Volume
Avg volume
PT. Royal Prima Tbk (PRIM) bergerak di bidang layanan kesehatan yang terdiri dari pengadaan jasa rumah sakit, poliklinik, balai pengobatan, rumah sakit bersalin, serta rumah sakit spesialis. Royal Prima didirikan pada tahun 2013 oleh Dr. I Nyoman Enrich Lister. Saat ini, Perusahaan mengoperasikan 2 (dua) rumah sakit terbesar di Sumatera, yaitu Royal Prima Medan (RPM) dan Rumah Sakit Royal Prima Jambi (RPJ).
Yg pingin beli $PRIM udah hilang di telan saham saham lain yang murah meriah. biarpun di trigger buy naik 2 sampai 4 tik. bye bye $PRIM. Salam zombie.
@skydrugz27 $PRIM mungkin hanya buat jadi sapi perah aja om sepertinya, untuk mengembangkan perusahan tertutup lainnya.
something fishy, maklum family business... mungkin tanah yg dibeli juga "milik" dari afiliasi pengendali $PRIM juga... dan ngga make sense 2020-2024 masih belum beres juga surat tanah nya... ini 100 M loh bukan 100 jt...
Jika Uang Muka 100 Milyar $PRIM Dibelikan SBN
PRIM seolah sedang menyembunyikan lubang besar di tengah laporan keuangannya, dan lubang itu bernama uang muka pembelian tanah Rp100 miliar. Sudah 4 tahun—sejak Desember 2020 hingga Desember 2024—uang ini duduk manis dalam neraca sebagai “aset tidak lancar lainnya”, tanpa ada perkembangan berarti. Tanah yang dibeli seluas 79.057 m² di Desa Sampali, Deli Serdang, dibayar ke individu bernama Djurpian, dengan harga total Rp130 miliar. Yang sudah dibayar Rp100 miliar, sisanya Rp30 miliar masih menunggu akta jual beli (AJB) yang gak jelas kapan akan dilakukan. Aneh? Iya. Karena selama 4 tahun, uang Rp100 miliar itu gak gerak sedikit pun. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Nilainya juga bikin alis terangkat: Rp1,64 juta/m², jelas di atas harga pasar wilayah suburban seperti Sampali, yang biasanya berkisar Rp500–900 ribu/m². Sampai 2024, tanah itu gak juga dikapitalisasi jadi aset tetap, gak menghasilkan revenue, dan gak digunakan untuk operasional. Gak muncul juga dalam rencana pengembangan rumah sakit atau properti. Bahkan gak ada info status legal seperti SHM, IMB, atau fisik pembangunan di atasnya. Alias, uang besar yang “menghilang secara legal” di laporan keuangan.
Sekarang kita bandingkan. PRIM punya kas cuma Rp20,7 miliar, utang usaha ke vendor melonjak ke Rp94,3 miliar, dan total arus kas operasional 2024 hanya Rp47 miliar. Jadi sebenarnya mereka tercekik likuiditas. Tapi anehnya, mereka biarkan uang Rp100 miliar nganggur, tanpa menghasilkan apa-apa. Padahal, kalau uang itu dipakai beli SBN kupon 6%, PRIM bisa dapat Rp5,4 miliar bersih per tahun. Dalam 4 tahun? Total Rp21,6 miliar. Cukup untuk menutup 30% kerugian usaha, atau bahkan memperkuat kas setara 1/4 total posisi cash sekarang. Tapi itu tidak dilakukan.
Lebih parah lagi, saat PRIM justru rugi operasional Rp20,3 miliar, rugi bersih Rp18,42 miliar, dan gross margin turun jadi 24,8%, mereka malah naikkan gaji direksi dan komisaris 46%, sementara tunjangan pascakerja naik hampir 5x lipat. Lalu dari sisi piutang, mereka masih menahan Rp83,35 miliar, dengan lebih dari Rp44,77 miliar sudah lewat 120 hari. Ini dominan dari BPJS dan Kemenkes, dan cadangan kerugiannya? Cuma Rp1,93 miliar. Jadi kamu bisa lihat bagaimana PRIM duduk di atas tumpukan piutang macet, vendor yang belum dibayar, kas tipis, dan proyek ekspansi yang belum menghasilkan apa-apa.
Dan kembali ke uang muka itu—yang kini jelas bukan sekadar kesalahan administratif, tapi jadi indikator kelemahan pengelolaan dana, potensi ketidakjelasan penggunaan kas, dan bahkan bisa memunculkan kecurigaan soal rekayasa struktur aset untuk mempertahankan neraca terlihat “sehat”. Bukan menuduh, tapi sangat masuk akal untuk waspada. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
PRIM punya semua alasan untuk dihargai murah oleh pasar. PBV 0,2x bukan cerminan undervalued, tapi cerminan kepercayaan pasar yang sudah luntur karena ada uang besar yang seharusnya menghasilkan, tapi justru jadi beban diam. Investor bukan cuma ingin tahu PRIM akan bangkit atau tidak, tapi juga berhak tahu: ke mana sebenarnya perginya Rp100 miliar itu? Dan kenapa sampai sekarang belum juga kembali jadi sesuatu yang nyata?
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$SIDO $PRDA
1/2
Aset Uang Muka Beli Tanah $PRIM Yang Tak Kunjung Lunas
Hari ini saya bahas tentang aset uang muka beli tanah di PRIM yang selama bertahun-tahun tidak berubah di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Satu hal yang terus bikin alis naik waktu baca laporan keuangan PRIM adalah pos "uang muka pembelian tanah" sebesar Rp100 miliar yang udah nongkrong manis di neraca sejak akhir 2020, dan sampai akhir 2024, gak bergerak sama sekali. Gak direklasifikasi ke aset tetap, gak ada progres jadi proyek pembangunan, dan gak ada penurunan nilai. Tetap diam seperti patung. Uangnya dibayarkan ke pihak bernama Djurpian untuk tanah seluas 79.057 m² di Desa Sampali, Deli Serdang—area yang lebih cocok disebut pinggiran kota ketimbang kawasan bisnis. Yang bikin geleng-geleng, total harga tanahnya Rp130 miliar, alias Rp1,64 juta per meter persegi. Untuk ukuran daerah pinggiran, angka ini jauh di atas harga pasar normal yang berkisar di Rp500–900 ribu/m². Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau transaksi ini beneran dijalankan dengan rencana pembangunan rumah sakit atau proyek properti, wajar dong, dalam 1-2 tahun udah kelihatan aktivitasnya—mulai dari perubahan ke aset tetap, penambahan fisik bangunan, atau minimal muncul di catatan proyek dalam pengerjaan. Tapi ini? Dari 2020 sampai 2024, proyek itu nggak pernah disebut dalam progres capex, gak masuk aset tetap, dan gak menghasilkan revenue sepeserpun. Bahkan AJB (Akta Jual Beli) yang harusnya menyelesaikan transaksi, gak pernah dikonfirmasi sudah dilakukan atau belum.
Kita bandingkan sama aset lainnya: PRIM punya aset tetap neto sebesar Rp576 miliar yang jelas-jelas digunakan untuk operasional, bisa disusutkan, dan menghasilkan revenue dari rumah sakit aktif seperti Medan, Jambi, dan Marelan. Sementara uang muka Rp100 miliar ini diem begitu aja, tanpa kontribusi apapun ke bisnis. Kalau dibandingkan dengan cash perusahaan yang cuma Rp20,7 miliar, uang muka itu setara hampir 5x lipat dari seluruh kas, dan lebih besar dari seluruh arus kas operasional tahun 2024 yang “hanya” Rp47 miliar. Bahkan utang usaha yang melonjak ke Rp94,3 miliar pada 2024—yang artinya PRIM lagi tunda bayar vendor alat medis—masih lebih kecil dari uang yang mereka kunci di tanah gak produktif ini.
Artinya apa? Uang Rp100 miliar ini tidak bisa diakses saat PRIM butuh bayar vendor, tidak menghasilkan uang, dan secara bisnis tidak efisien. Dan lucunya lagi, meskipun beban meningkat, rugi membengkak, dan cash makin tipis, manajemen tidak melakukan apa pun untuk mencairkan, mengalihkan, atau menjelaskan ke publik bagaimana kelanjutan transaksi tanah ini. Dalam laporan tahunan dan CALK, hanya disebut sebagai "uang muka kepada pihak ketiga"—tanpa rincian siapa notarisnya, status SHM-nya, atau kapan akan direklasifikasi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kita gak bilang ini manipulasi, karena itu wilayah penegak hukum dan auditor. Tapi sebagai pembaca laporan keuangan yang waras, kamu sah untuk sangat curiga. Karena uang Rp100 miliar yang tidak menghasilkan apa-apa selama empat tahun, tidak dijelaskan progresnya, dan harganya di atas pasar, itu bukan sekadar “aset diam”—itu aset yang bisa merusak transparansi keuangan perusahaan. PRIM boleh bilang ini bagian dari ekspansi jangka panjang, tapi investor jelas berhak nanya: "Ekspansi ke mana? Dengan siapa? Dan kenapa selama 4 tahun gak kelihatan batang hidungnya?"
Dan kalau jawabannya tetap tidak ada, ya wajar kalau pasar kasih PRIM PBV 0,2x. Bukan karena pasar bodoh, tapi karena pasar tahu: ada uang besar yang tidak bergerak, dan itu berisiko menggerogoti kepercayaan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$LPKR $PANI
1/3
$PRIM: Semurah Apa?
PRIM, alias PT Royal Prima Tbk, lagi-lagi jadi salah satu saham paling absurd yang bisa kamu temui di papan bursa. Di satu sisi, valuasinya kelihatan kayak diskon cuci gudang—PBV cuma 0,2x, kas masih ada Rp20,7 miliar, tanpa utang berbunga, dan perusahaan ini masih sanggup nyetak arus kas operasional positif Rp47 miliar tahun 2024. Kalau cuma lihat angka itu doang, kamu mungkin mikir, “Wah, ini hidden gem.” Tapi tunggu dulu. Karena di balik angka-angka kelihatannya murah itu, tersimpan tumpukan masalah yang bikin sakit kepala bahkan sebelum kamu sempat beli sahamnya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pertama, mari kita bahas yang bagus dulu biar nggak langsung depresi. PRIM ini punya aset tetap besar, total Rp576 miliar net, dan nggak ditumpangi utang bank. Ekuitasnya masih tebal di Rp962 miliar, dan semua liabilitasnya jangka pendek. Arus kas dari pelanggan naik jadi Rp297 miliar (naik dari Rp240 miliar), artinya revenue yang mereka catat itu beneran masuk ke rekening, bukan cuma angka di kertas. Cash conversion-nya mendekati 100%, dan cash conversion cycle (CCC) turun drastis dari 167 hari jadi 59 hari. Kenapa bisa begitu? Karena mereka tunda bayar ke vendor alat medis sampai DPO-nya meledak ke 153 hari. Iya, ini taktik yang lumayan manjur buat jaga likuiditas jangka pendek.
Mereka juga lagi ekspansi. Capex gede banget, tembus Rp102 miliar—mayoritas buat beli alat medis dan bangun rumah sakit baru. Gaji rata-rata karyawan juga naik 8,5%, jadi sekitar Rp11,1 juta/bulan, mungkin karena beban SDM makin fokus ke dokter dan perawat. PRIM bahkan nambah satu direktur baru di 2024, seolah-olah bersiap jadi rumah sakit yang lebih profesional. Arus kas operasional pun positif, dan proyek bangun guna serah (BOT) senilai Rp186 miliar sedang berjalan. Jadi ya, dari permukaan, kelihatan kayak ada harapan.
Tapi di balik itu semua, risiko yang mereka hadapi brutal. Tahun 2024, PRIM rugi Rp18,42 miliar, naik tajam dari rugi Rp1,77 miliar tahun sebelumnya. Rugi operasional pun makin dalam: dari minus Rp6,6 miliar jadi minus Rp20,3 miliar. Gross margin jeblok dari 28% ke 24,8%, dan operating margin hancur lebur di -6,8%. Pendapatan memang naik 13% jadi Rp299 miliar, tapi beban naik lebih cepat. Tambah parah, tunjangan pascakerja melonjak hampir 5x lipat jadi Rp3,87 miliar, dan PRIM justru menaikkan gaji direksi dan komisaris sebesar 46%, padahal perusahaan lagi berdarah-darah. Ini bikin kamu garuk kepala: perusahaan rugi, tapi bosnya malah naik gaji. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu ada utang usaha. Tahun 2023 cuma Rp25,6 miliar, 2024 langsung meledak jadi Rp94,3 miliar, mayoritas ke vendor alat kesehatan. Itu artinya PRIM ngutang ke pemasok buat beli barang, tapi belum bisa bayar. Persediaan juga makin numpuk, dari Rp54,6 miliar ke Rp68 miliar, tapi revenue nggak tumbuh sebanding. Belum lagi piutang—Rp83,35 miliar, dan 52% di antaranya sudah lewat 120 hari. Ini dominan berasal dari BPJS dan Kemenkes. Masalahnya? BPJS dan Kemenkes itu bayar lambat, bahkan PRIM sendiri ngaku dalam CALK bahwa ini jadi fokus risiko audit utama. Tapi cadangan piutang macetnya? Cuma Rp1,93 miliar. Artinya, manajemen anggap itu masih aman, padahal seharusnya kamu curiga—itu rawan overstatement aset dan bisa jeblok sewaktu-waktu.
Soal likuiditas? Jelas bahaya. Semua utang jatuh tempo dalam 12 bulan, total Rp99 miliar, tapi kas cuma Rp20,7 miliar. Artinya PRIM sekarang hidup dari nafas utang ke vendor, sambil nunggu piutang BPJS cair. Nggak ada fasilitas pinjaman standby, nggak ada rencana konkret cari dana, nggak ada dividen, dan sahamnya stagnan. Kalau BPJS makin lama bayarnya, vendor minta cash, dan proyek baru belum menghasilkan, PRIM bisa kesulitan bayar operasional. Itu krisis kas potensial.
Jadi, PRIM itu semacam cigar butt yang nempel di trotoar. Masih ada sisa asapnya, tapi kamu harus nekat buat ngisep, sambil siap mental kalau tiba-tiba batuk dan muntah. Potensinya? Kalau BPJS cair, proyek jadi, dan revenue loncat, valuasinya bisa multibagger. Tapi bahayanya? Kalau cash kering dan piutang nggak tertagih, ini saham bisa mentok di gocap, atau lebih parah: out dari papan.
Kalau kita gabungkan semua analisis valuasi PRIM dari berbagai pendekatan—baik yang standar kayak PER, PBV, sampai yang super konservatif gaya Benjamin Graham (NCAV & NNCW), bahkan yang lebih ke skenario stress-test kayak write-off piutang BPJS dan Kemenkes—maka hasilnya bukan cuma menunjukkan bahwa saham ini murah, tapi juga menjelaskan kenapa pasar memberi harga semurah itu. Dan spoiler alert: bukan karena undervalued, tapi karena fundamentalnya memang rusak.
Mulai dari yang paling umum: PBV. Secara permukaan, PRIM memang kelihatan kayak hidden gem. PBV-nya cuma 0,2x, artinya harga saham cuma 20% dari nilai bukunya. Tapi kalau kita koreksi nilai buku itu dengan pendekatan konservatif—misalnya dengan menulis habis piutang yang udah >120 hari atau bahkan piutang dari BPJS dan Kemenkes—maka PBV-nya tetap rendah, sekitar 0,21x hingga 0,22x. Tetap kelihatan murah? Sekilas iya. Tapi kita belum selesai.
Lanjut ke PER. PRIM mencatat rugi bersih Rp18,42 miliar di 2024. Itu bikin PER-nya jadi negatif -10,7x. Tapi begitu kita coret piutang macet yang gak jelas itu dari laba, kerugian membengkak jadi Rp63,19 miliar kalau hanya exclude piutang >120 hari, atau bahkan Rp83,5 miliar kalau kita coret juga piutang dari BPJS dan Kemenkes. Hasilnya? PER makin memburuk jadi -3,1x atau -2,36x. Intinya, saham ini gak bisa diukur pakai PER karena bisnisnya masih merugi berat, bahkan makin parah kalau kita realistis soal piutangnya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sekarang kita lihat dari kacamata Graham, lewat NCAV dan NNCW. Setelah kita bersihin piutang tua >120 hari, NCAV PRIM cuma Rp87,13 miliar, artinya per lembar saham hanya Rp25,70. Harga pasar saat ini Rp58. Jadi saham diperdagangkan 2,26x dari NCAV-nya, jelas gak lolos kriteria deep value. Lebih parah lagi, NNCW cuma Rp5,11 miliar (atau Rp1,51/lembar)—dan dengan market cap Rp197 miliar, berarti PRIM dihargai 38,5x dari nilai net-net bersihnya. Buat investor Graham, ini udah sinyal merah besar.
Jadi meskipun PBV kelihatan menarik, pendekatan valuasi lainnya bilang sebaliknya:
PER? Minus dan makin dalam
NCAV? Gak lolos
NNCW? Sangat jauh dari murah
Valuasi aset? Rapuh karena piutang gak likuid dan persediaan menumpuk
Cashflow? Positif tapi cuma bisa dipakai buat nutup lubang vendor, bukan investasi
Singkatnya, PRIM kelihatan murah karena memang pantas dikasih harga diskon. Bukan karena undervalued, tapi karena bisnisnya penuh risiko struktural—mulai dari ketergantungan pada piutang pemerintah yang lambat bayar, ekspansi tanpa hasil, sampai tekanan likuiditas dan potensi gagal bayar ke vendor. Jadi kalau ada yang bilang “PBV-nya murah banget”, ya memang betul. Tapi yang harus ditanya: “Murah karena kesempatan, atau murah karena pasar sudah nyerah?” Dan semua data yang kita bongkar barusan menjawab dengan cukup jelas: murah karena pasar udah nyerah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Meskipun laporan keuangan PRIM tampak seperti daftar luka-luka korporasi—mulai dari piutang macet, rugi operasional, hingga tekanan likuiditas yang nyata—anehnya saham ini masih bertahan di bursa dan bahkan masih ada investor yang memegangnya. Bukan karena mereka tidak baca laporan keuangan, tapi karena ada beberapa potensi tersembunyi yang, kalau semua berjalan mulus (dan itu big if), bisa jadi penyelamat dan alasan kenapa PRIM tetap eksis.
Pertama, kita lihat dari aset. PRIM bukan perusahaan ecek-ecek dari segi skala. Mereka punya aset Rp1,08 triliun, tanpa utang berbunga, dan basis utamanya adalah rumah sakit—bukan startup khayalan. RSU Royal Prima Medan jadi tulang punggung utama, menyumbang Rp229 miliar revenue (77% total), dan masih dikunjungi pasien. Di saat banyak bisnis gak jelas, PRIM setidaknya masih punya bangunan, alat medis, dan pasien nyata. Bahkan proyek bangun-guna-serah di Marelan menyumbang aset Rp186 miliar. Jadi kalau investor lihat neraca, ada sesuatu yang nyata dan bisa dikelola.
Kedua, revenue PRIM masih tumbuh. Dari Rp265 miliar naik ke Rp299 miliar (+12,8%). Bukan cuma angka, tapi cash dari pelanggan juga nyaris setara, yaitu Rp297 miliar. Artinya, layanan rumah sakit mereka memang dipakai dan dibayar—terutama oleh BPJS dan Kemenkes. Masalahnya bukan revenue fiktif, tapi lambatnya pencairan dan tingginya biaya. Ini penting, karena banyak perusahaan lain bahkan gak bisa nyetak cash walau omzet naik. PRIM masih bisa. Kalau suatu saat piutang pemerintah cair (yang sekarang totalnya Rp60 miliar lebih), maka cash langsung terisi, dan krisis likuiditas bisa tertolong.
Ketiga, PRIM sedang ekspansi. Mereka habiskan lebih dari Rp100 miliar buat beli alat medis dan bangun RS baru. RS Marelan memang masih rugi besar (Rp11,7 miliar di 2024), tapi revenue-nya tumbuh 16,5%. Jadi meski sekarang kelihatan seperti beban, Marelan sebenarnya sedang masuk fase “bakar uang sebelum balik modal”. Sama seperti RS Jambi yang dulu rugi, lalu sempat untung, dan sekarang drop lagi. Kalau Marelan bisa break even di 1–2 tahun ke depan, itu bisa mengubah profil keuangan PRIM secara total.
Lalu kenapa masih dipertahankan? Karena buat investor spekulatif, PRIM itu seperti proyek properti terbengkalai—harganya murah banget (PBV 0,2x), bangunannya masih berdiri, dan kalau ada tukang yang bener, proyeknya bisa selesai dan dijual mahal. Kalau piutang cair, Marelan sukses, dan beban ditekan, PRIM bisa balik cetak laba. Bahkan kalau cuma untung Rp10 miliar setahun, market cap bisa lompat 2x lipat. Tentu, itu skenario optimis. Tapi justru di situlah potensi PRIM—bukan karena sekarang bagus, tapi karena ekspektasi masa depan belum mati total.
Jadi singkatnya, PRIM itu bukan saham indah. Tapi seperti rokok terakhir di bungkus: gosong, tipis, tapi buat sebagian orang yang butuh harapan, masih layak disulut. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$MIKA $SILO
1/2