$BTPS Harga dari Alokasi yang Terkonsentrasi
Alokasi 100% ke pembiayaan ultra mikro tanpa jaminan (collateral) berupa aset memang memberi BTPS Net Imbalan yang tinggi bahkan dengan CASA yang cuma 20-25% dari total simpanan nasabah. Namun, efek sampingnya, cost of credit BTPS juga jadi lebih tinggi dibanding bank-bank lain yang alokasi kredit dan pembiayaannya lebih terdiversifikasi.
Hal ini sudah terjadi sebelum pandemi dan semakin nyata terlihat di tahun 2020-2023.
Meski BTPS bisa mendapat Net Imbalan 27% dari outstanding pembiayaan yang disalurkan per 1H 2023, BTPS harus membuat cadangan kerugian (cost of credit) sebesar 11% dari total pembiayaannya.
Mirip seperti dalam seni mengelola portofolio investasi saham, diversifikasi akan menurunkan risiko kesalahan dari satu keputusan dan meningkatkan kepastian dari kinerja keseluruhan. Namun, trade off-nya adalah kinerja yang tidak terlalu superior.
Karena itulah, Warren Buffett menganjurkan diversifikasi untuk know nothing investor. Diversifikasi adalah proteksi terhadap ketidaktahuan.
Sebaliknya, semakin kita paham dengan apa yang kita lakukan, semakin kita bisa meningkatkan konsentrasi alokasi kita.
Diversifikasi dalam investasi saham juga tidak selalu harus dimaknai membeli saham dalam jumlah yang banyak, tetapi bisa juga membeli saham perusahaan besar yang sumber pendapatannya lebih terdiversifikasi.
Misalnya, membeli franchise Alfamart mungkin lebih menguntungkan dibandingkan membeli saham $AMRT, apalagi di harganya saat ini. Namun, risiko bisnis induk AMRT yang punya belasan ribu gerai tetap jauh lebih rendah dibanding hanya memiliki 1 gerai Alfamart saja.
Diversifikasi semacam itulah yang coba dilakukan oleh BTPS. Dengan mengalokasikan pembiayaannya ke 4,25 juta nasabah (average ticket size Rp 2,8 juta) yang tersebar di 2.600 kecamatan dan 23 provinsi yang ada di Indonesia, manajemen BTPS berekspektasi risiko gagal bayar pembiayaan dapat diminimalisir.
Sayangnya, bencana skala nasional (bahkan global) seperti pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa diversifikasi di level tersebut belum cukup.
Sebagian besar nasabah BTPS tetaplah individu prasejahtera dengan tabungan terbatas dan ketergantungan tinggi terhadap cash flow harian dari usaha mereka.
Mereka tidak punya cadangan kas berlimpah seperti cash rich company atau individu berpenghasilan menengah ke atas.
Hal ini diakui pula oleh manajemen BTPS melalui Mas Fachmy sebagai CFO BTPS di webinar INVESTALK yang diselenggarakan INVESTABOOK:
“Segmen ini sebelum ada covid, risiko utama adalah pada saat adanya gangguan … yang menyebabkan para nasabah (tidak bisa) berusaha … biasanya itu adalah bencana. Jadi pada saat bencana itu mereka gak bisa usaha. Dan selama ini tuh kita selalu berpikir … untuk mengatasi hal ini kita harus scattered di seluruh Indonesia. Jadi gak ada yang besar, semua harus rata. Jadi kalau misalnya ada gangguan, impact-nya gak signifikan. Dan selama ini ya alhamdulillah seperti itu. Sampai zamannya covid, satu hal yang baru kita sadari adalah saat covid terjadi yang timbul adalah gangguan (yang membuat) mereka tidak bisa berusaha. Padahal uang mereka itu adalah dari usaha mereka sehari-hari.” (Fachmy Achmad, CFO BTPS)
Namun, yang perlu kita semua pahami, bahkan setelah menelan pahitnya cost of credit jumbo karena alokasi pembiayaan yang terkonsentrasi di segmen ultra mikro, BTPS tetap berhasil menghasilkan ROA (business return tanpa memperhitungkan faktor leverage) yang superior.
Per 1H 2023 (TTM), ROA BTPS mencapai 7,9%. Turun dari level 2019 sebesar 9,1%. Tapi masih lebih dari 2x lipat dari ROA $BBCA.
Seperti kopi gula aren, bisnis bank ultra mikro menyajikan rasa pahit dan manis bersamaan. Tidak semua investor saham suka. Biarkanlah ini jadi masalah selera.
Bacaan lebih lanjut tentang pahit dan manisnya bisnis BTPS: https://cutt.ly/hwlGYRNK