imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Serba-serbi industri nikel part 1 : industri nikel 101

Tulisan ini berawal dari ketertarikan saya akan industri nikel yang sudah dan akan terus ramai diperbincangkan di media massa, bahkan sampai ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Sejak pertengahan 2020 (kalau tidak salah), isu hilirisasi nikel dan larangan ekspor nikel selalu menghiasi berita di media. Awalnya, saya agak cuek karena pilihan emitennya di BEI tidak banyak, kalau gak $ANTM ya $INCO. Harganya yang sudah naik gila-gilaan mendorong valuasinya semakin mahal dan tidak menjadi menarik.

Namun, industri ini semakin menjadi menarik sejak kedatangan 2 saham IPO baru, $NCKL dan $MBMA, dengan nominal yang tidak sedikit. Kedatangan 2 IPO jumbo ini membuat saya merasa bahwa perkembangan industri nikel ini semakin serius sehingga menarik juga untuk dipelajari. Selain itu, semakin banyak emiten nikel yang melantai di bursa menawarkan pilihan emiten nikel dengan berbagai macam rentang valuasi. Kan sekarang jadi lumayan seru, kalau mau bullish sama industri nikel harus pilih yang mana? Yang dulu kalau gak $ANTM atau $INCO (mungkin + 1, $HRUM), sekarang jadi ada $ANTM, $INCO, $NCKL, atau $MBMA

Selain itu, informasi yang sangat jelas dan lengkap (serta panjang dan rumit untuk dibaca) di prospektus semakin memudahkan investor untuk memahami industri nikel semakin baik. Dengan berbekal ilmu material engineering di sekolah yang masih cetek ini, saya cukup pede untuk bisa memahami industri nikel ini. Pas baca prospektus $NCKL dan $MBMA, wah kok saya susah sekali untuk mengertinya ya. Istilahnya banyak dan sangat teknis, mulai dari saprolit, limonit, RKEF, HPAL, dan masih sangat banyak lagi.

Berbekal keresahan dan keingintahuan, saya mencoba mempelajari istilah-istilah ini dan menuliskannya dalam catatan yang mungkin lebih mudah dimengerti. Ya, itung-itung buat jadi bahan bacaan buat diri sendiri kalau lupa dan juga bisa sarana untuk menjelaskan ke orang awam lainnya. Harapannya sih, setidaknya orang lain kalau baca berita soal per-nikel-an ini minimal gak bingung. Syukur-syukur kalau bisa sampai paham seluruhnya, hahaha.

Sebagai catatan, masih banyak sekali istilah teknis yang sangat-sangat teknis (dan cenderung rumit) walaupun saya sudah coba kurangi. Beberapa alasannya adalah istilah tersebut umum muncul di dalam berita serta menjadi dasar sebab-akibat dalam penjelasan sebelum dan setelahnya. Jadi, mungkin tulisan ini tetap akan sulit dimengerti dan mungkin harus dibaca berkali-kali. Kalau ada yang bingung, silakan ditanyakan saja di kolom komentar atau melalui fitur private chat di Stockbit :)

Tulisan ini akan menjadi cukup panjang sehingga saya coba bagi menjadi 6 bagian, yaitu:
1. Klasifikasi sumber daya dan cadangan mineral
2. Mineral nikel di alam – limonit dan saprolit
3. Pengolahan limonit dan saprolit: RKEF dan HPAL
4. Skema pemrosesan RKEF
5. Skema pemrosesan HPAL
6. Bentuk akhir produk nikel dan penentuan harga jual

Tanpa berpanjang lebar, mari kita mulai penjelasan ini:

1. Klasifikasi sumber daya dan cadangan mineral

Misalkan, pada suatu hari kalian menemukan peta harta karun. Lalu, setelah mengikuti petunjuk pada peta, kalian berhasil menemukan titik harta karun tersebut. Kalian kemudian gali titik tersebut hingga akhirnya menemukan sepotong harta karunnya. Kalian kemudian yakin bahwa “wah, bener nih di sini ada harta karunnya”. Setelah itu, kalian panggil ahli untuk menghitung seberapa luas harta karun ini. Selagi menunggu ahli menghitung, kalian iseng menggali titik-titik lain di sekitarnya untuk mencari tahu apakah ada harta karunnya atau tidak.

Kemudian, sang ahli balik ke kalian dengan memberikan estimasi. “Berdasarkan hitungan saya, harta karunnya ada dari A sampai B.” kata pakar tersebut. Namun, di beberapa titik di luar A dan B, kalian menemukan sampel harta karunnya. Oleh karena itu, kalian berpikir bahwa di titik ini masih ada harta karunnya. Lalu, kalian juga menduga bahwa harta karunnya masih ada di bawah titik ini masih ada harta karunnya, karena masih berdekatan dengan titik penemuan kalian.

Klasifikasi sumber daya di alam kurang lebih ya seperti ini. Titik A sampai B disebut sumber daya terukur (measured) karena sudah dihitung oleh ahli. Titik di luar A dan B yang kalian menemukan sampel harta karunnya disebut sumber daya terindikasi (indicated) karena ada indikasi masih ada harta karunnya di titik tersebut. Dugaan kalian bahwa masih ada harta karun di bawahnya itu disebut sumber daya tereka (inferred) karena kalian masih menduga bahwa ada harta karunnya ada di situ. Di dunia nyata, perhitungan ini dilakukan oleh ahli geologi dengan menggunakan pengujian serta model atau simulasi tertentu. Suatu klasifikasi sumber daya dapat naik kelas (dari tereka menjadi terindikasi menjadi terukur) apabila diteliti lebih lanjut. Cuma biasanya, penelitian ini dilakukan setelah mineral di daerah terukur mulai habis dan perlu diteliti ulang keberadaan mineralnya.

Pertanyaan selanjutnya, kalau ditambang apakah balik modal atau enggak dengan biaya yang dikeluarkan. Tidak semua titik yang ada mineral bisa ditambang dengan balik modal. Di sini lah, definisi cadangan muncul. Titik A sampai B serta titik di luarnya dihitung berapa banyak jumlah harta karun yang bisa didapat dikurang biaya untuk mendapatkan harta karun tersebut. Kalau pasti untung, cadangan ini disebut terbukti (proven). Di sisi lain, ada beberapa titik yang mungkin untung atau enggak karena biayanya semakin mahal untuk menambang sampai titik tersebut. Cadangan ini yang disebut dengan probable (terkira).

Faktor ekonomis serta beberapa faktor lainnya seperti hukum, lingkungan, sosial, dan pemerintahan dalam penentuan cadangan ini disebut sebagai modifying factors. Namun, faktor yang paling menentukan biasanya harga jual komoditas di pasaran. Kalau harga komoditas semakin tinggi, semakin banyak titik yang bisa ditambang karena biaya yang semakin mahal ini dapat ditutupi oleh harga komoditas yang tinggi. Sebaliknya, kalau harga komoditas turun, semakin sedikit titik yang bisa ditambang. Oleh karena itu, klasifikasi cadangan bisa sangat berfluktuasi (dari proven menjadi probable atau sebaliknya) bahkan kembali ke sumber daya kalau hitung-hitungannya gak masuk.

2. Mineral nikel di alam – limonit dan saprolit

Nah, di alam Indonesia, harta karun mineral nikel ini ditemukan dalam bentuk batuan dengan penampakan seperti tanah pada umumnya. Kadar nikel pada batuan ini hanya berkisar 0,8-3%. Batuan ini dibagi menjadi dua jenis yaitu, saprolit dan limonit, berdasarkan kadar nikel dan unsur lain di dalamnya.

Batuan pertama yaitu saprolit, diindikasikan dengan kandungan nikel (Ni) serta MgO yang tinggi dan kadar kobalt (Co) yang rendah. Kandungan Ni yang tinggi ini membuat batuan ini yang umum dimanfaatkan untuk menjadi nikel karena mudah untuk diambil nikelnya. Oleh karena itu, proses ekstraksinya dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan panas atau yang umum disebut sebagai proses pirometalurgi. Selain itu, kadar MgO yang tinggi bermanfaat ketika proses pemanasan karena dapat menjadi penghantar panas yang baik. Kadar kobalt yang rendah juga tidak menjadi masalah karena kobalt tidak dapat diambil (diekstraksi) dengan metode pemansan saja.

Batuan kedua adalah limonit, dengan kandungan nikel (Ni) serta MgO yang rendah dan kadar kobalt (Co) yang tinggi. Kandungan nikel yang rendah pada batuan limonit membuat batuan ini dulunya sering dibuang. Ibarat daging sapi, kalau saprolit itu prime cut (sirloin atau tenderloin) limonit itu jeroannya. Akan tetapi, limonit, selayaknya jeroan, punya keistimewaan sendiri yang bikin sebagian orang tertarik. Yep, kadar kobalt yang tinggi ini menjadi daya pikat karena sangat menguntungkan apabila dapat diekstraksi, di mana secara umum harga kobalt lebih tinggi 2,5 kali lipat dari harga nikel. Namun, ekstraksi kobalt ini perlu metode khusus yang tidak bisa dilakukan dengan metode pemanasan (pirometalurgi).

Metode yang cocok digunakan adalah menggunakan bahan kimia (asam sulfat) atau yang umum disebut proses hidrometalurgi. Kadar nikel yang rendah dan kobalt dapat terekstraksi secara optimum apabila diproses menggunakan proses hidrometalurgi. Selain itu, kadar MgO juga diharapkan rendah agar tidak akan banyak mengonsumsi asam, di mana MgO beraksi dengan asam dan membentuk produk yang tidak diharapkan. Kadar MgO limonit yang lebih rendah dibandingkan saprolit membuatnya semakin cocok untuk diproses dengan hidrometalurgi.

3. Pengolahan limonit dan saprolit: RKEF dan HPAL

Oleh karena komposisi unsur di dalamnya, saprolit cocok diproses dengan pirometalurgi (panas) dengan teknologi RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) dan limonit cocok diproses dengan hidrometalurgi (kimia) dengan teknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching). Kedua pemrosesan ini sangat berbeda jauh karena menggunakan prinsip pemrosesan yang sangat berbeda.

Teknologi RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) membutuhkan kokas atau yang lebih dikenal sebagai batu bara metalurgi dalam pemrosesannya. Batu bara ini berperan sebagai sumber energi untuk menghasilkan panas serta senyawa pereduksi. Selain itu, proses pemanasan ini juga mengakibatkan biaya investasi awal yang lebih murah. Hal ini disebabkan karena prosesnya relatif sederhana apabila dibandingkan dengan HPAL. Sederhananya, proses ini mirip proses memasak makanan di kompor, hanya butuh wadah pemanas dan bahan bakar. Akan tetapi, biaya produksinya lebih mahal karena butuh banyak energi (baik dari batu bara maupun listrik) dengan hasil produk yang relatif sederhana yaitu ferronickel (FeNi) dengan komposisi unsur utama besi dan nikel. Besarnya komposisi besi membuat produk ferronickel ini lebih cocok digunakan untuk baja tahan karat (stainless steel).

Di sisi lain, teknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching) membutuhkan asam sulfat untuk bereaksi dengan nikel dan kobalt sehingga dapat dipisahkan nantinya. Oleh karena proses kimia yang lebih reaktif, beberapa unsur logam tanah jarang (rare earth metals) seperti skandium juga dapat terekstraksi. Logam tanah jarang ini memiliki harga yang sangat mahal sehingga bisa memberikan keuntungan sangat tinggi apabila nantinya produk ini bisa dihasilkan dan dijual. Oleh karena proses kimia, hasil akhirnya disebut presipitat (garam) dengan tingkat kemurnian logam yang tinggi sehingga lebih cocok digunakan untuk produk baterai. Dibandingkan dengan pemrosesan panas, pemrosesan kimia ini relatif lebih sulit sehingga lebih banyak membutuhkan alat dan tahapan sehingga biaya investasi awalnya lebih mahal. Biaya investasi yang lebih mahal membuat masih sedikit pelaku industri yang baru membuat fasilitas ini, dengan sebagian besar masih dalam tahap rencana. Beberapa yang sudah beroperasi adalah fasilitas milik grup Harita $NCKL melalui PT Halmahera Persada Lygend. Akan tetapi, biaya produksi pemrosesan kimia lebih murah karena tidak membutuhkan energi dan tempat yang terlalu besar. Hasil produk yang beragam serta berkualitas tinggi dengan margin keuntungan yang lebih tinggi menjadikan biaya investasi awal ini dapat sepadan apabila dikalkulasi dengan tepat.

4. Skema pemrosesan RKEF

Sejujurnya, bagian ini sudah sangat teknikal dan engineering dan lebih bersifat nice to know sehingga dapat di-skip apabila terasa cukup rumit (termasuk skema pemrsosean HPAL). Akan tetapi, skema pemrosesan yang sudah digambar dengan baik di prospektus MBMA membuat saya ingin mempelajarinya lebih lanjut serta memungkinkan untuk dijelaskan lebih mudah. Beberapa informasi dalam bagian ini juga akan membantu untuk memahami apa yang terjadi di dalam pabrik serta memahami alasan manajemen dalam melakukan ekspansi. Ibarat punya kendaraan, belajar bagian ini seperti belajar komponen kendaraan (mulai dari jenis bahan bakar, oli, busi, dan lain-lain). Kalau tahu cara kerjanya serta fungsi setiap bagian lebih bagus, tapi kalau enggak juga gapapa selama produk akhirnya jadi dan terjual (kalau di kendaraan ya setidaknya diservis rutin hehehe).

Proses RKEF sederhananya dibagi menjadi 4 bagian yaitu penambangan – pengeringan - pencampuran bahan – peleburan. Pertama-tama, bijih saprolit yang baru ditambang ini disimpan dalam gudang. Bijih yang baru ditambang ini umumnya dalam keadaan basah sehingga beratnya dihitung sebagai berat basah (wet metric ton, wmt). Selanjutnya, bijih dikeringkan menggunakan mesin rotary dryer (sesuai namanya dryer = pengering) untuk mengurangi kadar air. Berat setelah proses pengeringan ini disebut sebagai berat kering (dry metric ton, dmt). Bijih saprolit yang sudah kering ini dicampur dengan kokas dan material lainnya, tetap dalam suhu yang panas. Campuran material ini kemudian dimasukkan ke dalam electric furnace untuk direduksi hingga menjadi produk akhir ferronickel dengan sisa material slag.

Produk akhir proses RKEF ini adalah ferronickel (FeNi) dengan ciri utama adalah komposisi utamanya berupa besi dan nikel. Persen kadar nikel (% Ni) pada produk akhir menentukan kualitas produk akhir. NPI (Nickel Pig Iron) merupakan produk ferronickel dengan kualitas paling rendah (2-15% Ni) diikuti ferronickel (15-40% Ni). Produk ini bisa langsung digunakan sebagai bahan baku stainless steel atau ditingkatkan kualitasnya kembali. Apabila ingin ditingkatkan kualitasnya menjadi nikel matte (30-80% Ni), perlu ditambahkan 1 langkah lagi yaitu masuk mesin converter untuk diproses lebih lanjut sehingga kualitasnya menjadi lebih baik.

Sederhananya, produk nikel NPI, FeNi, dan nikel matte ini masih dalam 1 keluarga ferronickel yang merupakan produk akhir proses pirometalurgi dengan RKEF namun berbeda berapa lama tahapan pemrosesannya. Analoginya mirip steak dengan kualitas rare-medium-well done, hanya berbeda dalam lama pemrosesan (kalau dalam nikel termasuk berapa tahap proses reduksinya).

5. Skema pemrosesan HPAL

Proses HPAL ini lebih rumit dibandingkan proses RKEF, terlihat dari bagannya yang lebih banyak komponennya. Namun, proses ini dapat dijelaskan dalam 7 bagian besar yaitu pengentalan - pencampuran asam – penetralan - pemisahan padatan – pemurnian MHP – pemisahan kotoran – pemurnian MSP.

Pertama-tama, bijih nikel limonit, yang ditambang dalam keadaan basah, dibasahkan kembali menggunakan air hingga menjadi endapan seperti lumpur (slurry). Setelah menjadi lumpur (slurry), bijih direaksikan dengan asam serta menggunakan tekanan tinggi. Proses ini yang disebut High Pressure Acid Leaching (high pressure = tekanan tinggi, acid leaching = pencucian dengan asam). Setelah diproses dengan asam, campuran ini dinetralkan dengan basa (masih ingat pelajaran kimia tentang asam-basa hahaha) menggunakan batu kapur. Padatan nikel dan kobalt yang sudah terbentuk kemudian dipisahkan dari larutan dengan metode counter current decantation (CCD). Proses ini mirip kayak proses menyeduh kopi tubruk yang endapannya ditungguin turun ke bawah dulu (namun pada proses HPAL lebih kompleks sampai menggunakan beberapa wadah). Padatan kemudian diambil dan cairan yang tersisa dinetralkan kembali dan ditampung dalam bendungan. Padatan yang terbentuk dimurnikan lebih lanjut hingga menghasilkan produk akhir Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).

Produk akhir Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) ini sudah cukup baik namun masih terdapat beberapa pengotor unsur lain seperti magnesium dan mangan. MHP ini bisa langsung dijual ke pabrik pengolahan baterai untuk diolah lebih lanjut atau diolah sendiri. Apabila ingin diolah sendiri, MHP yang terbentuk dimurnikan kembali dengan proses leaching and purifiaction menggunakan berbagai pelarut. Setelah dimurnikan, padatan kembali diambil kembali (seperti tahapan di atas) dengan produk akhir MSP (Mixed Sulphate Precipitate) yang terdiri dari nikel sulfat dan kobalt sulfat. Campuran MSP ini kemudian bisa dijual langsung ke pabrik pengolahan baterai atau dipisahkan dulu menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat untuk dijual dengan harga yang lebih mahal.

Di proses HPAL, produk MHP, MSP, dan nikel sulfat ini merupakan satu keluarga dengan beda tingkat pemrosesannya. Selain itu, proses ini juga menghasilkan produk selain nikel, yaitu kobalt yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Apabila dikembangkan dan memungkinkan, produk ini juga dapat menghasilkan produk logam tanah jarang seperti skandium (di Indonesia belum diumumkan bisa namun sudah berhasil dilakukan di Filipina oleh Sumitomo Group)

6. Bentuk akhir produk nikel dan penentuan harga jual

Apabila dirangkum, produk nikel di pasaran terdiri dari 9 jenis yaitu 2 bijih (limonit dan saprolit), 4 ferronickel (NPI, FeNi, Nikel matte, dan nikel murni), dan 3 presipitat (MHP, MSP, dan nikel sulfat). Secara umum, kandungan nikel semakin meningkat seiring semakin banyak tahapan pemrosesan yang dilakukan (dari bijih hingga menjadi nikel murni). Kandungan nikel pada nikel sulfat lebih rendah (22%) namun kemurnian produk ini sangat tinggi sehingga mampu dijual lebih mahal dibandingkan produk lainnya untuk kadar nikel yang sama dalam produk ferronickel atau MHP/MSP. Produk ini juga dapat diklasifikasikan berdasarkan pemanfaatan produk akhir yaitu nikel kelas 1 (battery grade nickel) dan nikel kelas 2 (stainless steel grade nickel)

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana penentuan harga jual produk nikel yang beragam ini? Secara umum, harga jual dihitung dengan harga per ton nikel ekivalen (ton Ni). Sederhananya, seluruh produk akan dihargai berdasarkan kadar nikelnya (sisa unsur lainnya dihargai dengan rendah atau bahkan 0). Kalau kadar nikelnya semakin rendah ya harga per ton-nya semakin rendah sedangkan kadar semakin tinggi kadar nikelnya maka semakin tinggi harga per ton-nya.

Di sinilah peran pentingnya hilirisasi, kalau kita, sebagai Bangsa Indonesia, hanya terus menjual bijih nikel dalam bentuk mentah maka unsur-unsur lainnya (besi, kobalt, dan logam tanah jarang) akan dihargai sangat rendah atau bahkan tidak hargai. Padahal, unsur-unsur tersebut dapat dijual dengan harga jual yang cukup mahal, bahkan beberapa bisa lebih mahal dari nikel. Selain itu, beberapa keuntungan lainnya juga meliputi transfer teknologi dari negara lain serta membuka lapangan pekerjaan.

Benchmark harga jual nikel ini mengacu indeks global, mirip seperti batu bara. Kalau batu bara punya index Newcastle, Indonesia Coal Index (ICI), dan Harga Batubara Acuan (HBA), nikel juga punya yaitu index London Metal Exchange (LME), index Shanghai Metals Market (SMM), dan index Harga Mineral Acuan (HMA). Ketiga indeks ini memiliki pergerakan yang relatif sama, namun tetap memiliki selisih harga.

Formula harga jual masing-masing produk kemudian dihitung menggunakan harga patokan mineral (HPM) yang dipengaruhi besar kadar nikel, Harga Mineral Acuan (HMA), dan correction factor. Correction factor ini yang memperhitungkan nilai diskon atau premium dari kualitas produk yang dihasilkan. Akan tetapi, faktor penting yang juga menentukan harga jual adalah hukum supply-demand dari setiap produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan harga USD/Ton Ni pada produk premium dapat dihargai sama atau lebih murah dibandingkan produk dengan kemurnian rendah (seperti pada contoh nikel matte).

Beberapa produsen ternama di Indonesia yang memproduksi masing-masing produk nikel adalah:
• NPI: $MBMA, $HRUM
• FeNi: $ANTM
• Nikel matte: $INCO
• Produk HPAL: $NCKL, $INCO (proses pembangunan yang bekerja sama dengan Zhejiang Huayou dan Ford Motor), dan $MBMA (tahap rencana bersama Ningbo Brunp Contemporary Amperex Co., Ltd.

Semoga penjelasan yang cukup panjang ini membantu para pembaca dalam memahami industri nikel secara keseluruhan ya! Kalau ada waktu dan kesempatan (dan kalau rame), tulisan ini mungkin akan saya lanjutkan ke part 2-nya hahaha

Disclaimer: tulisan ini tidak dapat dijamin 100% kebenerannya serta bukan merupakan rekomendasi jual atau beli saham tertentu. Always do your own analysis!

Read more...

1/6

testestestestestes
2013-2024 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy