Holding company value, is the valuation really discounted?
Beberapa bulan ini cukup banyak grup value investing yang merekomendasikan ASII & INDF sebagai jagoan mereka.
Alasannya tentu ga jauh dari :
- Valuasi yang sudah murah
- Potensi dividend yield yang menarik
- Nama besar company
- Punya banyak anak usaha yang nilainya valuable dengan market capnya besar
Alasan terakhir bisa jadi terkadang merupakan penentu dalam pengambilan keputusan investasi seseorang, misalnya ada yang bilang 80,53% kepemilikan INDF di ICBP bernilai sekitar 104T tapi market cap INDF nya sendiri hanya 56T, belum menghitung valuasi dari Bogasari dkk yang ada di bawah INDF juga, jadi INDF dibilang undervalue, tapi apakah benar begitu?
Mengutip Investopedia, fenomena holding company dihargai murah yang disebut conglomerate discount ini bisa terjadi dikarenakan beberapa hal berikut :
- Ketika performa anak usahanya kurang baik
- Ketika ada kebingungan investor dalam pelaporan keuangan grup konglomerasi dan fokus inti bisnis perusahaan holding
Kalau menurut saya pribadi ada beberapa hal yang menyebabkan valuasi para holding company ini dihargai murah :
1. Kemungkinan karena jauhnya jarak sumber uang dengan holding itu sendiri.
Contohnya : Salim Group melalui First Pacific, investment holdingnya yang listed di Bursa HK menguasai 50,07% saham INDF, sementara itu INDF sebagai subholding memegang 80,53% saham ICBP.
Sumber uang utama group ini adalah dari cash dividend ICBP yang artinya ketika ICBP membagi dividen yang menerima terlebih dahulu adalah INDF sesuai porsi kepemilikannya.
INDF sendiri sebagai subholding juga punya kebutuhan permodalan tersendiri entah untuk pembayaran utang maupun mendanai capex anak usahanya yang lain seperti Bogasari.
Jadi sisa cash yang bisa dibagikan INDF melalui dividen ke First Pacific pun kemungkinan menyusut.
Misalnya tahun 2023 lalu ICBP membagikan dividen Rp 2,19T yang artinya INDF memperoleh sesuai porsinya sebesar 80,53% X Rp 2,2T = Rp 1,76T.
Lalu INDF sendiri membagikan dividen sebesar Rp 2,25T (Rp 1,76T anggap dari dividen ICBP + Rp 490M dari uang INDF sendiri), yang artinya First Pacific sebagai holding memperoleh sebesar 50,07% X Rp 2,25T = Rp 1,12T.
2. Adanya kebutuhan pendanaan di level holdingnya sendiri. Misalnya INDF & ASII sebagai induk juga punya hutang atas nama mereka sendiri yang kemudian dana dari hutang tersebut disalurkan ke anak-anak usahanya untuk mendanai mereka, sedangkan sebagai induk sendiri mereka bergantung pada dividen dari anak-anak usahanya untuk membayar cicilan pokok & bunga hutang yang diambil atas nama mereka sendiri.
3. Kurangnya likuiditas transaksi harian saham pada beberapa listed holding company, kemungkinan karena publik lebih menyukai operating company sebagai sumber cashflow, dalam hal ini anak-anak usaha para holding company, dibanding holdingnya sendiri yang kebanyakan adalah non operating. Namun hal ini bisa diatasi dengan stock split , penerbitan saham baru atau divestasi existing shareholders.
4. Kompleksitas struktur kepemilikan seperti subholding di bawah holding membuat berkurangnya daya tarik untuk berinvestasi di holding company itu sendiri, dikarenakan bisa jadi setiap subholding mempunyai kebutuhan capex / pendanaan tersendiri yang berpotensi mengurangi dividen yang diterima holding.
Namun bukan berarti semua investment holding bersifat uninvestable, jika emiten holding company punya ciri-ciri berikut mungkin bisa dipertimbangkan :
1. Punya guideline & keterbukaan informasi yang jelas dalam mengambil keputusan investasi seperti corporate action merger&akuisisi, partial exit ataupun divestasi penuh anak usaha pada harga tinggi.
2. Punya lebih dari 1 anak usaha yang bisa memberikan cashflow rutin dalam bentuk cash dividend.
3. Kapasitas permodalan yang mumpuni dan track record owner / group yang baik.
4. Bonus info apalagi jika bisa merinci Net Asset Value (NAV) atau total market cap anak-anak usahanya yang listed dikali % kepemilikan oleh emiten holding tersebut, seperti di web SRTG yang menampilkan NAV VS Market Cap, ini bisa menjadi salah 1 metode untuk mengcompare valuasi emiten holding itu sendiri dengan asumsi semakin tinggi gap antara NAV dengan market cap Emiten Holding maka semakin murah valuasi emiten holding tersebut. Namun tidak bisa serta merta dipukul rata cara valuasinya karena tentu banyak faktor lain yang terlibat.
Berikut contoh emiten holding company dari group konglomerasi Indonesia yang cukup berpengaruh :
1. Salim Group : First Pacific sebagai holding total food solution & infrastructure yang listed di HKEX dengan $INDF & ICBP sebagai kontributor revenue utama di Indonesia.
2. Barito Group : Dengan $BRPT sebagai holding utamanya yang membawahi anak usaha di sektor strategis seperti Geothermal dengan BREN & Petrokimia dengan TPIA.
3. Saratoga : Investment Holding Company yang Listed di IDX dengan ticker $SRTG dengan anak usaha sumber utama cashflow dividend dari ADRO TBIG MPMX.
4. Astra International Group : $ASII sebagai holding otomotif, mining, agri & financial dengan UNTR sebagai kontributor utama revenue group sejak booming komoditas beberapa tahun ini.
5. Sinarmas Group : DSSA sebagai holding mining related & infrastructure dengan GEMS sebagai kontributor utama dan SMMA sebagai holding financial business.
6. Emtek Group : $EMTK sebagai holding media & tech related dengan kontributor revenue utama dari SCMA & BUKA sebagai pendongkrak valuasi.
7. Lippo Group : MLPL sebagai holding retail, finance & tech related dengan LPPF & MLPT sebagai kontributor revenue utama dan LPKR sebagai holding property & healthcare.
8. MNC Group : BHIT sebagai investment holding multisektoral dengan MNCN sebagai kontributor revenue utama group.
9. Panin Group : PNIN sebagai holding financial business dengan kepemilikan besar di PNLF sebagai subholding bank & asuransi.
Disclaimer on : Hanya sekedar sharing dan bukan rekomendasi jual beli. Tidak ada jaminan saham yang masuk ke group konglomerasi tertentu selalu baik / buruk. DYOR.