Akhirnya, yang ditunggu tunggu telah terealisasi.
GOTO telah resmi “melepas” Tokopedia ke tangan Tiktok. Hal ini sudah dirayakan melalui konferensi pers, sekaligus memperkenalkan manajemen baru Tokopedia. Sebagian merupakan orang orangnya Tiktok/Bytedance, sisanya masih ada manajemen dari GOTO. Optimisme terpancar dari seremoni ini dan dalam presentasi yang disiapkan GOTO dalam public expose insidentil terkait aksi korporasi paling menghebohkan ini. Singkatnya, kekuatan Tiktok yang mengacaukan dunia persilatan, dunia politik hingga dunia belanja akan bersatu dengan kekuatan Tokopedia yang kuat di segmen urban, dan definisi cukup kompetitif di pasar belanja online. Pokoknya pompom abis deh, termasuk di media. Salah satu jagonya grup GOTO disini.
Lalu, bagaimana nasib dari bisnis tersisa dari GOTO (kecuali Tokopedia)?
=====
Beberapa hari lalu, GOTO akhirnya mengumumkan kinerja keuangannya.
Seperti yang sudah diprediksi, dan nampaknya sudah “direspon” melalui penurunan harga saham GOTO, terjadi kerugian yang definisi besar banget. Bisa dibilang, kerugian yang bisa memecahkan rekor MURI dan rekor kerugian yang terjadi di emiten bursa saham Indonesia, yaitu kerugian bersih mencapai Rp 90 Triliun. Kerugian yang signifikan ini, selain akibat kinerja GOTO sendiri yang masih merugi (termasuk Tokopedia yang masih dikonsolidasikan), juga disebabkan oleh goodwill atas akuisisi Tokopedia yang nilainya fantastis. Saat itu, tahun 2021, Tokopedia diakuisisi dengan nilai sekitar Rp 100 Triliun, melalui pembelian saham dari investor Tokopedia dan mereka mendapat insentif memiliki saham GOTO (”tukar guling”). Padahal, aset Tokopedia hanya sekitar seperlimanya. Gile ga tuh?
(goodwill adalah selisih nilai aset bersih/ekuitas dan nilai pembelian saham, dikurangi kas yang diperoleh dari perusahaan yang diakuisisi. Kita bahas ini di lain waktu).
Nah, sebelum akhirnya “dilepas” ke Tiktok, sebenarnya pencadangan goodwill sudah dilakukan oleh GOTO. Namun nilai goodwillnya masih besar dan tetap signifikan dibandingkan jumlah aset keseluruhan. Lebih dari 50% aset. Situasi ini, sejak awal sudah menjadi semacam catatan penting yang diamati sejumlah investor, termasuk saya saat itu. Dengan goodwill yang besar tersebut, isinya GOTO itu sebenarnya “kopong” (kosong) dan ini yang nampaknya membuat GOTO kurang leluasa mengembangkan bisnis e-commerce, transportasi dan fintech sekaligus - salah satu pendorong dari penjualan Tokopedia.
Kenapa kurang leluasa? Karena mereka ngga bisa mendayagunakan leverage secara optimal, alias mengambil pinjaman. Jaminannya terbatas, kas setara kas + investasi tidak sebesar Bukalapak (BUKA) - dari sisi persentase vs aset - dan struktur asetnya tidak memungkinkan memperoleh pinjaman besar. Sementara, penambahan modal juga nampaknya sudah habis habisan dilakukan sebelum IPO dan saat IPO. Artinya, GOTO ngga bisa minta minta duit dengan leluasa. Apalagi kemudian ada tech winter yang memakan korban - karyawannya sendiri, dalam bentuk PHK/layoff.
Situasi ini yang mungkin membuat Patrick Walujo, salah satu investor GOTO (melalui Northstar), akhirnya “turun gunung” menjadi CEO alias Direktur Utamanya GOTO. Saat periode Patrick inilah, banyak perubahan terjadi. Dari sisi internal, program Minerva dijalankan. Hasilnya adalah layoff dengan jumlah yang masif. Selain itu, pemotongan diskon dan sejumlah subsidi lainnya secara signifikan dilakukan. Salah satunya, adalah subsidi dalam bentuk GoClub, sebuah fitur membership/keanggotaan yang tentu niatnya lebih ke meningkatkan loyalitas konsumen. Sayangnya, pemotongan diskon dan subsidi lainnya membuat GoClub jadi tidak efektif dijalankan. Akhirnya, GoClub resmi tutup.
Secara eksternal, dilaporkan terjadi peningkatan take rate (komisi, biaya jasa dsb) dari driver dan merchant. Biaya biaya administrasi pun mulai dikutip juga ke pelanggan akhir/yang mengorder. Situasi ini, dalam kondisi ekonomi dan persaingan platform (terutama Grab) yang keras akhirnya berdampak pada penurunan kinerja dari beberapa metrik operasional GOTO, termasuk Tokopedia. Baik dari sisi frekuensi transaksi, nilai transaksi (GMV) dan active users. Yang naik hanya pendapatannya. Terdapat keluhan juga dari sejumlah penjual Tokopedia yang mengeluhkan kondisi sepi terjadi dibandingkan platform serupa seperti Shopee dan Lazada yang masih punya duit. Tokopedia, sayangnya tak diberkahi duit yang banyak.
Kabar baiknya, bisnis GOTO yang tersisa, yaitu transportasi dan fintech relatif lebih kuat. Bahkan, mereka sudah mulai membaik dari sisi profitabilitas (karena diskon yang dipotong dan layoff tadi wkwkwk). Meski satu sisi, bisnis yang tersisa ini cukup diuntungkan dengan lanskap bisnis yang lebih ringan. Gojek diuntungkan karena pesaing di sameday delivery (pengantaran di hari sama) serta transportasi mobil dan motor yang kuat hanya beberapa nama. Sesama online, ada Grab. Dengan offline, mereka hanya bersaing dengan Blue Bird (BIRD). Sementara bisnis fintech, melalui Gopay dan Midtrans, meski pemainnya banyak, namun bakar duit tidak terlalu signifikan seperti e-commerce karena standar industri yang mirip mirip dari sisi biaya layanan dan infrastruktur.
Dengan asumsi kinerja dan kondisi persaingan demikian, sebenarnya GOTO masih punya prospek yang oke. Hal ini karena positioning GOTO dalam persaingan yang cukup kompetitif dan cakupan layanan yang sudah besar. Namun, karena ia beroperasi di ranah digital, maka faktor membentengi persaingan menjadi tantangan mereka yang utama. Selain itu, mereka juga dihadapkan dengan tantangan pertumbuhan kinerja kedepannya, terutama sejak berkurangnya diskon dan subsidi terkait.
Harus diakui, sebagian pelanggan di Indonesia ini hidupnya bergelantungan dengan diskon akibat ekonomi dan daya beli (sementara pemerintahnya malah sibuk cawe cawe dan “bercumbu” dengan sesama elit, ups). Artinya mereka ini akan sulit ditarik kembali jika GOTO tak menyajikan gula gula. Disinilah, nampaknya, upaya premiumisasi menjadi ideal untuk dilakukan. Mereka harus memperkuat pelanggan yang logis dalam menentukan dan puas terhadap layanan mereka, dengan harapan mulai membangun fondasi loyalitas. Pendekatan ekosistem, tanpa harus memiliki, juga menjadi langkah berikutnya untuk memperkuat fondasi. Dengan tidak dilepasnya Tokopedia secara keseluruhan dan kemitraan yang berjalan, diharapkan menjadi fondasi utama, selain kerja sama GOTO dengan sejumlah pihak, baik yang diinvestasikan GOTO seperti Hypermart (MPPA), BIRD dan Bank Jago (ARTO) maupun pihak eksternal.
Yang terakhir, GOTO menghadapi tantangan untuk menghasilkan keuntungan secara akuntansi. Laba kontribusi bukanlah acuan perbaikan kinerja yang konsisten, apalagi angka angkanya penuh dengan asumsi manajemen. Disinilah kita harus memantau perbaikan kinerja yang terjadi, apakah memang potensial turnaround atau cuma omon omon doang.
Begitulah.
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$IHSG $GOTO $BIRD $MPPA $ARTO
1/2