ALUR PENCATATAN MUTASI TANAH EMITEN PROPERTI

Hmm berhubung masih banyak terlihat pemahaman yang bias dan berpotensi timbul miskonsepsi soal bagaimana emiten properti mencatat aset tanahnya di laporan keuangan, maka coba saya buat postingan berikut.

Lampiran saya ambil contoh laporan keuangan $BKSL sebagai emiten properti dengan landbank terbesar di Indonesia.

Berikut tahapan pencatatannya:

1. Uang Muka Perolehan/Pembelian Tanah
Saat emiten properti mengincar pengadaan tanah baru, maka emiten akan memberikan uang muka / tanda jadi / DP ke si pemilik tanah, sembari menunggu kelengkapan proses serah terima, baru kemudian dilunasi.
Tahapan ini akan dicatat pada akun Uang Muka Pembelian Tanah yang biasanya diklasifikasikan ke Aset Tidak Lancar, yang nilainya sebesar jumlah uang yang sudah diberikan ke pemilik tanah sebagai tanda jadi.

2. Tanah Untuk/Belum Pengembangan
Ketika tanah sudah dilunasi, dan proses serah terima sudah selesai, dan hak atas tanah sudah menjadi milik emiten, maka Uang Muka Pembelian Tanah akan direklasifikasi ke akun Tanah Untuk Pengembangan yang juga masuk ke Aset Tidak Lancar.
Nilainya dicatat sebesar uang muka plus pelunasan (total harga perolehan) yang dibayarkan ke pemilik tanah sebelumnya.
Tanah tersebut akan tetap dicatat dalam akun ini selama belum dilakukan proses pematangan lahan/penggarapan/pengembangan.

3. Persediaan
Ketika tanah tersebut sudah masuk ke proses pengembangan, atau biasanya yang sudah mulai dipasarkan/dijual, maka akun Tanah Untuk/Belum Pengembangan akan direklasifikasi lagi ke akun Persediaan.
Nilainya dicatat sebesar harga beli tanah (harga perolehan) ditambah dengan seluruh biaya pematangan lahan dan biaya konstruksi hingga lahan atau bangunan yang berdiri di lahan tersebut siap diserah-terimakan ke pembeli.

Selanjutnya akun Persediaan pun biasanya ada Sub Klasifikasi lagi, sub klasifikasi umum yang biasa ditemui di catatan atas laporan keuangan emiten properti adalah

3.a. Tanah Sedang/Dalam Pengembangan
Biasanya sub klasifikasi ini digunakan untuk menampung bidang tanah yang baru saja dipindahkan dari akun Tanah Untuk Pengembangan, dan masih dalam tahap pematangan lahan. Baik nantinya untuk dijual dalam bentuk tanah kosong atau dibuatkan unit bangunan dulu.

3.b. Tanah/Bangunan Dalam Penyelesaian
Setelah pematangan lahan selesai dan berlanjut ke tahap konstruksi bangunan, maka tanah beserta bangunan tersebut pindah ke sub-klasifikasi ini.

3.c. Tanah/Bangunan Siap Dijual
Setelah proses pematangan lahan dan/atau konstruksi bangunan selesai sempurna, maka tanah tersebut dipindah lagi ke sub-klasifikasi ini sampai menunggu selesai serah terima dengan pembeli.
Di dalam sub-klasifikasi ini, ada bidang tanah/bangunan yang sebenarnya sudah terjual ke pelanggan (emiten sudah terima uang muka dari pelanggan) tapi belum serah terima, atau sengaja dibangun sampai selesai oleh emiten tapi belum ada pembelinya (sebagai ready stock).

Persediaan ini pun seringnya terbagi ke 2 klasifikasi di Laporan Posisi Keuangan, ada yang masuk ke Aset Lancar (jika tanah bangunan siap dijual/ready stock atau menurut perkiraan sudah siap serah terima dalam satu tahun), juga masuk ke Aset Tidak Lancar (jika tanah/bangunan masih lama proses konstruksinya dan belum bisa ready dijual dalam jangka waktu satu tahun ke depan).

Nah setelah semua proses serah terima selesai dengan pembeli, maka aset tanah pun akan direklasifikasi ke Beban Pokok Pendapatan pada Laporan Laba Rugi, dan periode selanjutnya akan "hilang" dari pencatatan aset di laporan keuangan emiten.

Lalu ada pertanyaan, apakah aset tanah emiten properti tersebut dicatat dengan harga perolehan atau nilai wajar/fair value dari appraisal/aktuaris/kantor jasa penilai publik yang setiap jangka waktu tertentu bisa direvaluasi?
Jawabannya sudah bisa terlihat dari penjelasan saya di atas, yaitu dicatat menggunakan HARGA PEROLEHAN / COST, bukan dengan fair value.

Mengapa?
Karena "tanah" bagi emiten properti itu ibarat "persediaan" barang yang akan/selesai diproduksi oleh perusahaan manufaktur, atau sama juga dengan "persediaan" barang yang akan dijual oleh perusahaan dagang.
"Tanah/bangunan" adalah barang dagangan bagi emiten properti, dan bukanlah dianggap sebagai "investasi" seperti pada emiten non properti.
Karena tanah barang dagangan itu bukan "investasi", maka tidak ada istilah "keuntungan/kerugian yang belum direalisasi" sebagai akibat dari pengakuan fair value.

Akan tetapi ada kasus spesial untuk tanah/bangunan yang dimiliki emiten properti dalam kondisi berikut:

1. Sebagai "Properti Investasi"
Ini adalah tanah/bangunan yang niatannya bukan untuk dijual sebagai barang dagangan, tapi untuk kebutuhan investasi oleh si emiten yang biasanya akan menghasilkan recurring income (pendapatan berulang).
Contoh: tanah/bangunan mall yang menyewakan bidang usaha ke tenant, gedung kantor untuk disewakan, tempat wisata yang memperoleh pendapatan dari ticketing, gedung pertemuan untuk disewa, hotel, rumah/ruko untuk disewa, lahan parkir berbayar, bangunan pasar yang kiosnya disewakan, gedung atau lapangan olahraga (sport club) yang memperoleh pendapatan dari membership/sewa, tanah kavling untuk disewakan, dll.

2. Sebagai "Aset Tetap"
Ini adalah tanah/bangunan yang dipergunakan sendiri oleh emiten untuk kebutuhan operasional perusahaan. Misal kantor marketing, kantor pusat administrasi, kantor manajemen perumahan, dll.
Mungkin juga termasuk lahan fasilitas sarana prasarana umum bagi penghuni di kawasan perumahan yang tetap dimiliki oleh emiten sebagai pengembang dan tidak dimaksudkan untuk dijual.

Nah atas tanah/bangunan yang tercatat sebagai "Properti Investasi" dan "Aset Tetap" inilah yang mungkin dinilai menggunakan fair value oleh appraisal, karena sifatnya yang bukan barang dagangan tadi, melainkan investasi.

Dalam kasus BKSL ini bisa dilihat ada pendapatan dari revaluasi yang cukup besar, ini merupakan revaluasi atas bidang tanah yang masuk akun Properti Investasi, bukan Tanah Untuk Pengembangan, bukan juga Persediaan.

Oleh karena pembelian tanah itu dianggap sebagai "barang dagangan", maka emiten properti akan mencatat arus kas keluar pada bagian "Arus Kas dari Aktivitas Operasional/CFO" pada laporan arus kas, bukan masuk ke Arus Kas Investasi.
Kecuali, jika dari awal emiten sudah beli tanah tersebut dengan peruntukkan sebagai properti investasi atau aset tetap, maka baru masuk sebagai Arus Kas Investasi.

Lalu dalam contoh kasus BKSL, yang masuk ke Arus Kas Investasi hanyalah pengeluaran kas (pembayaran) 'uang muka' pembelian tanah dan 'uang muka' proyek, yang proses serah terima dari pemilik tanah semula dan penyelesaian proyeknya mungkin masih memakan waktu lama, atau memang peruntukannya dari awal sudah langsung jadi properti investasi, sehingga pengeluaran kas seperti ini dianggap sebagai "investasi".
Namun pengeluaran kas untuk pembelian tanah secara reguler tetap masuk pos Arus Kas Operasional.

Kemudian timbul pertanyaan juga, kenapa Pendapatan di Laporan Laba Rugi perusahaan properti, nilainya bisa jauh berbeda dengan Arus Kas Masuk dari Aktivitas Operasional (Kas dari Pelanggan) di Laporan Arus Kas ?

Itu karena standar akuntansi hanya memperbolehkan emiten properti mencatat penjualan properti sebagai Pendapatan ketika proses serah terima unit tanah/bangunan sudah rampung.
Selama belum serah terima, maka emiten akan mencatat kas masuk baik dari uang muka maupun pelunasan pembeli (termasuk dari KPR bank), ke akun Liabilitas Kontrak atau akun Uang Muka Pelanggan yang masuk di "Liabilitas" pada Laporan Posisi Keuangan.

Jika sudah selesai serah terima unit, maka akun Liabilitas Kontrak atau Uang Muka Pelanggan ini akan dihapus, dan direklasifikasi ke akun Pendapatan di Laporan Laba Rugi.

Nah dalam kasus BKSL yang Arus Kas Masuk dari Pelanggan di Aktivitas Operasional jauh lebih kecil dari Pendapatan.
Maka kondisi yang terjadi adalah serah terima unit yang dilakukan di periode ini atas perolehan marketing sales (pra-penjualan) periode lalu, jauh lebih besar dibandingkan marketing sales (pra-penjualan) periode ini yang serah terimanya baru akan dilakukan di periode mendatang ketika unit sudah selesai konstruksi.

Artinya, pendapatan yang besar saat ini adalah keberhasilan dari pencapaian marketing sales di masa lampau, sementara pendapatan yang akan tercatat di masa mendatang riskan untuk drop karena marketing sales yang minim di periode ini.
Indikasinya bisa terlihat dari penerimaan kas yang lebih kecil dibanding pendapatan, dan juga angka Liabilitas Kontrak/Uang Muka Pelanggan yang menyusut.
Kasusnya mirip $ASRI

Kasus yang "bagus" adalah $DMAS, bisa diamati pada Q3 2023 pendapatan dan laba bersihnya drop, tapi kas masuk dan angka liabilitas kontrak tetap tinggi.
Maka bisa dipastikan itu hanyalah soal timing serah terima unit, karena pada Q4 2023 terbukti pendapatan DMAS naik signifikan membalikkan drop yang terjadi di Q3.

Jadi jelas ya jika mau prediksi pendapatan dan laba bersih emiten properti, lebih baik ikuti pemberitaan soal pencapaian marketing sales-nya dan perhatikan Liabilitas Kontrak serta Arus Kas Operasional dari Pelanggan di laporan keuangan.

Uraian ini cukup panjang, tapi semoga bermanfaat.

Sebagai penutup, ini sedikit cuplikan jurnal akuntansi pencatatan properti saat serah terima unit dengan pembeli.

(Debit) Liabilitas Kontrak/Uang Muka Pelanggan
(Kredit) Pendapatan
*dicatat sebesar nilai jual*

(Debit) Beban Pokok Pendapatan
(Kredit) Persediaan
*dicatat sebesar harga perolehan plus biaya pematangan lahan dan konstruksi*

Terima kasih 馃檹

NB: ada edit minor untuk koreksi typo, tambah contoh kasus, dan tambah lampiran.

$CTRA $BSDE

Read more...

1/7

testestestestestestes
2013-2025 Stockbit 路AboutContactHelpHouse RulesTermsPrivacy