SCMA - VALUASI NYARIS TERENDAH DALAM SEJARAH, DAN BEBERAPA BISNIS DINILAI “GRATIS”, GIMANA PROSPEK RECOVERY BISNIS NYA?
Kenaikan rugi Vidio dan penurunan margin bisnis TV secara signifikan setelah ASO (4Q22, 1Q23) buat SCMA sekarang valuasinya ada di level nyaris terendah sejak perusahaan listing. Bahkan, beberapa bisnis SCMA yang “valuable” juga dihargain “gratis” dengan harga sekarang, seperti yang akan saya bahas di bagian terakhir postingan ini.
Pertanyaan nya.. Emang ada apa sih? Ini opportunity atau justru permulaian dari penurunan bisnis SCMA?
Yuk kita bahas. Saya akan bahas jd 3 babak: 1) Bisnis TV / FTA, 2) Bisnis Vidio dan Konten, dan 3) Valuasi, semua di postingan ini.
BABAK SATU: BISNIS TV.
The pressure and catalysts:
1. Margin kena hit sejak ASO (Analog Switch Off) diberlakukan. Kenapa? Karena selain SCMA harus keluarin cost buat STB (set top box) sebesar sekitar 1,2 juta, SCMA juga kena hit karena pas sebuah kota lakuin ASO, weighting audience share kota tersebut di adjust sama Nielsen. Makanya, efek ke confidence advertiser since data nya jadi agak “skewed”. Positif nya, pastinya dari segi biaya bakal hanya sementara terjadi, dan kata manajemen SCMA pun biasa bobot audience share udh normal setelah 3 bulan sejak ASO. Dengan mayoritas kota besar udah ASO, semoga disrupsi nya semakin kecil efeknya
2. Ada channel TV digital baru milik SCMA - Mentari TV - yang udah masuk top 5 audience share di 1Q23 walaupun baru rilis Nov 2022. Menurut manajemen SCMA, biasanya butuh waktu 1 tahun buat channel baru untuk bisa menjadi lebih established, dan bisa mulai mendapat pendapatan yang decent dari pengiklan, terutama apabila terlihat stabilitas pada jumlah penonton ataupun audience share. Tentunya, ini bisa menjadi growth driver SCMA kedepannya, baik secara pendapatan maupun laba, mengingat tingginya margin bisnis TV.
3. Audience share $SCMA tetap strong. Di 1Q23 dengan SCTV no 1 dan Indosiar no 3. Didorong sama program yang mencatat performa baik, seperti Cinta Setelah Cinta, Takdir Cinta yang Kupilih, dan Bidadari Surgamu. Uniknya, no 2 nya itu bukan RCTI, tapi MNC TV $MNCN. Kok bisa? MNC ada beberapa program yang kuat performanya, misal Upin Ipin, Family 100, Entong, dll. Sedangkan Ikatan Cinta nya RCTI turun.. kayaknya juga dipengaruhi sejak Amanda Manopo cabut dan jam tayang nya dipindah
4. Apakah TV masih ada yang nonton? Kalo dr survei Nielsen di 3Q22, 81,1% responden mengatakan masih menonton TV. Rata-rata durasi waktu nonton TV (4.799 menit per bulan) juga masih jauh lebih tinggi dibanding aplikasi video streaming (568 menit per bulan). Nielsen juga menemukan bahwa pengguna TV di Indonesia didominasi orang dewasa, dengan 62% berasal dari orang yang berusia lebih dari 30 tahun. Profil penonton TV tersebut jg dinilai memiliki daya nilai karena merupakan pengambil keputusan rumah tangga. Makanya, pengiklan nya kebanyakan dr FMCG yang butuh jangkauan yang gede dan durasi nonton yang lama
5. Apakah bisnis SCMA bisa diuntungin dari pemilu? Menurut manajemen SCMA pada earnings call 1Q23, potensi dampak dari pemilihan umum lebih secara tidak langsung. SCMA sendiri tidak menutup kemungkinan membuat program bersama dengan para kandidat pemilu saat kampanye. Meski demikian, manajemen SCMA mengatakan bahwa pihaknya tidak ingin mengambil iklan politik. Namun, adanya ekspektasi pemilu bisa meningkatkan PDB sekitar 1% dianggap bisa membantu konsumsi masyarakat, yang kemudian bisa berdampak positif terhadap SCMA, mengingat mayoritas pengiklan juga merupakan perusahaan FMCG misal $UNVR $MYOR dll.
6. Apa risk nya? Sebenernya walaupun bisnis TV masih tumbuh. Kalau diliat, margin nya udah ga se gede dulu. Di periode 2011-2015 misalnya, bisnis TV SCMA punya operating profit margin (OPM) sebesar 47-53%. Margin tersebut jd lebih rendah pada periode 2019-2021 (sebelum ASO) yang berkisaran 32-34%. Kenapa? Karena kenaikan biaya produksi konten dan biaya operasional yang lebih cepat dibanding pendapatan TV SCMA. Tapi ya tentu, valuasinya (yang bakal dibahas di bagian akhir) juga udh jauh lbh rendah dari jaman margin nya segitu.
BABAK DUA: BISNIS VIDIO DAN KONTEN
Walaupun bisnis TV masih growing, sebenenernya secara proporsi ke ad spend (pengeluaran iklan) di Indonesia proporsi nya menurun. Ya karena iklan digital, misal di search engine, social media, streaming platform, dan e-commerce.
Dengan perkembangan industri ini, SCMA juga gak diem2 dan nunggu terdisrupsi. Makanya SCMA ada transformasi bisnis, dengan akuisisi bisnis digital seperti Vidio dan Kapanlagi, dan juga bisnis yang makin penting dengan digitalisasi, seperti bisnis konten (dengan akuisisi Screenplay Films dan Sinemart) dan juga bisnis talent seperti influencer management, termasuk investasi di RANS.
Vidio juga udah grow cepet banget. Pendapatan udah lewatin 1T tahun lalu. Subscriber sempet 5 juta, monthly active user konsisten di atas 60 juta.
Tapi sayangnya emang Vidio masih rugi, karena harus “bakar uang”. Gimana engga, lawannya itu beberapa bisnis plg berharga di dunia, contoh: Netflix, Disney (Disney+ Hotstar), Amazon (Prime Video), Tencent (WeTV), Baidu (iQiYi), Warner Bros Discovery (HBO Go), dan PCCW (Viu)
Tapi Vidio udah nomor 1 di banyak metrik di Indo. Kok bisa? Strategi nya adalah konten lokal original dan juga konten sports dengan punya lisensi eksklusif. Bisnis konten yang dipunyain Vidio juga jadi penting karena bisa “secure supply” dan buatnya jadi leader di konten lokal, dibanding OTT lain. Walaupun memang Screenplay bisa juga provide konten ke medium lain, misal bioskop (Gundala, Sri Asih) ataupun OTT lain (The Night Comes for Us dan The Big 4 buat Netflix atau Mendua buat Disney+ Hotstar)
Beberapa kuartal terakhir, kerugian Vidio terus naik. Tapi, Vidio targetin profitabilitas di tahun 2025. Dan management bilang harusnya margin naik di kuartal-kuartal berikutnya. Vidio Originals mau dipangkas dr dari 30 konten pada 2022 menjadi 20–21 konten pada 2023. Jumlah tersebut cuma setengah dari target awal sebesar 40 konten. Selain itu, kerugian yang naik sebenernya juga karena andil lisensi Liga Inggris, yang mulai dicatet biayanya sm Vidio dari 2H22. Jadinya, nanti di 2H23 bakal lebih apple to apple buat bandingin secara tahunan.
Profitabilitas pastinya nanti bakal tergantung sama jumlah user dan average revenue per user nya juga. Karena scale dan market leadership bisa membuat economics of scale, seperti halnya profitabilitas yang udah diraih oleh Netflix, iQiYi, Tencent Video, dan Viu. Tapi ingat bisnis Vidio juga bisa dipake secara freemium, bisa akses beberapa konten secara gratis dengan nonton iklan. Sehingga, market size Vidio jg bisa lbh besar dan menjangkau orang dr banyak latar belakang.
Kalau kerugian Vidio beneran udah peaking, dengan size nya yang sekarang, tentunya perbaikan kerugian juga bisa mendorong naik laba SCMA kedepannya
Until then, kerugian Vidio dibiayai dari dana yang di raise ke investor eksternal, di mana Vidio udah raise 195 juta dolar, dan kepemilikan SCMA di Vidio jd 79,37% skrg
BABAK 3: VALUASI - WHAT DOES THE PRICE IMPLY?
Di harga 160 di harga penutupan 15 Mei kemarin, valuasi SCMA dihargai mendekati level terendah dalam 5–10 tahun terakhir, baik itu dari segi rasio P/S, P/BV, maupun Forward P/E. Forward P/E Ratio dari saham SCMA kini berada di level 9,14x, P/S Ratio (TTM) di 1,66x dan P/BV Ratio di 1,56x.
Enterprise value-nya hanya mengimplikasikan 6,4x laba operasional (EBIT) bisnis TV-nya pada 2022, Rp 0 rupiah untuk Vidio, dan Rp 0 untuk bisnis konten.
Padahal, bisnis Vidio dinilai sangat tinggi oleh investor eksternal, dan bisnis konten lain di BEI dihargai dengan sangat premium.
Sebagai contoh, pada saat pendanaan seri terakhir dengan investor eksternal, valuasi Vidio mencapai 943,4 juta dolar AS. Dengan asumsi nilai kurs di 15.000 rupiah per dolar AS, nilai kepemilikan SCMA yang mencapai 79,37% di Vidio setara dengan 11,23 triliun. Nilai tersebut lebih tinggi dari enterprise value saham SCMA dan mirip market cap SCMA.
Selain itu, bisnis konten SCMA – yang didalamnya terdapat Screenplay Films – memiliki pendapatan lebih dari 3x lipat pendapatan MD Pictures ($FILM). Meski begitu, FILM memiliki market cap sebesar 15,79 triliun per 15 Mei 2023, lebih besar dari market cap SCMA.
Memang, valuasi Vidio yang diberikan oleh investor eksternal sebesar 11,23 triliun rupiah tidak bisa dibilang ‘murah’. Nilai tersebut mengimplikasikan P/S Ratio sebesar 10,4x pendapatan Vidio pada 1Q23 TTM. Valuasi FILM sebesar 31x P/S dan 89x P/E 1Q23 TTM juga tidak bisa dibilang murah. Namun, bisa saja potensi IPO Vidio ataupun bisnis konten di masa depan bisa saja meng-unlock value tersebut.
Jadi, menurut kalian SCMA buy or bye?
Bisa baca analisis lbh lengkap dengan visualisasi nya di artikel SCMA berikut https://snips.stockbit.com/unboxing/valuasi-scma-nyaris-all-time-low-buy-or-bye
Disclaimer: Bukan rekomendasi beli/jual saham tertentu
1/2