Sekitar 2011-2012, saya mau pulang sekolah.
Paginya, Ibu saya bilang kalau waktu itu mau jemput saya. Namun, karena handphone saya saat itu mati, saya bingung memberi tahu beliau. Pinjem handphone teman, pada ngga bisa. Kemudian saya cari akal setelah berjalan beberapa langkah. Ketemulah wartel (warung telepon), yang rasa rasanya hanya ada 1 di daerah sekitar sekolah.
Saat itu, wartel itu sepi. Benar benar sepi. Langsung menuju bilik bilik yang tersedia dan menelepon Ibu saya. Hanya sebentar, saya kemudian merogoh kantong untuk membayar penggunaan telepon itu dan bergegas menunggu di tempat yang ditentukan.
Tahun tahun itu, wartel sudah semakin langka. Masyarakat sudah banyak yang memiliki handphone (jaman itu HP Cina dan BlackBerry beneran), sehingga wartel jadi kurang relevan. Sekarang? Nampaknya wartel sudah tidak pernah ada lagi. Setidaknya di Jakarta. Hal yang sama, mulai juga dirasakan oleh warnet (warung internet), yang kebanyakan kini menjadi tempat main game bocah.
=====
Saya terakhir ke warnet itu sekitar 6 tahun lalu. Terakhir cuma buat ngeprint tugas. Setelahnya, saya sudah pindah ke tempat foto kopi yang lebih dekat. Saat itu, memang warnet sudah mulai langka di Jakarta. Padahal, pada periode wartel menghilang, warnet sempat berjaya. Jelas, selain handphone saat itu belum kompatibel 100% dengan internet - baik secara tampilan maupun kecepatan, ngga semua orang punya hape berinternet.
Apalagi di warnet banyak keasyikan lain yang bisa dilakukan, seperti main game hingga aktivitas "lain lain" 馃ぃ Warnet menjamur, seperti halnya wartel di masa lalu. Saya ingat betul betapa mudahnya ketemu warnet ketika saya bolak balik print tugas sekolah dulu. Ketika yang lain malah main game, saya "aneh" sendirian : kerjain tugas. Sampai penjaga warnetnya takjub. Banyak pengalaman yang tak terlupa dengan warnet ini.
Namun, realitas tak bisa ditolak. Wartel menghilang, warnet perlahan-lahan menghilang. Fungsi warnet belakangan hanya bertahan pada bocah bocah main game. Sayangnya, sejak game game makin mudah diakses, ditambah efek pandemi yang membuat warnet sepi - karena dilarang ngumpul ngumpul, napas warnet semakin memendek.
Mungkin warnet masih bertahan, terutama di daerah yang internetnya masih sulit. Hal inilah yang saya temukan ketika pernah melayani customer di Papua by phone. Format warnetnya bukan dalam bentuk bilik bilik seperti di Jakarta atau Jawa, namun berbentuk tempat numpang Wi-Fi. Jadi, si customer ini pasang perangkat Wi-Fi, penduduk sekitar yang mau internetan bisa numpang - tentu bayar, namun masih relatif terjangkau. Format ini, yang di Jakarta kebanyakan ada di fasilitas umum, ternyata efektif disana.
Bisnis mereka berdua mudah tergantikan. Ini karena posisi mereka sebagai middleman (perantara) untuk telepon dan internetan. Asumsinya, kita dulu membutuhkan mereka untuk melakukan hal tersebut, terutama karena dulu teknologinya belum canggih dan tidak semua dari kita punya perangkatnya. Jadi kita numpang ke mereka. Namun, perubahan teknologi menyelesaikan dua masalah tersebut.
Warnet dan wartel tergantikan juga karena bisnis mereka yang itu itu saja. Warnet hanya bergantung pada format numpang internetan, ngegame dan ngeprint. Wartel hanya bergantung pada format numpang teleponan. Dengan format demikian, posisi mereka jadi kurang kompetitif karena hampir semuanya (kecuali print) sudah bisa dilakukan di handphone kita sendiri. Apalagi, capex warnet dan wartel lebih mahal dibandingkan punya handphone. Siapin kios, instalasi jaringan dan billing, bikin meja dan kursi, tambahin AC/kipas angin dan segala printilan lainnya.
Yang tak kalah penting, perubahan teknologi juga mengubah peta bisnis mereka. Teleponan kini sudah bisa lewat apps semacam WA dan Telegram. Mau telepon nasional maupun internasional pun bisa. Ngga harus ke wartel untuk mendapat biaya yang lebih murah kalo mau telepon ke luar negeri. Internetan pun sudah lebih mudah dan servicenya lebih bervariasi dibandingkan jaman dulu.
Dalam siklusnya, adopsi teknologi baru pasti akan lambat di awal. Namun, dengan pengaruh masifnya penetrasi, produksi dan keterkenalan membuat teknologi ini lama lama mudah diadopsi secara mudah dan murah. Faktor kompetisi juga mempengaruhi, sehingga kondisi ini terjadi. Tentu perubahan teknologi ini yang perlu diantisipasi dalam analisis sejumlah bisnis yang terkait dengannya, mulai dari media, telko, teknologi hingga bisnis tradisional seperti manufaktur.
Pada akhirnya, dari warnet dan wartel kita belajar bahwa perubahan itu pasti terjadi, cepat atau lambat. Tak ada yang benar benar bisa menghadang perubahan. Karena itu, bisnis pun juga perlu berubah dengan mengubah perspektif. Alih alih warnet seperti format dulu, misalnya, format ala tempat numpang Wi-Fi seperti cerita customer Papua tadi menjadi satu solusi yang efektif. Selalu ada jalan, kalau kata Gojek.
Bisnis di Sekitar Kita adalah serial postingan terbaru yang membahas tentang berbagai bisnis yang relate dengan kehidupan kebanyakan orang hari ini. Baca postingan lainnya di https://cutt.ly/G0RhGty
Topik mengenai saham, investasi dan bisnis lainnya bisa cek dan follow Instagram dan Tiktok @plbkrinaliando.
$IHSG $TLKM $ISAT $EXCL $FREN
1/2