TOP-DOWN VS BOTTOM-UP
Sejak awal memutuskan untuk terjun ke dunia saham, saya cukup beruntung karena langsung mengenal yang namanya analisa fundamental. Diawal perjalanan investasi saya membaca beberapa artikel mengenai kesuksesan Pak Lo Kheng Hong dalam berinvestasi saham dengan mendapatkan keuntungan besar. Hal tersebut yang menginspirasi saya menggunakan analisa fundamental dalam berinvestasi saham. Kemudian saya juga membaca cerita Warren Buffett menjadi salah satu orang terkaya di dunia dari berinvestasi saham, dan tentunya beliau juga menggunakan analisa fundamental. Saya memang sempat mempelajari analisa teknikal, namun setelah beberapa lama mempelajari dan mempraktekkan keduanya saya mendapati bahwa diri saya lebih cocok dengan analisa fundamental karena saya juga lebih dapat menerima logika dibaliknya.
Di titik ini kemudian saya mendapat “masalah” baru, yaitu bagaimana cara untuk mencari “barang bagus” melalui analisa fundamental? Ketika saya membaca buku-buku dan artikel saham, saya melihat bahwa investor ternama seperti Warren Buffett dan Peter Lynch menggunakan bottom-up approach, yaitu pendekatan investasi yang berfokus pada analisis saham individual dan tidak menekankan pentingnya ekonomi makro dan siklus pasar. Investor dengan pendekatan bottom-up akan menyelidiki langsung beberapa saham dalam satu sektor yang sama. Ketimbang berfokus pada faktor kondisi ekonomi domestik atau global, perkembangan suatu sektor, atau faktor lain yang berada di luar saham, investor benar-benar memusatkan waktu dan tenaganya untuk meriset perusahaan dari saham itu sendiri. Bahkan tidak jarang dengan pendekatan ini seorang investor akan membeli “great company in lousy industries”.
Cukup lama saya menggunakan pendekatan ini, terutama karena melihat para investor besar yang sudah terbukti sukses. Pada pendekatan ini saya memulai analisa dari screening saham melalui aplikasi, mengamati produk dan jasa yang ada di sekitar, dari artikel-artikel yang terdapat di media, atau bahkan hanya sekadar “iseng” ikut public expose dan membaca annual report perusahaan. Setelah menemukan investing idea yang saya rasa menarik, saya mulai mempelajari dan mencoba memahami bisnis perusahaannya, kemudian melihat track record manajemennya, melakukan analisa terhadap laporan keuangannya, dan terakhir melakukan valuasi. Selain melakukan serangkaian analisa tersebut, tentunya kita juga harus melakukan analisa terhadap industrinya dengan melihat peta persaingan dan bagaimana posisi perusahaan. Lalu kita juga harus mencari tahu apa rencana manajemen kedepannya untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Saya pribadi awalnya tidak memperhatikan kondisi ekonomi secara umum karena bahkan para investor besar pun mengaku tidak mempedulikan economic forecast ketika akan membeli suatu saham. Jika story perusahaan terlihat menarik dan memiliki margin of safety yang menarik, tentunya saya tidak akan berpikir panjang untuk berinvestasi di saham perusahaan tersebut.
Setelah beberapa lama, ketika saya mempelajari beberapa perusahaan dan industri yang cyclical, akan sangat sulit untuk menemukan emiten yang menarik tanpa melihat kondisi ekonomi. Sebab, bisnis-bisnis cyclical seperti komoditas, otomotif, property, dll lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi. Padahal pada bisnis cyclical ini seringkali kita juga bisa mendapatkan superior return. Saya mendapatkan fakta bahwa ternyata juga ada investor besar yang sukses dengan top-down approach yaitu Ray Dalio. Selain itu, para fund manager, rata-rata juga menggunakan pendekatan top-down. Top-down approach sendiri adalah pendekatan analisis investasi yang berfokus pada faktor ekonomi makro, seperti PDB, lapangan kerja, perpajakan, suku bunga, dll. Sebelum memeriksa faktor mikro seperti sektor atau perusahaan tertentu. Investor yang menggunakan pendekatan ini akan memeriksa berbagai faktor ekonomi makro untuk melihat bagaimana faktor-faktor ini dapat memengaruhi pasar secara keseluruhan, lalu setelah itu mencoba mencari industri apa yang akan terdampak, kemudian terakhir barulah akan dipilih perusahaan yang akan diinvestasikan.
Dari sini saya menyadari, kedua pendekatan ini sama-sama logis. Investor dari bottom-up akan meneliti fundamental perusahaan untuk memutuskan apakah akan berinvestasi di dalamnya atau tidak. Sebaliknya, investor top-down akan mempertimbangkan pasar yang lebih luas dan kondisi ekonomi terlebih dahulu sebelum memilih saham untuk portofolio mereka. Meskipun seringkali terdapat perdebatan mana strategi yang lebih baik, menurut saya keduanya berguna dan dapat dikombinasikan dalam memaksimalkan return investasi yang bisa kita dapatkan.
Perbedaan kedua pendekatan ini hanya pada titik startnya saja. Pendekatan manapun yang akan kita gunakan, tentu pada akhirnya kita tetap harus melakukan analisa terhadap perusahaan, karena kita berinvestasi secara khusus pada saham sebuah perusahaan. Seandainya kita benar dalam memilih sektor, namun salah dalam memilih perusahaan, pada akhirnya kita tetap akan mendapatkan kerugian. Sebaliknya jika perusahaan yang kita pilih sudah benar, namun sektor dan kondisi makro kurang mendukung, mungkin kita harus lebih sabar dalam hold saham perusahaan tersebut hingga sektornya “manggung”.
Seiring perjalanan investasi saya, saya menyadari bahwa untuk mendapatkan ide investasi ternyata bisa darimana saja. Terkadang bisa saja mendapatkan emiten yang menarik karena kondisi makro yang menyebabkan sektornya memiliki tailwind ataupun karena sekedar iseng mencoba fitur screening saham di Stockbit menggunakan metrik tertentu, dari sini saya simpulkan bahwa ide investasi ternyata bisa datang darimana saja. Atas hal tersebut jugalah pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak membatasi diri kepada hanya satu macam pendekatan investasi, karena untuk menambah kekayaan melalui pasar saham tidak hanya dengan satu macam cara. Ketika pasar menawarkan peluang, kita boleh mengambilnya, baik melalui bottom-up approach ataupun top-down approach.
Meski tampaknya kedua pendekatan ini berlainan, tidak ada yang paling benar ataupun salah dari keduanya. Analisis fundamental saham bottom-up dan top-down dapat dikombinasikan oleh investor. Top-down bisa menjadi permulaan analisis yang bagus, terutama jika kita ingin menganalisa saham di sektor yang cyclical. Kemudian, analisis top-down tersebut diikuti oleh pendekatan bottom-up untuk mencari saham-saham potensial secara spesifik. Sebaliknya jika kita menemukan saham yang menawarkan potensi value yang jauh diatas harganya, entah dilihat dari asetnya, earnings growthnya, dividennya, atau potensinya untuk turnaround. Selanjutnya kita analisa bagaimana prospek kondisi industrinya serta bagaimana pengaruh makro terhadap kinerja perusahaan kedepan.
Jadi, pendekatan mana yang lebih bagus? Tentu saya akan menjawab bahwa dua-duanya bagus, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan dan saya tidak akan membatasi diri saya untuk memilih salah satu pendekatan. Selama kita bisa menemukan emiten dengan potensi yang menarik kedepannya, pendekatan manapun harusnya tidak akan jadi masalah.
Random tag: $PTBA $ADRO $BBRI $ACES $SIDO