Beberapa waktu yang lalu, Elon Musk dan perusahaannya, Tesla, menyatakan siap berinvestasi di India.
Sebelumnya, Tesla juga sudah menyatakan buka kantor di Malaysia. Banyak pihak kemudian membandingkan manuver Tesla ini dengan manuver pemerintah Indonesia kepada Elon agar mau berinvestasi di Indonesia - hingga membuat kunjungan langsung ke kantor Elon yang fotonya viral itu. Seakan akan, dua situasi ini membuat Elon dan Tesla sudah “menggocek” Indonesia.
Banyak opini berkembang. Yang kritis umumnya menyebut ini masalah Indonesia yang belum siap, disinggung dari isu demokrasi, korupsi hingga kondisi SDM. Kritiknya pedes, level 1000. Sementara masih banyak yang percaya bahwa Tesla akan masuk ke Indonesia, dan mengabaikan investasi kendaraan listrik dan baterai dari brand lain.
Kalo kata saya sih, udahlah ngga usah ngarep Tesla. Kenapa?
=====
Beberapa tahun terakhir, pembahasan soal kendaraan listrik (electric vehicle - EV) menyeruak kemana mana. Bukan hanya berbicara konsumsi EV di Indonesia, namun juga tentang bagaimana ekosistem EV berkembang disini. Apalagi dengan kekayaan mineral penyusun bahan untuk baterai EV yang banyak di Indonesia, yaitu di Indonesia Timur seperti Sulawesi dan Maluku. EV bukan hanya menjadi potensi, namun juga menjadi angin segar dalam upaya Indonesia menyeriusi industrialisasi.
Meskipun Indonesia sudah cukup kuat dalam industri otomotif, dimana Indonesia sudah menjadi hub bisnis otomotif brand ternama di Asia Tenggara, namun banyaknya komponen dalam EV menjadi tantangan baru. Proses mengubah mineral seperti nikel, bauksit dan tembaga perlu banyak industri pendukung. Ada pengolahan mineral di smelter, ada pengubah mineral menjadi komponen seperti katoda hingga menyusun baterai EV. Itu membuat kemitraan dengan investor diperlukan.
Yang sudah sangat clear, ada beberapa brand seperti CATL dan Hyundai, yang sudah mulai merealisasikan investasi, sambil menghubungkan rantai bisnis EV. Targetnya, menurut penuturan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, adalah baterai EV pertama yang diproduksi di Indonesia tahun 2024. Selain itu, sejumlah brand lain seperti Ford, BYD dan VW pun mulai berancang ancang untuk masuk. EV pun juga sudah mulai menjejakkan kaki di jalan raya, baik mobil, motor dan kendaraan umum. Misalnya BYD, salah satu pemain berpengaruh di industri EV dunia, sudah turun dengan bus bersama grup Bakrie (VKTR) dan Transjakarta.
Dalam upaya tersebut, semua orang - bahkan instansi pemerintah sendiri, pun penasaran apakah Indonesia bisa “mengetuk pintu hati” Elon Musk.
Mengapa Elon lebih “menggoda"? Secara politik, jika anda ingin menggaet anak muda, perhatikan tokoh yang mereka sukai. And yes, bagi sebagian anak muda, Elon Musk adalah tokoh yang diidolai dan diperhatikan. Apalagi sejak manuver manuver yang “gila” seperti SpaceX dan akuisisi Twitter yang bikin Twitter dianggap ngga seasyik dulu.
Bagi kalangan awam netijen, nama Elon jauh lebih seksi daripada yang lain. Elon Musk, yang juga pendukung cryptocurrency, memiliki persona yang beda dengan kebanyakan kaum sultan. Tesla pun dianggap tergolong revolusioner di industri EV, dengan segala inovasi dan strateginya. Tesla mungkin dianggap menjadi yang mempopulerkan EV, meski sebenarnya pembicaraan soal EV ini udah ada sejak lama. Saya mendeteksinya mungkin sudah ada 10 20 tahunan yang lalu.
Elon memang seseksi itu.
Masalahnya, dengan track recordnya yang nyeleneh itu, apakah pertemuannya dengan Indonesia ia anggap seserius itu? Apakah Tesla “menggocek” Indonesia hanya karena masalah ketidaksiapan kita sendiri dalam demokrasi, SDM dsb, seperti kata pengkritik di media sosial? Hanya Tuhan dan Elon yang tahu.
Kita memang harus akui ada hal hal yang belum kuat disisi kita. Pekerjaan rumah kita ada banyak untuk mempersiapkan, bukan hanya EV, namun industrialisasi keseluruhan. Namun, jika kita hanya menggeneralisir masalah, sehingga kita “digocek” oleh Coldplay, Taylor Swift, Lionel Messi hingga Elon Musk, kok rasanya gimana gitu.
Padahal, hari hari ini, situasi sudah banyak berbeda. Jika dulu kiblat dunia hiburan hanya berasal dari barat, kini dunia Timur pun juga menggebrak. K-Pop adalah contohnya. Begitupun disisi ekonomi dan bisnis. Pertumbuhan Tiongkok, India dan Korea Selatan, serta meningkatnya pengaruh Asia Tenggara adalah fenomena. Ngga heran Amerika dan Eropa jadi “panas” dan patut diduga menjadi alasan mereka bermanuver, termasuk kontra pada hilirisasi mineral dan pelarangan ekspor komoditas ke Eropa.
Widih, sudah mirip Mardigu dan Connie Bakrie belum? wkwkwkwk.
Tapi serius, seperti judul postingan ini, kita ngga usah ngarep banget sama Tesla. Dengan pemain global yang tertarik masuk ke Indonesia, saya rasa sudah menunjukkan kompetitifnya Indonesia hari ini. Tesla bukan pemain mayoritas di pasar EV dunia. Ada BYD, VW dan banyak brand internasional lain yang berebut kue EV.
Pemain global manapun tentu harus memikirkan keuntungan bekerja langsung dari salah satu sumber bahan baterai mereka. Kepastian akses bahan baku, kemudahan dan insentif dalam berbagai proses bisnis dan produksi akan mereka bisa peroleh. Harusnya pemerintah fokus pada hal ini.
Lagipula, apa yakin Tesla tidak akan membutuhkan bahan dari Indonesia? Ini yang harusnya jadi fokus produsen pengolah mineral, bagaimana menjangkau pabrik Tesla yang terdekat dengan Indonesia. Pemilihan negara yang relatif dekat dengan Indonesiapun, saya rasa juga terkait dengan akses bahan baku. Artinya, mereka secara tak langsung mengakui itu.
Sudahlah, segala opportunity bisa dibentuk, asalkan kita tahu cara menjangkaunya.
Bacaan menarik lain soal saham, investasi dan bisnis lainnya bisa cek dan follow Instagram, Tiktok dan Threads @plbkrinaliando.
$IHSG $INCO $ANTM $MBMA $NCKL
1/2