Refleksi FCA $BREN: Bursa, Kalian Belum Terlambat
Disclaimer: Tulisan ini sepenuhnya merupakan opini pribadi serta tidak merepresentasikan pandangan perusahaan tempat saya bekerja.
Sebagai seorang investor ritel di bursa saham Indonesia, saya hanya ingin sedikit menulis opini saya atas fenomena yang terjadi akhir-akhir ini – kebijakan FCA BREN. Andai tulisan ini sampai dibaca oleh para pemangku kepentingan, anggaplah tulisan ini sebagai rubrik opini di koran – sebuah gagasan yang mungkin dapat dipertimbangkan dan didiskusikan.
Sejak awal Mei 2024, BREN sudah mencuri perhatian seluruh pelaku pasar ketika berhasil menjadi perusahaan dengan market cap No. 1 di $IHSG – di atas $BBCA. Oleh karena itu, bursa melakukan penghentian sementara perdagangan saham BREN. Supsen awal ini dapat dikategorikan cukup rasional – untuk cooling down dan memberikan waktu bagi bursa untuk mencari tahu rasionalisasi kenaikan pesat harga saham BREN.
Meskipun sulit diterima, kenaikan harga saham BREN dapat dijustifikasi apabila dilihat dari sudut pandang strategi Passive Index Inclusion. Strategi Passive Index Inclusion ini merupakan strategi yang cukup kompleks, awam terjadi di Indonesia, serta perlu melibatkan investor institusi asing (dapat dijelaskan lebih rinci di sesi lain).
Sederhananya, BREN bergerak dalam bisnis renewable energy serta memiliki market cap yang cukup besar sehingga membuat sebagian investor institusi asing percaya bahwa BREN akan masuk ke dalam indeks global tertentu – seperti indeks ESG atau indeks global (S&P, FTSE, maupun MSCI). Apabila terjadi, saham yang masuk ke dalam indeks akan memiliki lonjakan permintaan (demand). Pada kasus BREN, investor institusi asing berusaha mengamankan jumlah persediaan (supply) terlebih dahulu – tanpa memperhitungkan harga – sebelum nantinya dijual kepada manajer investasi pengelola reksadana indeks pasif. Seperti hukum ekonomi dasar, fenomena tingginya permintaan (high demand) secara singkat diikuti rendahnya persediaan (low supply) menghasilkan kenaikan harga.
Namun, kenaikan harga yang tetap berlangsung ini sepertinya membuat bursa kurang nyaman serta memberikan suspensi kedua kalinya. Saya yakin dan percaya bahwa sedari awal bursa bermaksud baik karena ingin melindungi partisipasi investor ritel agar tetap tertarik membeli saham BREN ataupun menjaga imbal hasil rata-rata investor ritel agar tidak underperform terlalu jauh dengan benchmark. Tapi sayangnya, suspen kedua ini dibuka dengan catatan BREN masuk FCA – kebijakan yang mungkin kurang dimengerti oleh investor asing. Hal ini juga direspon oleh FTSE dengan tidak jadi memasukan BREN ke dalam indeks mereka karena kebijakan FCA.
Kehadiran tato FCA pada BREN diinterpretasikan sebagai risiko regulasi tambahan bagi investor asing – sehingga mereka terlihat melakukan panic selling dengan outflow secara perlahan dari pasar saham Indonesia. Bagi investor asing, Indonesia hanya menjadi 1 dari sekian banyak market yang dapat mereka masuki. Apabila risiko pada market Indonesia semakin besar (dalam hal ini risiko regulasi), mereka dapat memutuskan untuk mengurangi porsi kepemilikan di market Indonesia.
Kalau sudah begini, rasa-rasanya sangat sedikit pihak yang diuntungkan.
• Indonesia kembali dicap sebagai negara yang tidak ramah investasi asing akibat regulasi – setelah pemerintah berjuang habis-habisan untuk mendatangkan investasi asing.
• IHSG turun signifikan diikuti turunnya nilai transaksi bursa secara harian yang dapat berimbas pada pendapatan bursa.
• Sebagian masyarakat Indonesia kehilangan kepercayaan terhadap pasar saham Indonesia dan mulai ingin beralih ke pasar lainnya (pasar saham AS, crypto, hingga mungkin judi online).
Saya rasa bursa masih dapat memperbaiki keadaan – setidaknya dengan mendengarkan suara pelaku pasar untuk menghentikan kebijakan FCA. Sebelum jauh terlambat, ketika banyak masyarakat Indonesia sudah mengalihkan kekayaannya ke pasar global akibat kondisi yang tak kunjung membaik.