imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Dua emiten dalam satu postingan ini saya kenali karena muncul di top 10 isi reksa dana yang pernah saya beli.

Saya berpikir, ini kenapa masuk top 10? Salah satu alasan logis adalah kenaikan harga saham keduanya yang signifikan di periode 2016-2019. Kenaikan harga ini juga membuat sang pendiri, dan juga pemilik, kembali masuk dalam jajaran orang terkaya. Disebut kembali, karena sebenarnya si pendiri ini sudah tergolong orang terkaya - terutama di era mantan Presiden Soeharto.

Secara kinerja, emiten yang dimiliki “lulusan SMP” - framing ala influencer saham dan media ketika menyebut si pendiri emitennya - ini tertolong si anak usaha yang tergolong besar di sektornya. Anak usahanya, yang juga emiten Tbk, berkontribusi signifikan pada pendapatan induknya.

Kali ini, seperti request followers, saya akan bahas emiten tersebut : Barito Pacific (BRPT) dan Chandra Asri Petrochemical (TPIA).

=====

Prajogo Pangestu, diceritakan dari banyak sumber, gidupnya zero to hero. Lulusan SMP (entah kenapa ini yang ditonjolkan) yang kemudian bertemu dengan pengusaha, yang membuka pintu menuju kesuksesannya hari ini. Dari Djajanti Group, salah satu bisnis besar di Kalimantan saat itu, ia pun mencetuskan grup Barito Pacific, bisnisnya sendiri di 1979.

Ada part yang tak terceritakan. Beliau terbantu network dengan keluarga Cendana (keluarga Presiden Soeharto), sehingga membantu bisnisnya dan sempat menjadi bisnis besar di bidang pengolahan kayu - bersaing dengan Djajanti. Dengan grup Bimantara (BMTR) (masih dipegang Bambang Trihatmodjo dkk), grup Napan (Henry Pribadi) serta beberapa partner Cendana, beliau pun mengembangkan grup TPIA.

Tadinya ada 2 entitas - Chandra Asri dan Tri Polyta. Keduanya adalah pemain petrochemical terbesar di Indonesia, dimana mereka memproduksi bahan kimiauntuk produksi produk dalam keseharian. Mulai dari plastik, sepatu karet, kemasan hingga ban. Produksi komersial keduanya dimulai periode 90an di Cilegon. Dua nama ini kemudian merger pada 2011.

Namun, seperti kebanyakan bisnis keluarga Cendana dan partner (misal Salim, Indika/Subentra, Napan dsb), grup BRPT dan TPIA bermasalah pada krisis 1998. Hutang yang menggelembung karena kurs USD dan sejumlah kendala lain menekan bisnis beliau. Bahkan, grup beliau pernah jadi satu debitur mangkrak terbesar di list BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) saat itu.

Selama beberapa tahun, mereka sibuk dengan restrukturisasi. Sejak itu, BRPT dan TPIA + Chandra Asri mulai dikendalikan oleh beliau. Beberapa tahun kemudian, BRPT membeli grup TPIA dan Chandra Asri di 2008 dan 2007. Hal ini untuk menyelamatkan bisnis BRPT yang belum kondusif di perkayuan.

Setelah peningkatan produksi dan merger TPIA di 2011, BRPT mulai bernapas lega. Hutang hutang lama bisa diselesaikan, kinerja pun membaik karena kontribusi mayoritas grup TPIA. Itu mungkin sebabnya BRPT dan TPIA melaksanakan kuasi reorganisasi pada 2011 untuk menghapus saldo rugi yang signifikan. TPIA berkembang menjadi produsen petrochemical terintegrasi dengan market share signifikan.

(topik kuasi reorganisasi ada di tanggal 4 Januari 2022)

BRPT sah berubah bisnis sejak saat itu. Apalagi, setelah akuisisi bisnis energi dari sang pendiri pada 2018. Namanya Star Energy. Yang diambil alih BRPT adalah bisnis energi panas bumi (geothermal), setelah 2016 Star mengakuisisi bisnis geothermal dari Chevron. Bisnis ini ada di Jawa Barat, yang merupakan proyek Pertamina Geothermal (PGEO). Star Energy adalah kontraktor proyek tersebut dan memiliki pembangkit listrik yang mendapat supply dari proyek tersebut.

BRPT sempat mencoba bisnis kelapa sawit - yang kemudian dijual pada 2019 - dan bisnis properti. Bisnis properti sebagian besar menopang aset aset dari BRPT dan TPIA, meski mereka berencana mengembangkan proyek lain yang mandiri. Sisanya berupa penunjang bisnis yang lain. Bagaimana bisnis perkayuan? BRPT sudah keluar dari bisnis tersebut, melalui penjualan usaha ke pihak teraffiliasi dan pengecilan size bisnis, meski bisnis ini sebenarnya sudah berhenti sejak 2005 lalu.

Sampai sini, sebenarnya masuk akal kinerja harga sahamnya BRPT dan TPIA naik signifikan di 2016-2019. Namun, kinerja TPIA jauh lebih bagus dari BRPT. Selain mencapai skala ekonomi dan tidak menopang bisnis rugi, adanya investor strategis di TPIA (SCG Thailand dan TOP Investment) dan rights issue mengakibatkan kepentingan non pengendali TPIA lebih tinggi. Hasilnya, laba entitas induk BRPT terlihat “kecil”. Porsi saham BRPT saat ini sekitar 45%.

Namun, ada hal yang menurut saya cukup mengganjal. Meski Prajogo Pangestu terlihat beberapa kali rutin membeli saham BRPT, namun aksi korporasi grup ini di masa lalu bisa jadi alasan lain atraksi harga tersebut. Pada 2017, manajemen BRPT memutuskan stocksplit, kemudian 2018 rights issue dan di 2019 kembali stocksplit. TPIA pun juga demikian. Hmmm….

Topik serupa bisa search "Angka" di search profil Stockbit ini.

Bacaan menarik lain soal saham, investasi dan keuangan lainnya bisa follow Instagram, Tiktok dan Youtube @plbkrinaliando.

$IHSG $BRPT $TPIA $ELSA $MEDC

Read more...

1/5

testestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy