Televisi, rasa rasanya masih belum kehilangan pamornya.
Padahal, narasi negatif soal eksistensi televisi di era digital masih terus terdengar, terutama di media sosial. Namun, situasi yang terjadi di industri pertelevisian justru sebaliknya. Makin banyak yang berbondong bondong bersiaran televisi. Hal ini terutama didorong oleh adanya migrasi ke sistem teknis TV digital, yang memungkinkan stasiun TV menjadi lebih banyak jumlahnya. Ini ada plus minusnya juga sih dari sisi bisnis.
Setelah yang lalu, saya pernah membahas rebranding Beritasatu ke BTV dan kehadiran stasiun TV yang teraffiliasi dengan Partai Gerindra alias Prabowo Subianto, Garuda TV, kali ini ada pemain baru lain yang mulai tancap gas di awal tahun 2024. Satu pemain adalah pemain lama di TV digital, satu adalah konglomerat besar yang akhirnya kegoda juga untuk bermain di pertelevisian. Siapa mereka? Bagaimana peta persaingan stasiun TV setelah ini dan tantangannya?
Baca postingan terkait di : s. id/btvgarudatv dan s . id/btv2022
=====
Awal tahun 2024 ini, saya mendeteksi 2 pergerakan menarik di industri pertelevisian Indonesia.
Pergerakan pertama adalah “bangkitnya” Nusantara TV (selanjutnya saya sebut NTV) dari masa suram sejak mereka beroperasi sebagai “Stasiun TV (yang bersiaran) digital pertama di Indonesia” di 2016. Meski situasi suram ini terjadi lebih karena matinya wacana migrasi TV digital - sejak era Menkominfo Tifatul Sembiring hingga Rudiantara, dan baru bangkit di era Johnny G Plate, yang membuat mereka tidak diterima oleh kebanyakan pemirsa TV Indonesia dan akhirnya ngga dikenal. Tapi, secara internal ada isu serius terkait ketiadaan sumber daya yang mumpuni dan kuat yang membuat mereka berada dalam kondisi demikian.
NTV sendiri adalah stasiun TV yang dimiliki pengusaha dan politisi Nurdin Tampubolon (NT). Terakhir, beliau adalah politisi partai Hanura dan pernah menjadi anggota DPR. Salah satu anaknya, Sondang Tampubolon, saat ini adalah anggota DPR dari PDI Perjuangan dan melaju lagi dalam Pemilu 2024. Sementara anak anaknya yang lain, banyak berkarir di bisnis bapaknya, termasuk NTV ini. Bisnis beliau umumnya berkaitan dengan media dan properti. Kalau nonton NTV, definisi iklannya itu hampir semuanya promosi bisnisnya NT, jauh lebih parah dibandingkan apa yang dilakukan grup konglomerat media lain yang lebih besar. Maklum, NTV belum dapat kue iklan yang signifikan, selain iklan home shopping - khas TV lokal.
Selama beberapa tahun, NTV definisi suram karena faktor yang tadi saya sebut. Program programnya tak berkembang dan nampak sulit bersaing dengan stasiun TV lain. Apalagi tim manajemennya didominasi anak anaknya NT, dan tidak ada “manajemen andalan” seperti yang dimiliki grup media lainnya. Tidak ada track record jelas dari anak anaknya NT di bisnis media, sehingga wajar memperparah situasi.
Selain itu, grup NT beberapa tahun terakhir sibuk membangun kantor pusat grup NT (tempat NTV saat ini bersiaran) di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Kantornya definisi mewah untuk ukuran pengusaha sekelas NT. Bahkan, bisnisnya Enggartiasto Lukita, mantan menteri dan sesama pengusaha-politisi saja tak punya kantor pusat semewah itu. Mereka cuma menang lokasi di PIK 2, yang disebut ada bagian PSN (Proyek Strategis Nasional) di dalamnya.
Yah, tipikal tiap pengusaha beda beda sih.
Namun, nampak “kebangkitan” itu dimulai. Akhirnya, NT dan keluarga merekrut “manajemen andalan” untuk memperkuat bisnis NTV. Mereka membawa duet Don Bosco Selamun-Nunung Setiyani dan sejumlah karyawan eks Beritasatu/BTV (yang sebagian kena PHK Maret 2022, ketika akan dibuat “peralihan” dari Lippo ke Enggartiasto). Don Bosco dan Nunung adalah duet legendaris untuk divisi pemberitaan, dimana mereka bersama sama bekerja di SCTV, kemudian berpindah pindah stasiun TV, seperti Beritasatu dan Metro TV. Untuk divisi sales dan business development, mereka mengangkat Maryadi, mantan pemimpin redaksi portal berita VIVA dan CEO Katadata. Program NTV kemudian diubah dengan lebih orientasi ke news, setelah sebelumnya gado gado secara strategi - bahkan menayangkan serial India pula. Program hiburan pun kemudian digeser di waktu kosong (non prime time) dan hari Sabtu Minggu, dimana program berita NTV libur.
Agak terasa Beritasatu “reborn” jadinya.
Pergerakan kedua adalah, grup Djarum ikut masuk ke bisnis pertelevisian. Akhirnya mereka tergoda juga wkwkwk. Mereka masuk melalui bisnis Mola TV, platform OTT streaming, yang mengambilalih grup CTV, stasiun TV lokal Tangerang. Pengambilalihan ini ternyata sudah berlangsung sejak 2023. Grup CTV ini kemudian menjadi jaringan MOS, dimana saat tulisan ini dibuat, logo CTV dan MOS disandingkan di layar kaca. Strategi program pun berubah, dimana sebelumnya CTV ini penuh dengan home shopping dan program lokal, kini mulai dimasukkan program program dari Mola TV. Jaringan CTV yang sempat terbangun, mulai dihidupkan kembali.
CTV sendiri adalah stasiun TV lokal yang sebenernya sejak beberapa tahun terakhir definisi loyo total. Kegagalan mereka membangun jejaring siaran TV lokal dengan Bloomberg TV Indonesia dan MTV Indonesia, di tambah dengan tekanan belanja iklan pada masa pandemi yang melanda sebagian besar TV lokal dan migrasi ke sistem teknis TV digital, membuat mereka seperti tak ada harapan hidup. Padahal, pemiliknya termasuk paling vokal kalau sudah bicara kepentingan bisnis TV lokal. Namun, keberuntungan nampaknya hadir untuk mereka di masa sulit tersebut, melalui tangan Djarum. Rasanya seperti kesempatan kedua untuk mereka.
Bagi Mola TV, ini bukan pengalaman pertama berhubungan dengan televisi. Sebelumnya, saat mereka masih memegang lisensi Liga Inggris, mereka pernah melakukan sublisensi sejumlah pertandingan kepada TVRI. Itu terjadi di era Direktur Utama Helmy Yahya, yang sayangnya menjadi satu sengkarut di kemudian hari dan membuat kisruh di TVRI awal 2020 lalu. Selain itu, mereka juga pernah bekerja sama dengan stasiun TV lain seperti NET dan TV One.
Dua cerita tersebut menambah deretan “optimisme” untuk memasuki industri pertelevisian, disaat sektor media secara umum bergeser ke era media baru (digital). Optimisme ini mungkin disebabkan karena 2 hal. Pertama, karena asumsi bahwa televisi masih punya keunggulan dari sisi jangkauan dan masih diminati oleh sebagian masyarakat. Jangan lupa, tantangan serius internet Indonesia adalah soal daya beli dan kualitas jaringan + handphone/perangkat. Kedua, terkhusus grup yang punya platform OTT, televisi ini semacam media untuk memperkenalkan keberadaan platform tersebut. Khusus yang kedua, nampaknya sudah sukses dilakukan oleh Vidio dan Vision+/RCTI+. Apakah ini artinya Mola TV, yang sempat tergulung dalam persaingan, mencoba untuk bangkit lagi?
Apapun alasannya, yang menjadi tantangan bagi stasiun TV yang baru adalah bagaimana mereka bisa terlihat di mata pemirsa. Selain soal teknis siaran, promosi kehadiran mereka dan strategi program unggulan + pembeda harus diutamakan. Mereka juga, kalau mau ikut dalam pembagian kue iklan dan mulai terlihat dalam persaingan, harus masuk ke survei Nielsen. Jangan lupa juga, aktivasi media sosial harus diperkuat. Ini kunci, sekaligus jembatan untuk memperkenalkan nama mereka.
Tapi, tantangan yang lebih serius adalah melawan dominasi 4 grup media besar yang sudah menguasai lebih dari 80% pasar siaran TV. Keempatnya saja sudah ada yang ngeluh dengan situasi persaingan saat ini, apalagi para pemain baru?
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $MNCN $SCMA $KBLV $BBCA
1/2