Serba-serbi IPO $PGEO (Pertamina Geothermal Energy): Overview, Bisnis Model, dan Hubungannya dengan Star Energy-nya Barito Pacific ($BRPT )
Yak, akhirnya 1 dari 4 BUMN yang dirumorkan akan melantai di $IHSG pada tahun 2023 telah resmi mengumumkan IPO-nya. PT Pertamina Geothermal Energy membuka deretan IPO BUMN ini pada 31 Januari 2023 pukul 23.00 dengan ticker $PGEO, mendahului 3 temannya [Pertamina Hulu Energy (PHE), Pupuk Kalimantan Timur (PKT), dan Palm Co.]. Banyak hal menarik yang bisa diulas dari IPO PGEO, mulai dari besarnya potensi dana yang akan didapatkan, bisnis model PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) yang berkaitan dengan Renewable Energy, hingga kaitannya dengan Star Energy milik Barito Pacific.
Untuk membantu pemahaman investor, saya akan bagi tulisan ini menjadi 5 bagian informasi:
1. Overview IPO
2. Bisnis model Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan konsekuensinya
3. Perspektif valuasi dilihat dari transaksi Star Energy
4. Kinerja keuangan dan operasional perusahaan
5. Prospek dan risiko di masa mendatang
1. Overview IPO
Jumlah saham ditawarkan : 103,5 juta lot (25%)
Harga penawaran : Rp820-Rp945
Potensi pendanaan : Rp8,49 T – Rp9,78 T
Penawaran awal* : 01-09 Februari 2023
Penawaran umum* : 20-22 Februari 2023
Tanggal pencatatan* : 24 Februari 2023
*perkiraan masa pelaksanaan berdasarkan prospektus awal
Valuasi $PGEO (Izin nyomot dari Unboxing IPO Stockbit ya, hehehe)
Berdasarkan laporan keuangan 9M22 (TTM)*
Potensi Market Cap : Rp33,95 T – Rp39,12 T
P/S : 6,0x - 6,9x
P/E : 17,4x - 20,0x
P/BV** : 1,20x - 1,33x
*Menggunakan asumsi kurs Rp15.000 per dolar AS
**Perhitungan book value sudah memperhitungkan cash dari IPO
Dengan potensi pendanaan yang didapat sebesar 8,49 hingga 9,78 triliun Rupiah, PGEO akan menempati posisi ke-5 sebagai emiten dengan dana hasil IPO terbesar di BEI dengan rincian sebagai berikut:
1. BUKA :21,9 T
2. MTEL : 18,8 T
3. GOTO : 13,7 T
4. ADRO : 12,2 T
5. PGEO : 8,5-9,8 T
6. BELI : 8,0 T
Terus dananya buat apa?
• 85% akan digunakan sebagai capital expenditure (belanja modal) untuk penambahan kapasitas di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) untuk memenuhi permintaan tambahan dari pelanggan existing dan pelanggan baru.
• 15% akan digunakan sebagai pembayaran sebagian Facilities Agreement antara Perseroan dengan Mandated Lead Arrangers, Kreditur Sindikasi Awal, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebagai Facility Agent
Bahasanya agak sedikit rumit ya, jadi saya coba jelaskan lebih sederhana.
1.Belanja Modal
Saat ini, PGEO kan punya total 13 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan 8 dioperasikan sendiri, 4 dikontrakareakan, dan 1 dimiliki anak usaha. Dari 8 area operasi ini, masing-masing area operasi sudah punya pembangkit listrik sendiri dengan rincian:
1. Kamojang : 235 MW
2. Lahendong : 120 MW
3. Ulubelu : 220 MW
4. Karaha : 30 MW
5. Lumut Balai : 55 MW
6. Sibayak : 12 MW (namun tidak beroperasi)
7. Sungai Penuh : belum diutilisasi
8. Hululais : belum diutilisasi
Nah, 85% dana IPO (sekitar ~7,2 – 8,3 triliun Rupiah) ini akan digunakan untuk membangun dan menambah kapasitas pembangkit listrik PGEO. 2 area operasi yang sudah pasti akan dikembangkan oleh Perseroan sendiri meliputi:
1. Lumut Balai : 55 MW (+55 MW) = 110 MW
2. Hululais : belum diutilisasi (+110 MW) = 110 MW
Pengembangan sisanya masih menunggu proses feasibility study (studi kelayakan) dan kesepakatan awal dengan kemungkinan dapat dilakukan langsung oleh Perseroan atau anak perusahaan (dalam bentuk pinjaman/setoran modal). PGEO sendiri belum merincikan berapa dana yang akan digunakan untuk membangun masing-masing area operasi, yang mana ini sangat dipahami karena masih bergantung kepada total dana yang didapat dan proses pengerjaan (mirip konstruksi yang budget-nya tergantung kesulitan proyek, lama pengerjaan, dan lain-lain).
2. Pembayaran sebagian Facilities Agreement
Untuk bagian ini, persentasenya kemungkinan dapat berubah tergantung total dana yang didapat karena informasi yang sudah pasti adalah pembayarannya sebesar 100 juta USD (1,5 triliun Rupiah, asumsi kurs USD/IDR: 15.000).
Rinciannya gimana sih?
• Pinjaman Fasilitas A akan dibayarkan 25 juta USD sehingga akan total pinjaman akan berkurang dari 150 juta USD jadi 125 juta USD.
• Pinjaman Fasilitas B akan dibayarkan 75 juta USD sehingga total pinjaman akan berkurang dari 450 juta USD jadi 375 juta USD.
Nah, pembayaran sebagian pinjaman ini akan dibantu Bank Mandiri karena pinjamannya bersifat sindikasi (melibatkan beberapa bank). Sederhananya, PGEO bayar ke Bank Mandiri dan nanti Bank Mandiri akan memecah pembayarannya ke masing-masing bank sesuai dengan porsi kredit yang diberikan banknya.
2. Bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
Bagi yang sudah membaca prospektus Pertamina Geothermal Energy, mungkin beberapa orang akan merasa kesulitan dalam memahami cara kerja Bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) ini karena banyaknya istilah teknis yang digunakan. Saya akan coba jelaskan sistem ini secara sederhana.
Sederhananya, PLTP memanfaatkan sumber panas bawah tanah dari magma untuk membuat air tanah menjadi panas. Air yang panas ini akan berubah menjadi uap air (seperti kayak merebus mie) dan uap ini yang akan digunakan untuk memutar turbin. Turbin memutar generator, yang akhirnya akan menghasilkan listrik.
Lalu, apa konsekuensinya dengan skema seperti ini?
1. Tidak memerlukan bahan bakar namun dengan konsekuensi memiliki natural decline
Karena panas berasal dari bumi (yang mana gratis, gak perlu bayar ke bumi 😂), jadinya tidak akan ada biaya bahan bakar (seperti batubara/gas di pembangkit listrik lain). Namun, konsekuensinya adalah panasnya harus diolah langsung di tempat, kalau enggak uap yang dihasilkan akan dingin lagi dan tekanannya rendah. Kalau uapnya rendah, maka akan menurunkan efektivitas turbin dan listrik yang dihasilkan jadinya sedikit.
Permasalahan yang juga muncul adalah natural decline, yakni alamnya bermasalah. Salah satunya adalah ketika tidak ada air tanah yang bisa dijadikan uap. Semakin banyak air yang diuapkan, semakin banyak juga air tanah yang akan diuapkan. Solusinya gimana? Sistemnya dibikin close loop dimana uap yang dihasilkan diinjeksi kembali ke dalam bumi. Masalah lain juga muncul dari buminya yang tidak panas lagi. Solusinya adalah proses make-up well di mana perusahaan membor sumur baru untuk memanfaatkan panas buminya (panasnya dikeluarkan ke permukaan bumi agar bisa dimanfaatkan).
2. Capex besar sehingga butuh banyak pendanaan dan berakibat pada masing-masing bagian dikerjakan pihak berbeda
Kalau dilihat, jadinya ada 2 proses besar dalam Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), proses pembuatan gas (termasuk infrastruktur closed loop) dan proses pembuatan listrik. Terasa sederhana ketika ditulis, tapi sangat sulit dalam realitanya. Diperlukan investasi awal yang sangat besar (hingga triliunan Rupiah) untuk masing-masing bagian sehingga dalam prosesnya Pertamina Geothermal Energy bekerja sama dengan beberapa pihak untuk membangun infrastruktur ini.
Sebagian Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dikerjakan seluruhnya oleh PGEO, mulai dari pembuatan gas (disebut operator sumur) hingga pembuatan listrik (disebut operator pembangkit listrik) seperti di lokasi Karaha dan Lumut Balai. Transaksi ini diatur dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) karena produk akhir yang dijual perseroan adalah listrik. Namun, di banyak lokasi, PGEO bekerja sama dengan PLN (melalui PLN atau anak usaha PLN, Indonesia Power) di mana PGEO berperan sebagai pembuat gas dan PLN sebagai pembuat listrik. Transaksi ini diatur dalam Perjanjian Jual Beli Uap (PJBU) karena produk akhir yang dijual perseroan adalah uap.
Pada kasus tertentu, seluruh proses dikerjakan oleh kontraktor (pihak ketiga) melalui skema kontrak operasi Bersama (KOB). Sederhananya, kontraktor meminta izin untuk mengerjakan area operasi tersebut dengan imbalan memberikan sebagian laba bersihnya kepada PGEO.
Kejadian ini dilakukan dengan Star Energy, anak usaha Barito Pacific (BRPT), pada area operasi Darajat, Salak, dan Wayang Windu. Mengutip catatan kaki lapkeu 9M22 poin 2b,
“Berdasarkan KOB, Grup berhak mendapatkan production allowances dari kontraktor KOB yang besarnya 2,66% untuk KOB Darajat dan 4% untuk KOB Salak, Wayang Windu, Sarulla, dan Bedugul, dari laba operasi bersih tahunan kontraktor KOB yang dihitung berdasarkan KOB.”
Proyeknya dikerjakan oleh Star Energy dan Star Energy membayar sekitar 3% dari laba operasi bersih ke PGEO. Lalu, pertanyaan lanjutnya dikontrak sampai kapan? Per tulisan ini dibuat, jangka waktu KOB berlaku hingga tahun 2039-2041 untuk seluruh proyek. Namun, perjanjian ini dapat diperpanjang lagi sebagai Izin Panas Bumi oleh Menteri ESDM. Total kapasitas KOB ini yang dikerjakan oleh kontraktor ini dihitung sebagai joint operating contract sebesar 1.205 MW. Angka JOC sebesar 1.205 MW ini berasal dari 875 MW Star Energy dan 330 MW Sarulla Operations.
3. Capex besar untuk aset tetap berakibat pada tingginya depresiasi, sekaligus EBITDA margin yang tinggi
Kombinasi capex yang besar untuk aset tetap tanpa adanya biaya bahan bakar membuat komposisi beban pokok pendapatan didominasi oleh beban penyusutan (9M22: 66% total beban pokok). Karakteristik bisnis model ini membuat perusahaan menawarkan EBITDA margin yang tinggi, berkisar di angka 79-85%. Hal ini juga ditambah dengan karakteristik bisnis model perusahaan pembangkit listrik yang terhitung stabil karena listrik yang dihasilkan perusahaan wajib diambil oleh PLN dengan skema take-or-pay. Namun, perjanjian ini juga membuat PLN dapat menentukan harga jual listriknya yang membuat perusahaan tidak dapat meningkatkan margin laba mereka.
Soal valuasi, apakah murah?
3. Perspektif valuasi dilihat dari transaksi Star Energi
Jawabannya, relatif. bila dilihat dari kacamata valuasi P/BV 1,2-1,33 x bisa jadi terasa cukup murah. Untuk mendapatkan gambaran jelasnya, IPO ini bisa juga dibandingkan dengan transaksi yang melibatkan PLTP, yakni Green Era Pte Ltd yang menambah kepemilikan Star Energy Group Holdings Pte. Ltd., anak usaha Barito Pacific ($BRPT), pada 8 Maret 2022. Dengan menggunakan informasi yang bisa didapat secara publik, kita mengetahui bahwa
Pembelian 33% Star Energy Group Holdings oleh Green Era
• Nilai transaksi: 440 juta USD
• Total ekuitas Star Energy Group Holdings (per 2021) : 982,7 juta USD
• Price/Book Value: 1,34x
IPO 25% Pertamina Geothermal Energy
• Nilai transaksi: 565,8-652 juta USD
• Total ekuitas Pertamina Geothermal Energy (per 2021): 1.229 juta USD
• Price/Book Value: 1,23x-1,49x
Dengan melihat perbandingan transaksi ini, IPO PGEO ini ditransaksikan pada valuasi PBV yang cukup wajar karena transaksi sebelumnya ditransaksikan pada nilai yang berada di rentang tersebut.
Namun, dari sisi P/E dan P/S (tabeL di gambar), valuasi PGEO ditransaksikan pada nilai yang relatif lebih mahal. Mahalnya nilai transaksi PGEO atau murahnya nilai transaksi Star Energy dapat dipengaruhi oleh 2 hal:
1. PGEO merupakan pemegang hak panas bumi terbesar di Indonesia, termasuk hak atas area operasi panas bumi Star Energy
Dalam kontraknya, Star Energy bertindak sebagai kontraktor kepada PGEO yang artinya hak operasi tetap dipegang oleh Pertamina Geothermal Energy. Hal ini menjustifikasi nilai premium yang dimiliki oleh PGEO karena PGEO mendapat bagi hasil keuntungan dari KOB dengan Star Energy.
2. Rendahnya Transaksi Green Era dengan Star Energy Group Holdings dapat dipengaruhi Grup Pangestu
Pembelian Star Energy Group Holdings dari BCPG Public Company Limited ini dilakukan oleh Green Era, perusahaan yang masih terafiliasi dengan Grup Pangestu. Sebelum transaksi ini dilakukan, 66,67% Star Energy Group Holdings sudah dimiliki oleh Barito Pacific (BRPT), perusahaan yang dimiliki Prajogo Pangestu. Posisi Star Energy Group Holdings yang sudah mayoritas dikuasai Grup Pangestu dapat membuat transaksi dilakukan pada harga yang lebih rendah dibandingkan harga pasar.
4. Kinerja keuangan dan operasional perusahaan
Kalau dilihat, laporan keuangan PGEO seperti laporan keuangan pembangkit listrik lainnya. Mayoritas aset diisi oleh aset tetap dengan liabilitas yang berasal dari pinjaman bank. Pendapatan relatif stabil dengan margin yang cukup besar karena mayoritas transaksi dilakukan melalui skema PJBU/PJBL dengan PLN. Akan tetapi, terdapat beberapa hal menarik yang bisa dikulik dari laporan keuangan ini.
1. Peningkatan pendapatan lain-lain 9M22 diakibatkan oleh tidak adanya nilai penurunan atas nilai aset tetap. Hal ini juga berakibat pada kenaikan laba bersih di 9M22.
2. Pendapatan usaha turun jauh pada tahun 2020 karena perubahan PSAK 72 yang mengubah hal penilaian kembali atas transaksi pass-through dengan kontraktor KOB.
3. Sejak 2020-2022, margin laba bruto (GPM) perusahaan relatif stabil di kisaran 50-57% dengan margin laba bersih (NPM) yang berada di rentang 18-38%.
4. Debt-to-Equity Ratio perusahaan berada di kisaran 0,9-1,5x dengan tren yang terus mengalami penurunan sejak 2020 hingga 2022.
5. EBITDA margin perusahaan stabil direntang 78-85% dikarenakan mayoritas beban pokok perseroan berasal dari depresiasi.
Dari sisi operasional, juga terdapat beberapa hal menarik yang perlu dicermati diantaranya:
1. Produksi listrik masing-masing area operasi tidak selalu sejalan dengan laba bersih yang dihasilkan perseroan. Sebagai contoh, produksi listrik PLTP Kamojang (884.495 MWh) relatif mirip dengan produksi listrik Ulubelu (794.886) namun laba bersih yang dihasilkan PLTP Kamojang (28,6 juta USD) lebih tinggi dibandingkan PLTP Ulubelu (8,8 juta USD). Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan harga jual beli listrik dan efisiensi pembangkit listrik di masing-masing area operasi.
2. Hal ini juga berakibat pada komposisi margin laba perusahaan yang saat ini masih didominasi oleh 3 PLTP yakni PLTP Kamojang, PLTP Ulubelu, dan PLTP Lahendong.
3. Availabilty factor (jumlah jam PLTP beroperasi/jumlah jam dalam 1 periode) berada di agnka 92-100% yang mengindikasikan PLTP merupakan pembangkit listrik yang efisien tanpa perlu maintenance yang terlalu banyak
4. Capacity factor (produksi actual/estimasi produksi menggunakan asumsi kapasitas penuh) yang berada di level 80-96% menunjukkan bahwa setiap pembangkit listrik telah befungsi pada kapasitas maksimum.
5.Prospek dan risiko di masa mendatang
Seperti perusahaan lainnya, bisnis PLTP dan perusahaan PGEO memiliki prospek dan risiko di masa mendatang yaitu:
1. Pemanfaatan panas bumi yang berlimpah di Indonesia
Letak geografis Indonesia yang berada di “Pacific Ring of Fire” membuat Indonesia dianugerahi potensi panas bumi yang besar (udah kayak pelajaran IPS aja ya 😂). Berdasarkan proyeksi Pemerintah hingga tahun 2020, total estimasi potensi panas bumi Indonesia sebesar sekitar 24 GW merupakan yang terbesar di dunia. Berdasarkan Bank Dunia, potensi panas bumi Indonesia diperkirakan mencakup sekitar 40%dari cadangan sumber daya panas bumi dunia. Dengan hanya sekitar 2,8GW yang beroperasi pada tahun 2022, terdapat potensi yang signifikan untuk eksplorasi lebih lanjut dan pertumbuhan organik. Total kapasitas panas bumi Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat dari sekitar 2,8GW pada tahun 2022 menjadi sekitar 6,2GW pada tahun 2030, dengan CAGR sekitar 10,4% dari tahun 2022 hingga 2030.
2. PLTP sebagai renewable energy yang stabil
Salah satu keunggulan dari PLTP sebagai renewable energy adalah kontinuitas dan stabilitasnya yang seperti pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Energi terbarukan lainnya, seperti angin (PLTB) dan matahari (PLTS) memiliki sifat intermittent yang membuatnya hanya dapat memproduksi listrik di waktu tertentu (kalau ada angin dan sinar mataharinya). Bagi pelanggan, stabilitas dan kontinuitas menjadi faktor yang sangat penting (siapa juga yang mau listriknya tiba-tiba nyala dan tiba-tiba mati 🤣) karena sangat berakibat pada produktivitas kegiatan lainnya.
3. Potensi pendapatan tambahan dari carbon trading
Isu carbon trading menjadi salah satu topik yang sedang hangat dibicarakan di dunia renewable energy. Carbon trading merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli yang menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan membeli carbon credit dari perusahaan yang berhasil mengurangi emisi karbon. Bisnis PLTP yang menghasilkan emisi karbon sebesar kurang dari 1% dari jumlah emisi karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara dengan kapasitas yang setara. Hal ini membuat PGEO dapat menjual carbon credit melalui Emission Reduction Purchase Agreement (ERPA)
Melalui paparan Public Expose, PGEO sudah menjual carbon credit sekitar 1,1 juta ton dengan harga 0,7 USD/ton per Juni 2022 sehingga perseroan sudah mendapat tambahan pendapatan sekitar 700 ribu USD (dapat dilihat di pendapatan lain-lain). Katalis peningkatan harga carbon credit yang diperkirakan menjadi 1,5-2 USD/ton dan peningkatan jumlah carbon credit yang bisa dijual membuat perseroan dapat memiliki pendapatan tambahan di masa mendatang.
Risiko
1. Lokasi potensi panas bumi berada di daerah yang jauh dari daerah padat penduduk
Sering kali, potensi panas bumi yang tersedia berada di daerah-daerah jauh dari daerah padat penduduk dan memiliki letak geografis yang sulit dijangkau. Karakteristik PLTP yang panasnya harus diolah di tempat membuat diperlukannya investasi awal yang semakin besar untuk infrastruktur transmisi listriknya (mengantarkan listrik yang sudah diproduksi ke daerah padat penduduk).
Lokasi potensi panas bumi yang jauh dari daerah padat penduduk juga memberikan risiko minimnya demand dari listrik yang dihasilkan perseroan. Perseroan meminimalisir risiko ini dengan mengusahakan setiap area operasi berdekatan dengan area padat penduduk sehingga kapasitas pembangkit listrik dapat dimaksimalkan dan listrik yang dihasilkan dapat diserap oleh masyarakat Sebagai contoh, PLTP Kamojang dan Karaha memiliki kota Bandung sebagai daerah padat penduduk, PLTP Lahendong memiliki kota Manado, PLTP Ulubelu memiliki kota Bandar Lampung, dan PLTP Lumut Balai memiliki kota Palembang.
2. Panas bumi mengalami penurunan kinerja
Sumur yang sudah dibor oleh perseroan dapat mengalami penurunan kinerja (natural decline) sehingga jadinya kurang panas dan efisiensi pembangkit tidak lagi maksimal. Salah satu cara perseroan untuk menambah panasnya adalah dengan melakukan proses make-up well (pengeboran sumur tambahan) untuk memastikan perseroan memiliki pasokan uap yang cukup untuk menggerakan pembangkit listrik perseroan. Selain itu, perseroan juga berusaha menjaga panas bumi dengan menjaga sistem close loop pada pembangkit PLTP.
3. Pertumbuhan secara signifikan hanya dapat dilakukan dengan menambah kapasitas pembangkit
Saat ini, ~96% pendapatan perseroan berasal dari grup PLN (PLN dan PT Indonesia Power) dan sisanya berasal dari pembayaran kontraktor KOB atas hak operasi di area operasi perseroan. Selain itu, PLN memiliki pengaruh signifikan atas renegoisasi tarif PJBL dan PJBU mengingat PLN memiliki dan mengoperasikan satu-satunya jaringan listrik di mana listrik didistribusikan di Indonesia. Kontrak take-or-pay PJBU dan PJBL antara perseroan dengan PLN juga sudah pada level `~90% yang berarti PLN sudah menyerap hampir semua tenaga listrik yang diproduksi perseroan. Availability dan capacity factor yang sudah di level 80-100% mengindikasikan bahwa pembangkit listrik perseroan sudah berada pada utilitas maksimum.
Maka dari itu, perseroan sangat bergantung pada penambahan kapasitas pembangkit listrik sebagai sumber pertumbuhan, baik dari area operasi yang sudah ada maupun area operasi baru. Perseroan menargetkan akan menambah kapasitas terpasang sebesar 600 MW hingga tahun 2027 sehingga total kapasitas perseroan akan menjadi 1.272 MW.
Berakhir sudah tulisan yang cukup panjang ini, semoga tulisan ini membantu investor untuk lebih memahami bisnis PLTP dan juga bisnis Pertamina Geothermal Energy. Jadi, pada tertarik beli kah?
Disclaimer: tulisan ini bukan merupakan rekomendasi jual atau beli saham tertentu. Always do your own analysis!
1/10