Carbon Trading.. The Next Investors’ Darling?
=== Setting the ground rules ===
Carbon Trading alias Perdagangan Karbon memang bukan lagi menjadi wacana di Indonesia. Hal ini dibuktikan dari keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara resmi meluncurkan aturan tentang Perdagangan Karbon Subsektor Tenaga Listrik (PLN) per tanggal 22 Februari 2023.
Hal tersebut saya yakini merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 16 Tahun 2022 tentang persetujuan teknis perdagangan karbon PLTU.
Tak berhenti sampai di situ, Pemerintah juga serius mempersiapkan infrastruktur pendukung Carbon Trading dengan menggandeng ID Survey. ID Survey ditunjuk sebagai brand identity dari holding BUMN Jasa Survey untuk terlibat dalam keberhasilan "Pelaksanaan Program Dekarbonisasi dan Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon di BUMN". Setidaknya Carbon Trading tak hanya berujung pada rencana manis di atas kertas saja.
Well, singkatnya perdagangan karbon ini akan terbagi dalam 3 tahap :
--> Tahap Pertama : diikuti oleh 99 unit PLTU batu bara dengan total kapasitas terpasang sebesar 33.569 MW.
--> Tahap Kedua : diestimasikan berlangsung pada 2025 - 2027
--> Tahap Ketiga :diestimasikan berlangsung pada 2028-2030
Menariknya adalah pada tahap kedua dan ketiga akan ada lebih banyak industri yang terlibat di dalamnya, dan tidak hanya sebatas PLN saja.
=== One Tool, Two Goals ===
Perdagangan karbon sejatinya tidak hanya berfokus pada upaya mengelimasi emisi, namun juga menjadi ‘ladang peluang’ yang baru bagi beberapa emiten di sektor tertentu untuk meraup pendapatan.
Menurut Menteri ESDM, Arifin Tasrif, karbon memiliki nilai ekonomis. Sederhanya mekanisme akan berupa :
1. Ada batasan (cap) tentang berapa batas emisi yang boleh dikeluarkan selama periode tertentu.
2. Jika suatu perusahaan melebihi batas emisi tersebut, maka harus membeli kredit karbon.
3. Sebaliknya hal ini dapat menjadi pendapatan bagi perusahaan yang mengeluarkan emisi lebih kecil karena bisa menjual kredit karbon.
Well, berbicara tentang seberapa banyak emisi yang ada saat ini, saya mengutip data dari Kementerian ESDM yang menyampaikan bahwa jumlahnya mencapai 587 juta ton CO2e per 2020.
Dan jika berkaca dari studi McKinsey tentang seberapa ‘rapi’ nya roadmap untuk mencapai Net Zero Emission (NZE), maka saya cukup yakin bahwa Carbon Trading bukan hanya sekadar katalis jangka pendek.
Namun, jika ditilik dari segi harga karbon, sejauh ini belum ada aturan baku dari Kementerian ESDM dan akan diserahkan pada mekanisme pasar (Supply & Demand). Jika saya kutip lagi dari studi oleh Kementerian ESDM, harga karbon bisa berkisar USD2–18/ton alias Rp 30.000 - Rp 270.000/ton (asumsi kurs Rp 15.000/USD).
=== Calling out the potential names ===
Berbicara tentang carbon trading, salah satu bisnis yang berpotensi diuntungkan adalah dari sektor kehutanan. Hal ini seperti diungkap oleh Direktur Umum Perhutani, Wahyu Kuncoro bahwa Perhutani memiliki potensi besar sebagai penyerap karbon.
Pasalnya, kemampuan kawasan hutan dalam menyerap emisi lebih besar dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan. Hal ini membuat emiten yang bergerak di bidang kehutanan berpotensi untuk memperoleh penghasilan dari penjualan kredit karbon.
Terkait dengan pernyataan menarik tersebut, saya kemudian mencoba mengulik lagi beberapa nama emiten yang memang bergelut di bidang kehutanan ataupun yang memiliki subsidiaries di bidang perkayuan yakni : $SULI, $WOOD, $IFII, $SINI dan mungkin masih ada yang lainnya (teman-teman bisa bantu tambahkan).
=== My initial checking about SULI ===
SULI awalnya bernama PT Sumalindo Lestari Jaya dan berganti nama menjadi PT SLJ Global pada 18 Desember 2012. Emiten ini pada awalnya dimiliki oleh Astra Group (ASII) lalu diakuisisi oleh Sampoerna Group pada 2002 melalui PT Sumber Graha Sejahtera (SGS).
Bisnis utama SULI berhubungan dengan sektor kehutanan dan industri perkayuan yakni dengan mengelola 6 area hutan alam seluas 840k ha dengan rincian yang telah saya cantumkan di gambar.
Selain itu, SULI juga memiliki segmen bisnis lain yang bergerak di bidang produksi kayu lapis (plywood) dengan kapasitas terpasang 190k m3/tahun serta fibreboard (MDF) dengan kapasitas 200k m3/tahun. Beberapa produk yang dihasilkan, yakni :
--> Floor base
--> Laminated Veneer Lumber
--> Laminated Veneer Board
--> Film Face
--> Overlay Kertas
Walaupun mengusung nama 'hutan', namun sejatinya segmen plywood inilah yang sebenarnya menopang pendapatan emiten sejak 2014 hingga 9M22 dengan rata-rata 90% dan sisanya berasal dari kayu bulat yakni sekitar 7%. Tak berhenti sampai di situ, SULI lebih banyak melakukan ekspor atas kayu lapis hingga 75% dan AS menjadi negara destinasi utama untuk ekspor.
=== The beginning of the end ===
Salah satu tantangan yang sempat dihadapi oleh SULI adalah utang yang tinggi sehingga beban bunga membengkak dan bahkan sempat membuat SULI berada dalam status ekuitas negatif. Namun hal tersebut telah teratasi dengan adanya divestasi bisnis MDF dan PLTU yang bernama PT Kalimantan Powerindo.
Hal tersebut membuat utang jangka panjang SULI turun dari USD 70 juta (2013) ke USD 2 juta (9M22). Ekuitas SULI juga beranjak ke zona positif yakni USD 3 juta (9M22), sebelumnya -USD14 juta (9M21). Lantas apakah ini temporer?
Pagi ini, saya mendapati bahwa SULI telah mempublikasikan laporan keuangannya di surat kabar dengan hasil yang cukup memuaskan, walaupun memang masih ada beberapa hal yang tetap tampak kurang sehat. Highlight sekilas telah saya lampirkan di gambar.
1. Pendapatan melandai 18%YoY yang saya estimasikan karena penurunan penjualan ekspor ke US (economy slowing down dan tercermin dari housing sales US yang juga turun).
2. Laba bersih melonjak signifikan 5x lipat dari USD 3.4mn menjadi USD 15.2mn ditopang oleh penurunan COGS dan pendapatan operasional lainnya.
Dalam hal ini, saya asumsikan bahwa penurunan COGS ini berasal dari penghematan atas operasional yang dihentikan. Sementara itu untuk pendapatan operasional lainnya, mari kita nantikan ketika LK audited telah dirilis di BEI ataupun website emiten.
3. Utang jk pendek dan panjang konsisten melandai dan ekuitas sejak kuartal III/2022 telah konsisten kembali ke zona positif (sebelumnya emiten bertato ekuitas negatif).
Well, dengan berakhirnya 2022 menurut saya ini menjadi titik awal perjalanan perusahaan dengan bisnis yang lebih ramping dan kondisi keuangan yang lebih sehat. Apalagi emiten juga berencana akan mengajukan sertifikat untuk bisa mendapatkan hak ikut serta dalam carbon trading. Let's see how far it goes.. 😉
1/5