Beberapa waktu yang lalu, sejumlah media menurunkan adanya wacana OTT streaming lokal milik grup Emtek/SCMA, Vidio, dipersiapkan untuk (satu hari akan) IPO.
Selain faktor keberadaan investor di Vidio sejak 2022, yang tentu perlu akses likuiditas untuk merealisasikan investasinya, IPO ini setidaknya memiliki dampak positif bagi Emtek dan SCMA. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, mereka terus berinvestasi pada Vidio, yang akan menjadi masa depan grup keseluruhan. Vidio sendiri menjadi contoh kesuksesan pivoting business dari “Youtube KW” menjadi platform OTT lokal terdepan di Indonesia.
Pada post kali ini, kita akan membedah cerita tentang Vidio dan tantangannya.
=====
Seingat saya, Vidio itu lahir sekitaran era Ganteng Ganteng Serigala. Itu sinetron SCTV yang pernah definisi viral - agak miriplah kayak viralnya Ikatan Cinta, Dari Jendela SMP atau Magic 5 kalo jaman sekarang. Sinetron ini jugalah yang membuat blog saya definisi viral juga, karena dulu saya dan sebagian penonton TV pedes mengkritisi sinetron ini yang ceritanya ngga masuk akal - begitupun hal teknis di tayangannya. Jadi, bisa dibilang saya cukup mengikuti ceritanya sejak awal.
Saat itu, Youtube sudah terkenal dan menelurkan banyak influencer. Misalnya bersaudara Jovi Andovi Lopez - yang kini di Narasi dan Young Lex. Kesuksesan Youtube inilah yang kemudian ditiru oleh Emtek (dan kompetitornya, MNCN). Emtek bikin Vidio, MNC bikin Metube. Tampilan web hingga experiencenya mirip Youtube. Pengguna keduanya bisa juga upload video sendiri.
Namun, Youtube makin mentereng. Kesuksesan Youtube, selain skala bisnisnya yang global, telah menciptakan banyak influencer terkenal dan pemain pertama, posisinya netral bagi semuanya. Bahkan, stasiun TV MNC dan Emtek pun juga punya akun Youtube. Stasiun TV yang ngga punya platform OTT seperti grup Transmedia justru mentereng di Youtube, dan sekarang menjadi salah satu pemain terbesar di Youtube. Akhirnya project “Youtube KW” pun gagal.
Yang membedakan MNC dan Emtek justru adalah action ketika mereka tahu ini project gagal. Jika Emtek bergerak cepat dengan mengubah format bisnis Vidio menjadi OTT ala Netflix, MNC super lambat dan ngga fokus. Mungkin karena mereka merasa nyaman sebagai leader di TV dan pay TV (MNC Vision dan KVision). Action yang signifikan ketika akhirnya Emtek melepas Vidio ke SCMA pada 2019. Disinilah aha moment Itu terjadi.
SCMA, yang makin serius berkembang setelah Indosiar bergabung di grup dan berdirinya IEG (Indonesia Entertainment Group) sebagai holding produksi konten, menjadikan Vidio sebagai enabler dari media grup ini. Lebih dari tayangan, SCMA berbagi banyak hal dengan Vidio. Misalnya hak siar Liga 1 - terus berlanjut dengan ajang olahraga lainnya hingga sekarang. Konten drama pun gencar diproduksi, dengan selebritas yang memiliki fans banyak dan fanatik. Promosi Vidio di layar kaca pun kencang, begitupun dengan konten originalnya, seperti drama.
Tak dinyana, Vidio mendapat momen bagus ketika pandemi tiba. Tren serba internet membuat Vidio mulai mengubah pola bisnisnya. Mereka gencar kerjasama dengan berbagai produsen elektronik dan operator seluler/internet, untuk bundling produk Vidio, termasuk bisa dapat akses paket Vidio dalam satu tagihan saja. Secara grup, SCMA agresif mencari banyak ajang olahraga, terutama sepakbola. Disinilah momen bakar duit Vidio meningkat hingga sekarang.
Sampailah Vidio di tahapnya hari ini. Subscriber mereka terus bertambah hingga terakhir mencapai 2 jutaan. Menjadi pemain OTT lokal terkuat saat ini, dan cukup kompetitif posisinya dengan Netflix dan Viu (milik PCCW) yang kuat di Indonesia. Itu didukung dengan sebagian besar penonton di Indonesia masih suka dengan konten lokal, meski mereka juga mulai suka konten internasional.
Meski Vidio banyak berkembang karena tayangan olahraga, power dari original contentnya pun juga tak kalah. Bahkan, saya melihat itu tetap terjadi saat manajemen mengekspektasikan produksi original contentnya tidak terlalu agresif (semoga kualitasnya meningkat). Belum lagi, bisnis ad-supported (dibiayai iklan) seperti Live TV dan sejumlah konten free lainnya. Streaming TV mereka tergolong rame juga.
Namun, bukan berarti Vidio tidak memiliki tantangan. Crash pada tayangan olahraga dan kualitas tayangan yang belum 100% memanjakan mata di perangkat tertentu masih menjadi kendala, meski ini harus diakui masih terkait dengan tantangan internet di Indonesia yang belum merata kualitasnya, sehingga Vidio menyesuaikannya. Belum lagi tantangan pelanggaran hak cipta dan/atau hak siar yang masih terjadi. Semua ini tidak hanya pada Vidio sih, namun juga pada OTT lokal lainnya, termasuk platform OTTnya MNC.
Tantangan paling utama adalah soal daya beli. ARPU OTT lokal di Indonesia rata rata masih di bawah USD 5. Ini coba diakali dengan bundling paket internet yang relatif lebih murah dibanding beli langsung. Itupun masih ada yang protes dan ogah langganan karena mentalnya mendang mending gratisan (colek “pecinta sepakbola”). Tantangannya mirip mirip dengan pay TV di masa lalu, meski dengan gaya kekinian.
Karena itu, dengan segala tantangan, dan tentunya harapan agar bisa untung, saya sepakat dengan opini manajemen SCMA untuk menunggu momen yang tepat IPO. Kalo saya sih berharap 3-5 tahun udah konsisten untung bersih, baru IPO. Jika itu tiba, apakah saya akan mempertimbangkan beli?. Kita lihat perkembangan Vidio kedepannya, baru akan saya jawab.
Bacaan menarik lain soal saham, investasi dan bisnis lainnya bisa cek dan follow Instagram, Tiktok dan Threads @plbkrinaliando.
$IHSG $MNCN $SCMA $MDIA $BOLA
1/2