuka, yang pengendaliannya hanya berbekal surat perjanjian dan kesepakatan pengendalian. Jadi, yang tercatat secara administrasi negara adalah nama lain yang merupakan WNI dan PT Indonesia, namun di belakang mereka ada induknya si J&T Express ini. Kesepakatan pengendalian ini menjelaskan bahwa segala kebijakan hingga dividen yang diperoleh dari J&T Express Indonesia akan jadi milik induknya J&T Express ini, bukan WNI dan PT Indonesia di atas J&T. Hal ini mengakali sejumlah pembatasan investasi terkait logistik di Indonesia yang masih agak membatasi pemain asing di dalamnya.

Atau yang lain, ada satu konglomerat Indonesia di masa lalu yang terkenal, super terkenal malah, yang namanya menghilang setelah sejumlah bisnisnya menghadapi masalah akibat krisis ekonomi 1997-1998. Nama orang ini kemudian tersangkut dalam BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), meski terakhir sudah dinyatakan lunas. Sejumlah bisnis beliau, kemudian dikuasai oleh menantunya, yang kemudian menjadi komisaris di beberapa emiten yang ada di grup ini. Namanya Tan Enk Ee.

Dua emiten dari grup beliau tergolong terkenal di telinga pelaku pasar : Mitra Adiperkasa ($MAPI) dan Gajah Tunggal ($GJTL). Salah satu cara mendeteksinya adalah : ada beberapa komisaris dan direksi di emiten beliau ini punya pengalaman di 1 nama, yaitu Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), bank yang menyebabkan nama beliau, Sjamsul Nursalim, tersangkut dalam BLBI. Termasuk, di bisnis jasa keuangan beliau, Equity Development Investment (GSMF), yang memiliki Bank Ganesha (BGTG). Nampaknya, faktor trust menjadi alasan mengapa nama nama tersebut ditempatkan, selain memang pada kebanyakan konglomerasi ada orang orang yang biasanya cukup loyal untuk bertahan selama lebih dari 10-20 tahun.

Itu baru sebagian kecil.

Ada sejumlah alasan mengapa pengendalian dalam sejumlah cerita di atas terjadi. Alasan umumnya adalah karena faktor strategi pengendalian dari entitas tersebut. Tiap perusahaan punya beda beda strategi pengendalian, tergantung obyektif mereka seperti apa. Berikutnya adalah kolaborasi atau adanya investor non pengendali. Untuk entitas yang memang strateginya menggalang dana investor, maka kerumitan pengendalian tersebut bertujuan untuk mengakomodir kebutuhan investor tersebut.

Alasan personal, seperti faktor perpajakan, isu hukum yang terjadi dengan orang tersebut dan persoalan serupa juga membuat proses pengendalian bisa menggunakan nama orang atau perusahaan lain. Apalagi dengan keberadaan negara negara tax haven yang membuat proses ini bisa terjadi. Selain itu, keterkaitan secara citra dengan seseorang bisa merugikan jika orang tersebut, atau perusahaannya, terlibat dalam masalah masalah itu. Menurunnya kepercayaan pelanggan maupun buruknya branding perusahaan atau bisnis.

Yang tak kalah penting, masalah peraturan investasi yang juga menjadi alasan untuk membentuk celah pengendalian yang beraneka rupa. Meski peraturan tersebut tentu untuk menjaga persaingan sehat dan wajar, serta menjadi bagian dari menjaga kedaulatan dan posisi negara di sejumlah sektor penting, namun karena peluang peluang bisa jadi lebih kuat dibandingkan resikonya, maka selalu ada cara untuk mengakalinya. Disinilah menjadi kebijaksanaan pemerintah untuk meregulasi investasi dan proses prosesnya secara lebih teliti, serta memastikan bahwa investasi yang masuk berkualitas.

Begitu ~

Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.

$IHSG $CEKA

Read more...

1/2

testes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy