Belakangan ini, media sosial diramaikan dengan berita soal Gen Z (usia saat ini rata rata 20-27 tahun) yang banyak menganggur.
Padahal, usia usia seperti ini adalah “primetime” untuk seseorang meniti karir. Banyak peluang yang tersaji ketika di usia seperti ini. Salah satu penyebabnya, ironisnya, adalah pembatasan umur lowongan kerja maksimal 25-28 tahun. Usia usia ini biasanya ada di level staff awal awal, dan ketika pengalaman meningkat, skill bertambah, mereka yang sudah berkarir di usia segini umumnya akan dipromosikan di usia menjelang 30an.
Banyak analisis dan tudingan negatif yang muncul. Ada analisis soal kondisi ekonomi yang membuat lowongan kerja menurun, sementara angkatan kerja terus bertambah. Yang lain, sibuk menyalahkan perilaku sebagian gen Z yang terkadang tidak kooperatif saat bekerja dan terlalu lebay ketika berbicara soal “kelemahan” (mis terlalu aware dengan kesehatan mental, sampai menganggap bahwa tekanan pekerjaan di level berapapun sebagai toxic - tanpa ukuran jelas). Mana yang benar? Entahlah.
Namun sebagai bagian dari gen Z awal (atau millennial akhir, tergantung klasifikasi generasi mana yang dipakai), saya punya opini tentang situasi ini.
======
Saya bekerja pertama kali itu di 2016. Yap, 8 tahun lalu. Waktu itu, media sosial ngga kayak sekarang. Udah ramai, tapi ngga semrawut kayak sekarang. Saya bekerja di bidang yang “menghidupkan” media sosial - telekomunikasi. Terasa bedanya antara 8 tahun lalu dengan sekarang, yang mungkin juga mempengaruhi pengalaman dan cara bekerja saya sebagai bagian dari milennial akhir-gen Z awal.
Dulu, karena media sosial tidak “separah” sekarang, harus diakui saya memang tidak terpapar berlebihan dengan isu isu khas anak jaman sekarang, seperti kesehatan mental. Saya paham bahwa hal itu ada - bahkan saya menggunakan jasa psikolog saat saya SMP, tapi saya tidak melihat itu “selebay” anak anak muda sekarang yang sampai resign dalam waktu singkat hanya karena dianggap pekerjaan atau tempat kerjanya “toxic” atau tekanan kerjanya “di luar batas”. Padahal, setelah saya pikir pikir, pekerjaan saya tersebut sebenernya berpotensi bikin stressful banget.
Hal ini lebih karena tekanan kerja yang lumayan keras, yang disebabkan karena nature dari pekerjaannya yang bener bener harus aware serta responsif tingkat tinggi jika ada gangguan. Saat ada masalah, kadangkala bisa banyak dalam satu hari. Telepon berdering bolak balik, email bisa banjir berdatangan. Tapi saya merasa itu cukup seimbang dan bisa ditoleransi, karena kadang juga masalahnya sepi alias hampir ngga ada. Biasanya masalahnya ngga ada jika di shift malam - bisa karena memang ngga ada beneran, bisa karena masalahnya ditunda besok pagi wkwkwk.
Soal curhat di media sosial, memang harus diakui itu saya alami juga. Namun saya ngga pernah curhat soal pekerjaan atau kantor. Biasanya tentang kehidupan sehari hari. Saya memahami karena saya tahu satu etika tak tertulis soal tidak menjelekkan mantan (eh), maksudnya tidak menjelekkan perusahaan. Selain itu, karena saat itu saya sudah punya wadah sendiri melalui blog (dan kemudian ada akun ini), saya punya pelampiasan yang lebih terarah. Mungkin bro and sis yang tukang curhat di medsos, bisa mulai mencari dimana pelampiasan yang terarah ini.
Kalau soal toxic, yah sepertinya memang ada di mana mana sih. Ngga usah di pekerjaan, di keluarga sendiri aja ada potensi orang toxic atau situasi toxic juga. Kalau dari analisis saya, toxic beginian biasanya muncul karena sistem yang tidak cukup kuat atau telah terbentuk serta tentunya masalah dari diri sendiri - entah pelaku maupun korban. Soal masalah diri sendiri saya tidak akan berkomentar, namun soal sistem ini yang menurut saya definisi mempengaruhi paling maksimal. Sistem disini maksudnya soal peraturan, hal hal yang disepakati dan tidak disepakati, pola pola dsb yang membentuk kebiasaan.
Sistem yang ada mempengaruhi seberapa besar toxic itu terjadi. Sistem yang mendukung senioritas misalnya, dimana hal ini bisa disalahgunakan untuk menindas atau membully. Atau sistem meritokrasi (penilaian berbasis kinerja) yang tidak berjalan, sehingga penuh dengan orang dalam dan membangun “dinasti”. Yang lain, sistem yang memunculkan potensi kubu kubu diantara para pekerja juga memicu potensi toxic dan gesekan diantara sesama pekerja. Misalnya kalau tidak ikutan satu kubu, bakal dijegal dan dimusuhi.
Semua pengalaman dan pemahaman tersebut membuat saya jadi lebih realistis dalam bekerja. Jadinya cukup bisa ngerem soal keluhan, meski secara manusiawi keluhan tetap saja ada. Namun yang menjadi masalah kan soal bagaimana cara menyampaikannya dan di mana menyampaikannya? Bener kan? Mungkin juga, balik lagi, karena saat awal awal bekerja, sumber informasi ngga seperti sekarang. Saya baru terpapar keras soal kesehatan mental dan pernak pernik yang ngetren di kalangan anak muda itu sejak pandemi. Sejak setiap orang tiba tiba jadi influencer. Ribut banget. Disinilah masalah utamanya, yang sayangnya tidak semua dari kita tahan dengan keributan dan mampu menyeleksi informasi dengan baik serta kritis.
Keluar dari masalah personal, seperti yang sudah diulas sejumlah media, memang faktor tantangan ekonomi 10 tahunan terakhir juga mempengaruhi. Sepuluh tahun terakhir, tantangan serius terjadi mulai dari geopolitik (terutama Amerika Serikat VS Tiongkok yang paling dahsyat sampai sekarang), ekonomi terpengaruh kinerja harga komoditas utama (batu bara dan kelapa sawit), upaya Amerika Serikat bangkit dari krisis ekonomi 2008, isu inefisiensi dan ketidakpastian bisnis akibat peraturan dan birokrasi yang buruk (korupsi?), hingga tantangan yang semua orang masih mencari titik temunya : adanya anomali akibat perkembangan teknologi yang pesat - sayangnya tidak seiring dengan kecepatan kita dalam memahami, berpikir kritis dan mengikuti perubahannya.
Yang terakhir memang definisi mengubah banyak hal. Termasuk, orientasi investasi ke padat modal. Peningkatan beban gaji dan bonus tiap tahunnya, sementara bisnis mencari duit (pendapatan) makin sulit, membuat efisiensi harus dilakukan. Teknologi, mesin dan semacamnya bisa membantu efisiensi sambil menjaga produktivitas. Sementara itu, investasi padat karya menghadapi tantangan peraturan, gangguan setempat (preman, ormas) dan tidak ketemunya tuntutan buruh VS pemberi kerja. Akhirnya, kecenderungan kita sekarang harus lebih generalis (palugada, apa lu mau gua ada) di era padat modal, dibandingkan spesialis (bisanya di bidang ini saja) di era padat karya.
Itulah yang menginspirasi saya mengerjakan apa yang bro and sis baca hari ini. Saya akhirnya mengerjakan dan mulai memahami banyak hal, di luar apa yang saya kerjakan. Mau ngga mau harus dilakukan. Meski ini belum selesai, namun saya percaya ini akan memberikan banyak pengalaman berharga.
So, buat teman temanku, yang saat ini sedang berjuang dan mulai stress karena berita gen Z banyak menganggur, ada riset mencari pekerjaan akan lebih sulit kedepannya, serta disalah salahkan oleh netijen generasi sebelumnya (generasi kakak, om-tante, ibu bapak bahkan kakek nenek) karena dianggap ini dan itu, saya percaya bahwa selalu ada jalan untuk kita menemukan apa yang kita impikan. Karena itu, buat secara jelas apa yang mau dilakukan, lakukan apa yang bisa dilakukan, dan jika ada kesempatan untuk upgrade diri, ambil. Komentar generasi sebelumnya, jika itu positif untuk pengembangan diri, ambil. Namun jika hanya nyinyir memperbandingkan saja, merasa paling superior, buang. Setiap manusia dan setiap generasi punya keunikan sendiri sendiri. Toh mereka juga sama sama frustasi dengan situasi hari ini dan ketika diperbandingkan dengan sesama generasinya. Sama aja kan strugglenya?
Bagi yang saat ini bekerja, coba deh pertimbangkan untuk lebih ke generalis. Pemahaman kita mungkin saat ini sudah kuat di pekerjaan yang kita ambil. Namun, dengan penambahan pemahaman dan skill baru, siapa tahu ini menjadi rejeki baru dan bisa membantu promosi kita. Mulai dulu dari yang terkait dengan pekerjaan kita. Misalnya orang finance belajar soal data analyst, Atau sales marketing belajar tentang content creation dan berpikir kreatif. Nanti bisa dikembangkan lagi.
Begitu ~
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $BBCA $TLKM $ASII $MSTI
1/2