$GIAA 2Q23 Update
Note: Perubahan Q/Q dan Y/Y bisa berbeda dari yang dilaporkan karena pembulatan

Jumlah penumpang: 4,5 juta (+18,4% Y/Y)
Available seat kilometers (ASK): 7,5 billion (-1,3% Q/Q; +39% Y/Y)
SLF: 71,1% vs. 74,5% di 1Q23 dan 74,9% di 2Q22
Passenger yield: $8,8c (+8,6% Q/Q; +6% Y/Y)
Cost of available seat kilometers (CASK): $6,9c (-1,4% Q/Q; -8% Q/Q)
CASK ex-fuel: $4,5c (+7,1% Q/Q; +4,7% Y/Y)

Operating revenue: $793 juta (+31,5% Q/Q; +50% Y/Y)
Operating income: $130 juta vs. -$2 juta di 1Q23 dan -$164 juta di 2Q22
Net income (loss): $34 juta di 2Q23 vs. -$110 juta di 1Q23 dan $4 miliar di 2Q22
Operating cash flow: $115 juta vs. -$24 juta di 1Q23 dan $127 juta di 2Q22

Siapa yang tidak tahu $GIAA, sebuah perusahaan maskapai BUMN Indonesia dengan pangsa pasar terbesar di rute domestik dan internasional (Garuda dan Citilink). Namun, saham GIAA sempat di suspend dua tahun lalu karena penundaan pembayaran kupon sukuk global. Setelah proses restrukturisasi rampung dan saham diperdagangkan kembali, GIAA malah jatuh ke Rp51/lembar. Baru-baru ini, isu merger antara Citilink, anak usaha GIAA, dan Pelita Air, anak usaha dari Pertamina, mencuat, sehingga harga sahamnya naik hingga 50%. Bagaimana dengan kinerja keuangannya pada 2Q23?

Per 1H23, GIAA mencatkan rugi bersih sebesar $76,5 juta. Dalam setahun penuh, tahun 2016 merupakan terakhir kali GIAA mencatatkan laba bersih. Betul, pada tahun 2022 GIAA mencatatkan laba bersih sebesar $3,7 miliar. Namun, hal tersebut disebabkan oleh restrukturisasi utang yang diakui di laporan laba rugi. Justru, pada tahun yang sama, GIAA mencatatkan rugi operasi sebesar $419 juta.

Apa yang menyebabkan Garuda dapat terus mengalami kerugian? Salah satunya adalah biaya sewa pesawat GIAA yang lebih tinggi dari rata-rata harga pasar (4x lebih tinggi dari rata-rata global). Sebagai contoh, pesawat Bombardier CRJ-1000 disewakan senilai $27 juta per tahun, seperti yang dikutip dari CNBC. Namun, pengoperasian pesawat tersebut malah mendulang kerugian rata-rata sebesar $30 juta per tahun selama 7 tahun. Total, GIAA dapat menderita kerugian hampir sebesar $60 juta per tahun.

Ditambah lagi, banyaknya rute-rute domestik dan internasional yang tidak memberikan keuntungan. Menurut Direktur Utama GIAA Irfan Setiaputra, GIAA telah menutup 97 rute dari 237 rute karena dianggap tidak memberikan keuntungan. Apalagi, sebelum restrukturisasi, 70% pesawat GIAA telah di grounded sehingga tidak bisa digunakan akibat kewajiban sewa yang tidak dapat dibayarkan kepada para lessor.

COVID-19 melanda. Pada tahun 2020, GIAA hanya mencatatkan pendapatan sebesar $1.5 juta, jauh dibawah raihan tahun 2019 sebesar $4.6 juta. Bahkan, pada 2Q20, total penumpang hanya mencapai setengah juta, dimana pada biasanya angka tersebut biasanya mencapai 8-10 juta per kuartal. Seat load factor (SLF), persentase kursi yang telah terisi, hanya sedikit lebih tinggi dari 21% (rata-rata berkisar antara 70-75%). Sedangkan utang jangka pendek menggunung. Sebelum restrukturisasi, total utang mencapai $10.1 miliar.

Akibatnya, GIAA melakukan restrukturisasi utang. Kelompok kreditur dengan kewajiban paling besar (sukuk, lessor pesawat, pabrik pesawat, maintenance, repair, dan overhaul (MRO), dan vendor dengan nilai diatas Rp255 juta) setuju untuk menyelesaikan 79,41% dari total utang dengan skema haircut, sedangkan sisanya dengan penerbitan utang baru (14,71% dari total klaim) dan pro-rata kepemilikan ekuitas (5,88% dari total klaim). Total utang GIAA setelah restrukturisasi adalah $5,1 miliar (berkurang hingga 50% dari sebelum restrukturisasi).

Kemudian GIAA mengubah skema pembayaran sewa pesawat dan mesin dari fixed monthly rate menjadi Power by the Hour (PBH). Singkatnya, alih-alih membayar sewa secara fixed, kontrak PBH berdasarkan durasi penggunaan. Namun, perlu diingat bahwa jangka waktu skema ini berdasarkan kontrak sewa masing-masing tipe pesawat. Setelah melakukan negosiasi, rata-rata tarif sewa turun 30%-50% tergantung tipe pesawat.

Akhirnya, GIAA mendapatkan tambahan injeksi modal PMN senilai Rp7,5 triliun. Dana PMN tidak akan digunakan untuk membayar utang, melainkan untuk restorasi pesawat dan modal kerja.

Pendapatan mencapai $793 juta pada 2Q23 (31% Q/Q; 50% Y/Y). Namun angka tersebut masih dibawah level pre-COVID (diatas $1 miliar per kuartal) walaupun SLF sudah diatas 70%. Juga, menurut International Air Transport Association (IATA), traffic global telah mencapai 95,6% level pre-COVID. Kok bisa? Alasannya, per 1H23 GIAA mengoperasikan 101 pesawat (54 Garuda, 47 Citilink) vs. 210 pesawat (142 Garuda, 68 Citilink) pada 4Q19. GIAA memperkirakan untuk mengoperasikan 170 pesawat pada 2026. Justru, passenger yield grup, $ cent yang didapatkan dari penumpang per kilometer, mencapai $8,8c (diatas level pre-COVID).

Menariknya, 60% dari total 9,1 juta penumpang grup GIAA per 1H23 berasal dari Citilink. Pre-COVID, angka ini sekitar 40%. Data dari Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) juga menunjukkan bahwa pangsa pasar Citilink di pasar domestik meningkat dari 13% pada tahun 2017 ke 23% pada tahun 2021, sedangkan Garuda mengalami penurunan pangsa pasar. Kedepannya, GIAA akan fokus pada rute domestik. Hal ini juga yang kemungkinan mendasari alasan merger antara Citilink dan Pelita Air untuk memperkuat segmen low-cost carrier.

Memang, sebelumnya kami mengatakan bahwa GIAA mesih mencatatkan rugi bersih per 1H23. Namun, apabila dilihat lebih seksama, laba operasional dan laba bersih pada kuartal 2Q23 saja mencapai $130 juta dan $34 juta pada 2Q23, secara berurutan. Cost of available seat kilometer (CASK) ex-fuel, atau biaya operasional per kursi per kilometer tanpa bahan bakar, pada 2Q22 mencapai $4,5c, sedikit diatas level pre-COVID sekitar $4c - $4,5c. Namun, hal ini kemungkinan disebabkan oleh program restorasi pesawat dan tingkat utilisasi (SLF) Garuda yang masih sedikit lebih rendah dari pre-COVID. Arus kas operasi sebesar $115 juta pada 2Q23.

Kedepannya, GIAA akan berfokus pada rute-rute yang menguntungkan, optimalisasi jumlah armada, memperbaiki cost structure, dan optimalisasi pendapatan cargo dan ancillary. Profitabilitas akan tetap menjadi fokus GIAA dalam beberapa tahun kedepan. Namun risiko masih tetap ada. Pertama, bahan bakar menjadi salah satu komponen biaya terbesar dengan ~30% dari pendapatan. Kedua, skema Power by the Hour hanya berlaku dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan tipe pesawat. Biaya sewa dapat meningkat kembali tergantung dengan perjanjian kontrak sewa. Terakhir, kompetisi di rute domestik di segmen low-cost carrier yang lebih price sensitive.

Kesimpulannya, usaha GIAA dalam mengejar profitabilitas mungkin dapat menjadi turnaround story. Terbukti, GIAA mencatatkan laba operasi di 2Q23. Namun, investor tetap harus berhati-hati karena ekuitas yang masih negatif dan belum konsistennya perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Apakah menurut investor GIAA menarik untuk dikoleksi? Silakan tulis pendapat Anda di kolom komentar.

Source: Company, CNBC Indonesia, IATA, INACA, Media Indonesia,

Disclaimer: Tulisan ini bukanlah merupakan rekomendasi investasi. Silakan lakukan due diligence masing-masing.

$GIAA $CMPP

Read more...

1/5

testestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy