Growth & History of $BTPS

Saya akan membagi tulisan BTPS menjadi 2 part, part 1 fokus terhadap growth story dan history dari BTPS selama 2018-2022 dengan membandingkan bbrp ratio terhadap perbankan lain. Part 2 saya akan membahas Financial Projection BTPS 2023 dan Pandangan saya dengan apa yang akan terjadi di 2024 berikut dengan anailsa quantitative dan qualitative. Sekali lagi, segala tulisan dibawah bisa jadi subjective kecuali angka angka yang tertera pada annual report perusahaan terkait.

Part 1 Growth & History of BTPS

Gerbang utama “growth” sebuah perbankan letaknya ada dalam Deposit atau DPK. Dalam Income Statement Perbankan sumber dari pendapatan bunga adalah dari Kredit yang disalurkan atau Piutang Pembiayaan yang ada dalam Balance sheet. Pertumbuhan dari Kredit sebuah perbankan biasanya akan selalu diiringi dengan Pertumbuhan Deposit atau DPK perbankan itu sendiri, dengan kondisi DPK dan Kredit pembiayaan ini tumbuh tanpa adanya gejolak macro atau force majeur bisa dipastikan, Pendapatan juga akan tumbuh. Karena bisnis perbankan simpelnya menerima uang lalu menyalurkannya menjadi pinjaman, gap antara bunga di keduanya adalah margin untuk perbankan. Untuk itu dalam proses pembahasan BTPS saya akan memulai dengan membahas hubungan antara DPK, Kredit yang disalurkan dan Revenues Growth secara bersamaan dibandingkan dengan perbankan lain di Indonesia.

1. DPK BTPS (Gambar 2)
2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 2022 (Dalam Jutaan)
Rp7,612,114 ; Rp9,446,549 ; Rp9,780,481 ; Rp10,973,460 ; Rp12,048,529

Pertumbuhan rata rata DPK selama 2018-2022 sebesar 12.41%, sebagai pembanding saya bandingkan dengan BBCA BMRI BNGA dan NISP

BBCA 2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp629,812 ; Rp698,980 ; Rp834,284 ; Rp968,607 ; Rp1,030,452

BMRI 2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp766,008 ; Rp871,035 ; Rp995,200 ; Rp1,115,278 ; Rp1,295,575

BNGA 2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp190,750 ; Rp195,600 ; Rp207,529 ; Rp241,348 ; Rp227,188

NISP 2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp125,560 ; Rp126,121 ; Rp159,036 ; Rp168,050 ; Rp176,084

BBCA avg growth 13.21%, BMRI avg growth 14.05%, BNGA avg growth 4.77%, NISP avg growth 9.25%. BTPS dengan pertumbuhan rata rata 12.41% double digit growth ini tentu patut diperhitungkan, setelah memahami pertumbuhan DPK coba kita kalkulasikan pertumbuhan kreditnya

2. Kredit yang disalurkan / Piutang Pembiayaan BTPS (Gambar 3)

2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp7,227,011 ; Rp8,969,565 ; Rp9,514,196 ; Rp10,433,091 ; Rp11,463,672

Rata rata pertumbuhan kredit sebesar 12.43%, seperti yang saya sebutkan sebelumnya Growth of DPK biasanya akan selalu dibarengi dengan Growth of Kredit atau Piutang pembiayaan dalam perbankan syariah, growth percentagenya pun benar benar mirip untuk case BTPS, coba saya bandingkan lagi dengan BBCA BMRI BNGA dan NISP
BBCA 2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp538,100 ; Rp586,940 ; Rp574,590 ; Rp622,013 ; Rp694,937

BMRI 2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp784,587 ; Rp930,456 ; Rp895,700 ; Rp976,269 ; Rp1,131,134

BNGA 2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp188,462 ; Rp194,237 ; Rp175,754 ; Rp181,613 ; Rp196,611

NISP 2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp113,490 ; Rp114,436 ; Rp109,737 ; Rp113,228 ; Rp130,258

avg growth BBCA ; BMRI ; BNGA dan NISP berturut turut sebesar 6.74% ; 9.93% ; 1.29% ; 3.74%

Secara garis besar, hanya BTPS lah yang bisa mempertahankan growth DPKnya untuk tetap sejalan dengan kredit yang disalurkan selama periode 2018 - 2022, dengan DPK growth avg 12.41% dan Kredit growth 12.43%.
Jika melihat data Pertumbuhan kredit diatas, dimanakah letak perbedaan BTPS dengan perbankan lainnya? ya tahun 2020, ke empat bank yang saya bandingkan semuanya mengalami penurunan kredit dari tahun sebelumnya saat 2020, BTPS satu satunya perbankan yang malah bisa meningkatkan kreditnya, walau menurun dari tahun sebelumnya, tapi kita sama sama tahu ekonomi saat itu sedang menurun akibat PSBB yang setidaknya baru longgar lagi di awal 2022, cerita ini akan berantai sampai mengapa CKPN di 2023 ini terbilang tinggi, nanti akan saya bahas.

3. Topline Growth BTPS
2018 ; 2019 ; 2020 ; 2021 ; 2022
Rp3,447,266 ; Rp4,457,352 ; Rp4,037,474 ; Rp4,673,842 ; Rp5,373,790

Rata rata pertumbuhan pendapatan sebesar 12.65%

Lihatlah hubungan ketiganya sejak 2018-2022
DPK growth rata rata 12.41%, Kredit Growth rata rata 12.43%, Revenues Growth Rata rata 12.65%

Dengan memahami pertumbuhan ke tiga akun diatas serta mengasumsikan jika sebuah perbankan mampu mengelola segala resiko dan beban operasionalnya dengan baik maka suka tidak suka laba pasti akan ikut tumbuh, karena dalam sebuah Income Statement setelah Topline harus melewati beban beban dan pendapatan lainnya sebelum mencapai ke bottom line yaitu laba usaha. Lalu bagaimana dengan beban BTPS selama periode 2018 2019 2020 2021 2022.

Impairment Rp266,571 ; Rp309,402 ; Rp850,392 ; Rp728,220 ; Rp945,052
Beban Tenaga Kerja Rp855,692 ; Rp1,046,613 ; Rp1,032,633 ; Rp1,131,760 ; Rp1,174,616
Total Beban Operasional Rp1,777,045 ; Rp2,052,701 ; Rp2,420,323 ; Rp2,399,180 ; Rp2,748,898

Sebelum pandemi rasio CKPN terhadap total kredit ada di 3.4-3.6%, setelah Pandemi angka CKPN berada di 8.9% ; 6.9% dab 8.2%. Beban tenaga kerja stabil tumbuh namun masih dibawah pertumbuhan topline, indikasi yang baik menurut saya.

Secara perhitungan quantitative kita sama sama bisa tahu kalau rata rata CKPN sblm era pandemi memang baik, tapi jika kita tarik benang merah dengan apa yang terjadi di pertumbuhan kredit saat pandemi BTPS (baca lagi bagian Kredit Growth) yang justru kontrarian dengan perbankan lain, padahal kita sama sama tahu, BTPS menyasar segmen ultra mikro, era pandemi sampai early 2022 kita mau keluar saja masih takut takutan, jadi pertumbuhan kredit di 2020 dan 2021 seharusnya ini yang akan jadi masalah kedepannya, saat perbankan dengan segmen korporate dan collateral sedang defensive akan kredit, BTPS justru aggresive, bentuk ke aggresive-an ini tentu bisa terpampang dari peningkatan jumlah customer BTPS sejak 2019 sampai 2022, Customers Active 2019 3.700k, 2020 3.900k, 2021 4.000k, 2022 4.250k, melihat pertumbuhan di 2020 yang mencapai 200k mengesampingkan berapa banyak customer baru di tahun itu saja tentu sangat mengerikan mengingat BTPS masuk dalam segmen yang benar benar sedang menjerit di era itu.
Sebagai investor kita setidaknya sudah paham dulu akan resiko yang akan dihadapi BTPS kedepannya dengan ke sifat aggresivenya ini di tahun 2020 dan 2021. Jika memahami secara quantitative saja tentu kita akan senang dengan angka angka yang ada di dalam Laporan Keuangan, secara bisnis karena BTPS menyasar ultra mikro dengan menghilangkan jaminan sebagai salah satu mitigasi resiko perbankan tentu ini akan menjadi bom waktu ketika era stimulus usai. 2020 Pandemi, Pemerintah menekan untuk ekonomi cepat pulih, pemulihan ekonomi untuk segmen BTPS dilakukan dengan BLT dan bbrp stimulus lain yang menguntungkan di eranya salah satunya pembebasasn biaya listrik 3bulan untuk 24 juta pelanggan listrik 450 VA dan diskon 50 persen untuk 7 juta pelanggan 900 VA.

Read more: https://cutt.ly/0wvmZMqA

Restrukturisasi yang tinggi selama pandemi juga seharusnya sudah menjadi indikasi awal bahwa banyak kredit di segmen ini yang bermasalah, untuk hal ini sepertinya sudah banyak yang bahas jadi mungkin akan saya skip. Kesimpulan dari saya, Selama periode 2018-2022 ada covid yang melanda, covid atau pandemi ini dampaknya sangat signifikan terhadap segmen BTPS, apa yang terjadi di 2020 tidak bisa disamakan dengan apa yang terjadi di 2023, 2020 ekonomi berhenti karena tidak adanya aktivitas ekonomi artinya banyak orang berhenti dagang, berhenti beraktivitas keluar, ekonomi mandeg ini dibantu dengan stimulus gov khususnya kelas ultra micro dengan bbrp benefit yang membuat banyak ibu ibu ini tetap mampu membayar angsuran BTPS dilain sisi relaksasi atas restrukturisasi yang diberikan pemerintah seperti sebuah bom yang pasti akan meledak disuatu waktu, bisa jadi di tahun inilah yaitu 2023 inilah bomnya meledak.

Sedangkan di 2023, merupakan era stimulus usai, early 2022 pemerintah full melonggarkan segala larangan PSBB, stimulus era covid mulai berkurang, inflasi naik, problem utama BTPS tidak hanya menghadapi masalah nasabahnya yang kesulitan mengatasi kenaikan harga bahan bahan pokok saja, tapi people behaviour yang significantly change sejak era pandemi, ini ditunjukan dr attendance rate yg masih blm pulih ke era sebelum covid, meskipun ada perbaikan tp merubah perilaku seseorang tidaklah mudah, apalagi kita sama sama tahu, nasabah BTPS terbentuk dari satu komunitas ke komunitas lain, ketika satu orang gagal bayar dan orang lain tahu gagal bayar tersebut bukanlah sebuah masalah yang berarti, maka ini akan menjadi rantai api untuk BTPS, jika permasalahan ini tersebar didalam satu komunitas atau malah masuk ke komunitas lain, karena sifat kredit BTPS yang tidak ada jaminan jd ketika gagal bayar dan dihapuskan maka bisa dibilang tamat, tdk ada aset tersiss selain harapan nasabah tersebut berbaik hati datang kembali membayar

Itu semua negative issuenya, secara positive sampai detik ini Secara quantitative saya masih blm bisa menemukan perbankan di Indonesia yang bisa menghasilkan Return on Loan setinggi BTPS, not even close, saya sudah lihat LK sea bank bahkan sama sekali tidak mendekati, Return on Loan setinggi ini seperti daging renyah untuk growth di masa yang akan datang ketika ekonomi kembali stabil, Jika ada yang bertanya kenapa saya tida menggunakan NIM, alasannya BTPS memiliki surat berharga yang valuenya besar sekali, sehingga perhitungannya akan membuat seolah Return dari kredit BTPS ini biasa saja. FDR yang stabil diangka 94-95% bukan menjadi masalah tentunya jika melihat liquid asset yang lebih less risky seperti surat berharga nilainya mencapai 66% dari total kredit yang disalurkan. Ratio CAR BTPS itu spektakuler jika dibandingkan perbankan lain, dibalik Resiko kredit yang besar dalam Piutang Pembiayaannya, BTPS menawarkan investornya dengan Return on Loan yang superior ditambah dengan CAR yang gemuk.

Penutupnya, semua permasalahan di tahun 2023 saat ini ibaraqt seperti bom yang meledak di tebing lalu membentuk bola salju yang menggelinding semakin besar dan membesar sehingga mengganggu kenikmatan peselancar untuk bisa menikmati berselancar dari puncak, yang perlu diingat, kita sudah tau bola saljunya sudah menggelinding dan makin membesar, tidak mungkin bukan tidak akan pecah, pasti akan ada ujungnya, orang yang terus berlari ketakutan akan kalah dan tidak bisa menikmati indahnya berselancar diantara tumpukan salju yang riau, cukup memahami dititik mana kira kira bola salju itu berhenti, walau mungkin tidak presisi tapi setidaknya kita tau momennya kapan kita bisa berselancar lagi di salju salju tersebut jangan malah lari pulang tanpa membawa hasil kenikmatan.
semua hanya ilustrasi bisa saja tebingnya roboh lgsg gak membentuk bola salju aka lgsg meninggoy ditempat.

Baiklah mungkin itu saja pembahasan part 1, part 2 saya akan fokus terhadap pandangan saya secara quantitative terhadap sisa dari tahun buku 2023 serta tidak lupa membahas opportunity turnaround story dari BTPS

Sekian selamat akhir pekan
$MEDC $BBRI $ADRO $AMMN

Read more...

1/3

testestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy