Volume
Avg volume
Perusahaan berdiri pada tanggal 24 Januari 2000 dengan nama PT Selaras Citra Nusantara Perkasa yang berkedudukan di Kabupaten Bogor. Kegiatan bisnis utama perusahaan adalah Industri Peralatan Listrik Rumah Tangga, Industri Peralatan Electrothermal Rumah Tangga, Industri Peralatan Pemanas dan Non-Listrik Rumah Tangga; dan Perdagangan Grosir Peralatan dan persediaan rumah tangga.
Kisah yg sangat inspiratif mudah2an bisnis saya bisa besar seperti mereka suatu hari nanti mudah2an bisa sampe ribuan karyawan kalo sekarang baru 30 🤭🤭🤭 tapi om Xaverius nursalim founder $SCNP apakah masih ada kerabat dengan sjamsul nursalim founder $MAPI dan $GJTL ?
$SCNP Kapan Mau Bikin MRI Lokal?
Lanjutan dari postingan sebelumnya tentang SCNP di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kalau kita tarik mundur cerita SCNP ke akar sejarahnya, kita akan ketemu dengan satu nama sederhana tapi penuh daya tahan: Toko Kian Sin, berdiri tahun 1940 di jantung Jakarta, dirintis oleh Simon Nursalim—seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang memulai bisnis dari menjual barang pecah belah dan perlengkapan rumah tangga. Nggak ada yang membayangkan toko itu, 80 tahun kemudian, akan menjadi perusahaan publik yang sedang bersiap memproduksi MRI lokal—alat kesehatan canggih yang biasanya cuma bisa dibeli lewat anggaran triliunan dan impor. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Tahun 1978, Simon wafat mendadak. Warisan yang ditinggalkan bukanlah bisnis mapan yang siap diwariskan, tapi tanggung jawab besar kepada anak-anaknya yang masih muda, belum ada yang menginjak usia 30. Tapi di situlah letak benih karakter keluarga Nursalim yang paling menonjol: mereka nggak panik, tapi jalan terus. Enam bersaudara—Xaverius, Hendrik, Richard, Freddy, Willy, dan saudari mereka—bekerja sama, belajar dari nol, dan mulai membangun ulang bisnis keluarga dalam bentuk yang lebih modern.
Langkah pertamanya bukan langsung bikin pabrik. Mereka mulai dengan memperkuat jalur distribusi. Dari toko, mereka berubah jadi importir dan distributor resmi berbagai merek home appliances dari Eropa: Moulinex (Prancis), Rowenta (Jerman), Taurus (Spanyol), hingga Prestige dan La Germania. Lalu, pada 1982, mereka mendapat kepercayaan besar dari Philips untuk menjadi distributor resmi lini consumer lifestyle mereka. Momen ini menjadi titik balik. Pasar elektronik rumah tangga sedang booming di Indonesia, dan keluarga Nursalim jadi salah satu pemain dominan dengan jaringan ribuan toko dan penjualan jutaan unit tiap tahun.
Tapi distribusi punya batas. Biaya cukai yang tinggi bikin produk mereka kalah saing dengan barang selundupan. Maka, Xaverius—yang waktu itu masih muda banget—nekat ambil langkah ekstrem: meyakinkan Philips Belanda untuk produksi langsung di Indonesia. Modalnya? Keyakinan bahwa mereka punya jaringan distribusi kuat, dan pasar Indonesia terlalu besar untuk diabaikan. Tahun 1985, Philips setuju, dan berdirilah pabrik SCNP yang pertama di Jakarta Barat. Mereka mulai merakit mixer dan blender. Lalu pada 1993 pindah ke lahan yang lebih besar di Cakung. Dan puncaknya, tahun 2001, mereka beli lahan seluas 11 hektar di Cileungsi, Bogor. Pabrik ini yang hari ini jadi markas besar SCNP. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dengan fasilitas itu, SCNP nggak cuma produksi Philips. Mereka jadi OEM untuk banyak merek besar lain: Sharp, Oxone, Kels, Kris, hingga Turbo—merek internal mereka sendiri. Mereka punya semua sertifikasi internasional: ISO 9001, ISO 14001, SNI, DEKRA, hingga UL dari Amerika Serikat. Bahkan sebagian produk mereka sudah diekspor ke pasar Malaysia dan AS.
Tapi roda industri berubah. Distribusi mulai goyah, merek asing beralih ke strategi direct entry, dan pasar maklun makin padat. Pada 2024, SCNP menjual merek Turbo ke CKM (yang juga milik keluarga). Itu bukan mundur, tapi semacam konsolidasi. Dan inilah momen ketika SCNP mutusin buat loncat ke sektor baru yang lebih strategis: alat kesehatan.
Dan mereka mulai dengan NIVA—alat deteksi pembuluh darah non-invasif berbasis teknologi photoplethysmography (PPG) dan sensor tekanan darah. Bisa deteksi risiko stroke, kekakuan arteri, komplikasi diabetes, hingga 15 parameter kardiovaskular. Alat ini nggak cuma gimmick, tapi benar-benar sudah dapat izin edar dari Kemenkes, sertifikasi ISO 13485, dan TKDN sebesar 42,33%. Pada 2023, NIVA sudah digunakan di berbagai instansi pemerintah seperti Lemhanas dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan.
Masuk 2024–2025, SCNP makin agresif. Mereka tampil di ajang HAIFest, mengadakan CSR skrining jantung gratis untuk 400 warga Cileungsi, dan... menandatangani kerja sama dengan BRIN untuk mengembangkan MRI lokal. Iya, MRI. Dari yang tadinya bikin kipas angin, SCNP sekarang siap memproduksi alat diagnostik canggih yang selama ini hanya bisa didatangkan dari Jerman atau Jepang. Proyek ini melibatkan semua lini riset BRIN—dari elektronika, nanoteknologi, material, sampai energi. SCNP akan jadi pelaksana hilir: produksi massal MRI dalam negeri.
Dan dari sisi struktur, SCNP tetap dijaga rapat oleh keluarga. Lebih dari 80% saham dipegang oleh keluarga Nursalim, baik lewat PT Sena Dwimakmur (45%), PT Generasi Dua Sukses (26,67%), maupun nama-nama individu seperti Xaverius, Hendrik, dan adik-adiknya masing-masing 1,67%. Tidak ada ipar, menantu, atau orang luar. Bahkan anak-cucu pun baru boleh masuk jika menggantikan ayahnya, dan cuma di posisi komisaris. Prinsipnya: stabilitas di atas segalanya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sempat ada investor asing masuk: Albula Investment Fund Ltd, fund asal Mauritius. Mereka beli 12,46% saham di 2023, tapi keluar total per April 2025. Entah karena sudah cuan, atau karena kaget lihat pabrik blender nyebur ke MRI. Yang jelas, setelah mereka keluar, saham publik SCNP naik jadi 12,31% dan kembali jadi perusahaan domestik murni.
Sementara itu, Xaverius Nursalim, tokoh sentral di balik perjalanan panjang SCNP, kini memilih “pensiun aktif”. Sejak 2022, ia menjabat sebagai Direktur Utama PT Puri Sentul Permai Tbk, pemilik Hotel Kedaton 8 $KDTN. Hotel ini berdiri sejak 2011, dengan luas lahan 1,6 hektar dan 71 kamar—dengan target pasar ekspatriat, pegolf, dan profesional industri di kawasan Sentul. Pada 2021, nama hotel diubah dari Sentul 8 menjadi Kedaton 8, dengan tagline "The Hotel with a Heart". Bahkan anaknya, Irene Nursalim, kini juga menjabat sebagai Direktur sejak Mei 2024—sebagai bagian dari regenerasi bisnis ke generasi ketiga.
Hotel Kedaton 8 dan SCNP mungkin kelihatan seperti dua bisnis yang jauh berbeda. Tapi di baliknya, semuanya dijalankan dengan prinsip yang sama: trust, kerja sama keluarga, regenerasi tertib, dan keberanian untuk berubah arah tanpa kehilangan nilai lama. Dan itulah kekuatan keluarga Nursalim—mereka bisa konsisten tanpa stagnan, bisa berubah tanpa ribut, dan bisa naik kelas industri tanpa kehilangan kendali internal. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jadi, hari ini, kalau dengar nama SCNP, jangan cuma ingat kipas angin. Ingat juga alat deteksi jantung, MRI lokal, hotel eksklusif di Sentul, dan keluarga yang tetap solid sejak 1940. Karena kadang, perubahan bukan dimulai dari ide besar—tapi dari keputusan berani untuk nggak stuck di tempat yang nyaman. Dan keluarga Nursalim sudah membuktikannya, 80 tahun berturut-turut.
Entah ada hubungan apa Simon Nursalim dengan Sjamsul Nursalim $GJTL. Mungkin kebetulan mirip saja.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10
$SCNP LK Q1 2025: Maklon Blender
Lanjutan dari postingan sebelumnya tentang Skrining Saham Insider buy di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kalau kita bedah total laporan keuangan dan dokumen Public Expose PT Selaras Citra Nusantara Perkasa Tbk (SCNP) per Maret hingga April 2025, ceritanya adalah transisi yang dalam: dari perusahaan pemilik merek besar lokal menjadi pabrik maklun OEM yang sedang berjuang mempertahankan napas bisnisnya dengan mengandalkan kas besar dan beberapa inisiatif baru yang masih dalam tahap rintisan. SCNP dulunya terkenal sebagai pemilik merek TURBO, produsen alat rumah tangga seperti blender dan setrika yang sangat dikenal di pasar lokal. Tapi sejak 28 Maret 2024, SCNP resmi menjual merek TURBO ke PT Citra Kreasi Makmur (CKM), yang justru adalah klien utama mereka sendiri. Dengan perjanjian lisensi yang akan berakhir 13 Mei 2025, SCNP akan kehilangan hak menggunakan nama TURBO. Artinya, setelah tanggal itu, mereka sepenuhnya hanya menjadi pabrik tanpa merek, hanya sebagai produsen kontrak untuk pihak lain. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kondisi ini menjadi sangat riskan karena CKM menyumbang 27% dari pendapatan SCNP pada kuartal pertama 2025, setara dengan Rp15,22 miliar dari total Rp56,43 miliar. Ketergantungan terhadap satu entitas untuk hampir sepertiga revenue merupakan risiko yang sangat tinggi. CKM kini bukan hanya klien besar, tetapi juga pemilik merek yang dulunya menjadi identitas utama SCNP. Jika sewaktu-waktu CKM memutus kontrak maklun atau mengalihkan produksinya ke pabrik lain, SCNP akan kehilangan salah satu kaki penopang utamanya.
Di luar CKM, SCNP memang masih menyebut memiliki perjanjian lama dengan Philips Electronics Nederland B.V., sebuah kontrak jangka panjang yang sudah ada sejak tahun 2007 dan diperbarui pada 2015. Namun, data menunjukkan bahwa tidak ada penjualan ekspor tercatat di Q1 2025, dan bahkan dalam paparan publik, nama Philips hanya disebut sambil lalu dalam daftar mitra OEM seperti Versuni dan Oxone. Ini menunjukkan bahwa perjanjian dengan Philips hanya tersisa secara formalitas, tanpa kontribusi pendapatan signifikan. Praktis, dalam peta pendapatan saat ini, Philips sudah tidak relevan lagi secara operasional.
Namun SCNP tidak tinggal diam. Mereka mengalihkan fokusnya menjadi produsen OEM murni untuk beberapa brand lain seperti Versuni (Philips), Oxone, Merdis, dan ARRA, meski kontribusinya belum sebanding dengan CKM. Selain itu, mereka mulai masuk ke segmen baru melalui anak usaha PT Selaras Medika Digital Indonesia (SMDI) yang memproduksi dan mendistribusikan alat kesehatan NIVA (Non-Invasive Vascular Analyzer). Produk ini sudah didistribusikan melalui jaringan Kimia Farma Trading (KFTD) dan diharapkan menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan masa depan, apalagi dengan dukungan kebijakan TKDN. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Tapi sampai saat ini, kontribusi alat kesehatan terhadap pendapatan masih minim. Sementara itu, performa bisnis inti di tahun 2024 menunjukkan bahwa SCNP hanya mampu memproduksi 989 ribu unit dari target 1,12 juta unit (sekitar 88% target tercapai). Penjualan mencapai Rp212,38 miliar, laba kotor Rp24,15 miliar (GPM 11,4%), dan laba bersih Rp12,54 miliar (NPM 5,9%). Tapi laba ini sebagian besar berasal dari penjualan merek TURBO ke CKM—artinya bukan laba berulang. Target 2025 justru menunjukkan kenyataan yang lebih realistis: meskipun penjualan ditarget naik ke Rp290,45 miliar, laba bersih hanya ditarget Rp9,38 miliar, dan GPM malah diturunkan ke 9,6%. Manajemen sadar bahwa margin bisnis maklun lebih tipis dan tidak bisa diharapkan untuk menghasilkan profit besar tanpa volume yang sangat besar atau efisiensi luar biasa.
Di kuartal pertama 2025, pendapatan SCNP turun -9,6% secara tahunan, tapi beban pokok juga turun -10,8% menjadi Rp49,75 miliar. Ini menghasilkan gross profit Rp6,69 miliar dan margin kotor naik ke 11,9%. Sayangnya, beban usaha masih lebih besar, sehingga rugi usaha tercatat Rp1,07 miliar. Untungnya, ada dua penyelamat non-operasional: bunga deposito Rp5,96 miliar dan pendapatan sewa properti Rp4,55 miliar, yang menghasilkan laba bersih Rp7,33 miliar. Tapi ini jelas bukan dari kegiatan produksi. Intinya, SCNP mencetak laba bukan karena menjual produk, tapi karena menyewakan bangunan dan menyimpan uang di bank.
Secara neraca, SCNP tampak luar biasa kokoh. Total aset Rp421,28 miliar, kas dan setara kas Rp131,74 miliar, tanpa utang berbunga, dan total liabilitas hanya Rp49,73 miliar. Rasio lancar 6,6x, debt-to-asset ratio hanya 11,8%, dan mereka memiliki posisi net cash Rp82 miliar (setara Rp32,8 per saham). Tapi semua kekuatan ini hanya di atas kertas, karena arus kas operasional negatif Rp6,63 miliar di Q1. Artinya meskipun mereka mencatat laba bersih, uang fisiknya justru keluar lebih banyak dari yang masuk. Lebih buruk lagi, piutang usaha naik tajam 40,5% menjadi Rp54,99 miliar, dan DSO melonjak ke 88 hari. Artinya ada potensi penundaan pembayaran dari pelanggan, termasuk dari CKM. Sementara itu, persediaan turun 12,2% menjadi Rp51,17 miliar, menunjukkan penurunan pembelian atau pelepasan stok lama. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari sisi valuasi, dengan harga saham Rp157, kapitalisasi pasar SCNP adalah Rp392,5 miliar. Dibandingkan dengan ekuitas Rp371,55 miliar, PBV-nya hanya 1,06x, dan PER-nya 13,4x jika memakai EPS tahunan Rp11,72 (disetahunkan dari Q1). Ini membuat SCNP tampak undervalued. Tapi valuasi ini akan cepat kehilangan maknanya jika CKM menghentikan kerja sama, sewa properti berhenti, atau proyek alkes NIVA gagal berkembang. Nilai SCNP yang sekarang terlihat “murah”, bisa berubah menjadi mahal dalam sekejap jika fondasi pendapatannya ambruk.
SCNP sekarang bukan lagi pemilik merek, tapi produsen maklun. Mereka bukan lagi perusahaan yang hidup dari kekuatan brand, tapi dari kontrak jangka pendek, hasil deposito, dan properti yang disewakan. Mereka masih punya keunggulan dalam bentuk kas besar, utang yang nyaris nol, dan aset tetap yang masih produktif. Tapi mereka kehilangan arah komersial yang jelas. Strategi jangka panjang mereka kini bertumpu pada dua hal: mempertahankan kontrak OEM sebanyak mungkin dan mendorong pertumbuhan dari bisnis alat kesehatan. Tapi sampai hal itu benar-benar terbukti berhasil, SCNP akan terus berada di persimpangan antara bertahan lewat hasil warisan, atau mulai melangkah dengan pijakan yang benar-benar baru. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau kita bongkar struktur pemegang saham PT Selaras Citra Nusantara Perkasa Tbk (SCNP) per akhir April 2025, gambaran yang muncul sangat jelas: ini perusahaan keluarga. Kendali utamanya dipegang penuh oleh keluarga Nursalim, lewat dua entitas: PT Sena Dwimakmur yang menggenggam 1,125 miliar saham atau 45%, dan PT Generasi Dua Sukses dengan 666,6 juta saham atau 26,67%. Dua entitas ini saja sudah menguasai 71,67% saham SCNP. Tapi belum selesai di situ—masih ada nama-nama pribadi seperti Freddy, Hendrik, Richard, Xaverius, dan Willy Nursalim yang masing-masing pegang 41,66 juta saham (1,67%). Jadi kalau ditotal, lebih dari 80% saham SCNP ada di lingkaran keluarga, baik atas nama pribadi maupun lewat perusahaan afiliasi.
Yang menarik, dulu pernah ada satu investor asing yang cukup menonjol di daftar pemegang saham SCNP, yaitu Albula Investment Fund Ltd, sebuah fund berbasis di Mauritius. Albula bukan nama asing di pasar Asia—mereka sering masuk ke saham-saham small cap yang undervalued atau lagi turnaround. Berdasarkan laporan, Albula pertama kali muncul sebagai pemegang saham SCNP sekitar pertengahan 2023, dan puncaknya mereka sempat menggenggam 331,35 juta saham, setara 12,46% dari total saham beredar. Tapi posisi ini ternyata gak bertahan lama. Per akhir April 2025, Albula sudah keluar total dari SCNP. Proses keluarnya dilakukan bertahap sejak awal 2024, dan sisa saham terakhirnya dikonversi jadi saham publik pada Maret 2024. Jadi praktis, mereka hanya bertahan kurang dari dua tahun di dalam buku saham SCNP.
Kehadiran Albula waktu itu sempat jadi sorotan karena mereka dikenal agresif dan oportunistik—masuk cepat, keluar juga gak pakai babibu kalau sudah merasa cukup. Nah, keluarnya Albula bisa ditafsirkan dua arah: bisa jadi mereka sudah puas ambil untung dari kenaikan harga, atau bisa juga mereka nilai prospek SCNP ke depan—yang makin bergeser jadi pabrik maklun tanpa merek sendiri—sudah tidak lagi sejalan dengan selera risiko mereka. Apapun alasannya, fakta bahwa investor asing seperti Albula memilih keluar tentu jadi bahan pertimbangan tambahan buat investor ritel yang masih mempertimbangkan masuk.
Setelah Albula keluar, porsi saham publik otomatis naik. Free float kini berada di 12,31%, atau sekitar 307 juta lembar saham, naik dari sebelumnya hanya 7,54%. Jumlah investor publik juga naik tipis jadi 1.305 pemegang saham. Selain itu, SCNP juga punya 192,33 juta saham treasury (7,69%) hasil buyback yang mereka lakukan. Jadi total saham yang beredar tetap 2,5 miliar, tapi dengan peta yang sekarang jauh lebih terkonsolidasi secara domestik. Tidak ada lagi investor asing besar, tidak ada lagi pemain institusi global—tinggal keluarga Nursalim dan ritel lokal.
Intinya, SCNP hari ini adalah perusahaan keluarga yang masih solid dari sisi kendali, tapi sudah gak lagi menarik bagi investor asing besar seperti Albula. Kepergian Albula menunjukkan bahwa saham ini sekarang sepenuhnya didominasi oleh pemegang domestik, dan arah strategis perusahaan sepenuhnya berada di tangan keluarga pengendali. Buat investor yang masuk, penting untuk sadar bahwa kamu hanya ikut naik perahu—karena yang megang kemudi dari awal sampai akhir, tetap nama yang sama.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10
News Update
👉 Sesi I IHSG ditutup 0,38% ke level 6,659.
👉 Pengembang MeiKarta akan ganti rugi uang nasabah pembelian unit apartmen.
👉 Mirae Asset Sekuritas turunkan target IHSG tahun ini dari 8.000 menjadi 6.900.
👉 $UNVR bukukan laba bersih Rp1,23T di Kuartal I/2025, turun 14,57% secara yoy.
👉 $SCNP infokan telah melaksanakan Buyback 192.334.900 saham Perusahaannya di Rp156.
👉 Kembangkan usaha entitas anak, BRPT melakukan transaksi afiliasi senilai Rp90M.
👉 $BTPN akan membagikan deviden sebesar Rp52,84614/saham.
👉 DFAM infokan rencana transaksi afiliasi dan Material Rp40M ke Entitas anak.
$SCNP 22 Apr 25
Shareholder : SELARAS CITRA NUSANTARA PERKASA TBK.
Type : Local
Bought : +64,064,000 (+2.56%)
Current : 192,334,900 (7.69%)
Previous : 128,270,900 (5.13%)
$SCNP 17 Apr 25
Shareholder : Albula Investment Fund
Type : Foreign
Sold : -64,154,500 (-2.57%)
Current : 183,241,000 (7.33%)
Previous : 247,395,500 (9.9%)
$SCNP 17 Apr 25
Shareholder : SELARAS CITRA NUSANTARA PERKASA TBK.
Type : Local
Bought : +128,270,900 (+5.13%)
Current : 128,270,900 (5.13%)
Previous : 0 (0%)
$SCNP 15 Apr 25
Shareholder : Albula Investment Fund
Type : Foreign
Sold : -64,154,500 (-2.56%)
Current : 247,395,500 (9.9%)
Previous : 311,550,000 (12.46%)