Beberapa waktu yang lalu, terjadi kisruh antara pencipta lagu dan band/musisi tertentu.
Mulai dari Ahmad Dhani vs Once, Rieka Roslan vs The Groove, Badai vs Kerispatih hingga Posan Tobing vs Kotak. Masing masing kisruh memiliki akar masalah berbeda beda, meski ujungnya 2 hal : hak cipta lagu dan hak moral sebagai pembuat karya.
Tentu saya ngga mau bahas spesifik tentang masing-masing kasus per kasus. Saya mau coba membawa bro and sis masuk ke dalam satu sektor yang kita sebut sebagai ekonomi konten dan masalah masalahnya. Dari sini, siapa tahu kita jadi paham kenapa kreator murni seringkali lebih “kere” dari yang mempopulerkannya.
=====
Ekonomi konten, singkatnya itu tentang "gue bisa hidup hanya dari karya ini atau ga sih?" Asumsinya menjadi demikian, karena karya dalam bentuk konten, baik musik, audio atau video, seringkali diciptakan bukan hanya untuk kepuasan (baca : idealisme), namun untuk memenuhi kebutuhan penonton atau pendengar.
Siapa sih pelakunya? Mereka yang jadi pencipta lagu, penulis buku hingga mereka mereka yang hidupnya produktif membuat konten seperti yang bekerja di media sosial. Bahkan, sektor media massa pun juga sebenernya pelaku sektor ini. Sumber duitnya macam macam. Mulai dari iklan atau endorsement, royalti hak cipta, memiliki side job yang terkait karya (misalnya jadi pembicara dan akademisi) hingga yang terakhir crowdfunding (misalnya Trakteer, Saweria dan Karyakarsa).
Sektor ini membuat siapapun pelakunya harus beradaptasi dengan perubahan. Terutama sejak media sosial lahir, dimana selera pasar semakin random dan cair, sehingga menjadi lebih sulit memahami dan memprediksi ke depan maunya pasar. Tren viral random sampai istilah cawe cawe pak Jokowi bisa membuat perubahan selera drastis.
Pada beberapa konten, seperti teks dan audio, membangun nuansa dan nyawa menjadi kunci utama untuk menarik pasar. Hal ini karena teks dan audio bisa menyajikan ribuan tafsir, dan ini yang membuat kontennya menarik. Misalnya penyanyi Taylor Swift atau Raisa, yang lagu lagunya seringkali laris justru karena tafsir lagu, yang menggambarkan kisah cinta mereka.
Beda dengan konten audiovisual, lebih gampang memberikan kode melalui mimik dan gestur tubuh. Meski demikian, konten audiovisual memiliki tantangan untuk menjaga mood dan interaksi yang muncul lebih hidup. Apalagi secara natur, manusia cenderung lebih mudah terstimulasi dengan audiovisual, sehingga keduanya menjadi faktor penting untuk menarik pasar.
Itu tantangan secara umum. Kita lihat realita yang terjadi.
Saya kemudian teringat diskusi dengan Almh Nenek saya. Beliau menyorot performa penyanyi Indonesia yang ngga seprima penyanyi di luar negeri (maksud beliau Amerika) ketika berusia tua. Salah satu jawaban saya : orientasi sektor ini, terutama di Indonesia, memungkinkan orang punya side job banyak. Penyanyi merangkap jadi aktor dan bintang iklan, terus endorse di media sosial, terus bikin usaha ini dan itu. Situasi tersebut mempengaruhi banyak hal, termasuk cara menjaga kesehatan, orientasi karya dan latihan.
Berbeda dengan sektor lain, harus diakui pembuat konten ini agak lemah di model bisnis. Hal ini umumnya karena mereka awalnya berniat iseng, ngide pas ngumpul atau disuruh orang tua. Belakangan trennya berubah, karena sumber motivasi no 1 bernama media sosial. Itupun karena cuma ngeliat dari luar pembuat konten ini enak dan otomatis kaya pas produknya populer.
Sayangnya ngga demikian. Banyak penulis lagu dan turunannya, yang hingga sekarang lagunya rajin diputar dan dicover, namun hidup mereka tidak dikontribusikan dari karyanya. Begitupun pada penulis buku. Mereka banyak punya side job, bahkan banting setir (pindah kerjaan). Yang miris, seringkali arahnya tak terduga, macam ojek online. Hal ini membuat motivasi memperbaiki performance atau memaksimalkan pendapatan dari karya rendah karena terhimpit oleh realitas hidup "yang penting asal bisa idup aja". Bro and sis mungkin pernah melihat situasi ini di sektor lain, seperti mantan atlet olahraga atau mantan pejuang kemerdekaan.
Jikapun memaksa dari karya, seringkali jatuhnya (maaf) “melacurkan diri”. Endorse diterima tanpa seleksi - sampai sampai marak endorse judi online, kontennya ngaco berat atau minimal sekadar ikut ikutan, hingga tindakan sewenang wenang seperti tidak menghargai tim yang ikut menghasilkan karya (ini salah satu dari hak moral).
Pertarungan antara realitas vs idealisme jadi kuat disini.
Tantangan lain pun muncul. Pemerintah belum 100% berpihak pada sektor ini, namun masih bermimpi bisa menjadi negara maju, minimal seperti Korea Selatan. Padahal, selain menggenjot industrialisasi, seperti yang sedang heboh dilakukan di sektor komoditas, kekuatan Korea juga ada pada sektor ini. Karena itu, perlu program program yang bisa meningkatkan peluang bersaing, eksplorasi skill dan memperbaiki kesejahteraan. Termasuk, membuka akses terhadap produk keuangan seperti kredit yang agak sulit dilakukan pembuat karya.
Ini juga butuh dukungan masyarakat, sebagai penikmat karya. Mereka perlu memahami proses dari sebuah karya, sehingga mereka bisa mendukung. Misalnya menghindari produk bajakan dan memberi dukungan, baik pendanaan sukarela hingga ide ide menarik. Mereka tak hanya butuh duit, tapi suntikan semangat untuk terus berkarya.
Bacaan menarik lain soal saham, investasi dan bisnis lainnya bisa cek dan follow Instagram dan Tiktok @plbkrinaliando.
$IHSG $MNCN $SCMA $MARI $VIVA
1/2