


Volume
Avg volume
PT Adhi Commuter Properti Tbk. (ADCP), pengembang properti berbasis transportasi massal pertama dan terbesar di Indonesia, menghadirkan hunian dengan keunggulan aksesbilitas yang mempermudah masyarakat menjalani aktivitas harian serta berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan perkotaan. ADCP merupakan salah satu anak usaha perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Adhi Karya (Persero), Tbk. yang bergerak dibidang Property, Hospitality & Support. Dimulai dari divisi Transit Oriented Development (TOD) Adhi Karya di tahun 2015 dan berkembang menjadi entitas terpisah pada tahun 2018. PT Adhi Commuter Properti didirikan... Read More
⚖️ Ketidakseimbangan Kekuatan: Menemukan Titik Unggul Modal Besar
Pasar saham adalah arena yang didorong oleh ketidakseimbangan kekuatan. Ketika Smart Money (institusi besar) memutuskan untuk masuk ke suatu saham, mereka menciptakan ketidakseimbangan permintaan vs. penawaran yang masif, yang pada akhirnya memicu kenaikan harga. Jejak ketidakseimbangan ini tidak pertama kali muncul di harga, tetapi di volume transaksi. Tugas Anda adalah menemukan titik awal ketidakseimbangan ini.
Trigger Smart Money adalah alat yang secara spesifik dirancang untuk mendeteksi awal dari ketidakseimbangan kekuatan ini di pasar saham Indonesia. Kami mencari pattern volume yang hanya dapat diukir oleh pihak dengan modal tak terbatas.
Metode kami dimulai dengan Identifikasi Volume Anomali yang Melampaui Batas Logika Pasar. Kami mencari lonjakan volume yang sangat tiba-tiba, yang melampaui rata-rata intraday secara signifikan. Lonjakan ini adalah bukti bahwa ada pihak yang secara sengaja memaksakan pembelian atau penjualan dalam jumlah besar. Keunggulan penting kami adalah Verifikasi Money Flow Dominance. Kami menganalisis secara mendalam apakah lonjakan volume tersebut didorong oleh pembelian agresif (akumulasi) atau penjualan agresif (distribusi). Hanya ketika volume ekstrem ini didominasi oleh arus dana masuk yang kuat, barulah Trigger Smart Money menganggapnya sebagai sinyal akumulasi yang valid. Dengan memfokuskan pada titik awal ketidakseimbangan kekuatan ini, Anda dapat memposisikan diri bersama Smart Money, bukan sebagai korban dari pergerakan harga yang mereka ciptakan.
$ADCP $itmp $ISAT
1/2


$ADCP Saham PT Adhi Commuter Properti Tbk (ADCP) mencatatkan kenaikan sekitar 12% secara Year-to-Date (YTD) hingga Desember 2025. Pergerakan ini cukup menarik karena saham ini sempat tertidur di level "gocap" (Rp50) sebelum akhirnya mengalami kebangkitan volume perdagangan di paruh kedua tahun ini.
Berikut adalah faktor-faktor utama yang mendorong kenaikan harga saham ADCP:
1. Sentimen "Kebangkitan dari Gocap"
Sepanjang awal hingga pertengahan 2025, ADCP lebih banyak tertahan di harga Rp50. Namun, pada akhir Agustus hingga September 2025, terjadi lonjakan volume transaksi yang signifikan (mencapai ratusan juta saham ditransaksikan dalam sehari).
Kenaikan harga dari level terendah Rp50 ke kisaran Rp56 - Rp60 secara matematis memberikan pertumbuhan persentase yang besar (12% hingga 20% dalam waktu singkat).
2. Proyek LRT CITY dan Program 3 Juta Rumah
Sebagai anak usaha Adhi Karya (ADHI) yang fokus pada hunian berbasis transportasi (Transit Oriented Development atau TOD), ADCP mendapatkan sentimen positif dari kebijakan pemerintah:
Program 3 Juta Rumah: Pemerintah (Kabinet Merah Putih) mendorong percepatan hunian layak bagi masyarakat. ADCP dianggap sebagai pemain utama yang memiliki land bank strategis di sepanjang jalur LRT Jabodebek.
Progres Proyek: Beberapa kawasan seperti LRT CITY Tebet dan Ciracas telah memasuki tahap penyelesaian (finishing), yang diharapkan dapat mempercepat pengakuan pendapatan (revenue recognition) di masa mendatang.
3. Kontrak Baru dan Komitmen Serah Terima
Meskipun laba bersih operasional sempat tertekan akibat beban pajak dan penundaan serah terima, pasar merespons positif data operasional perusahaan:
Hingga Mei 2025, ADCP berhasil mengamankan kontrak baru senilai Rp156,7 miliar.
Akta Jual Beli (AJB) Perdana: Pada Juni 2025, ADHI CITY Sentul melaksanakan AJB perdana. Ini memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kepercayaan konsumen serta investor bahwa eksekusi proyek terus berjalan meskipun kondisi industri properti cukup menantang.
4. Perbaikan Likuiditas dan Arus Kas
Dalam Public Expose November 2025, manajemen mengungkapkan bahwa meskipun arus kas operasional masih negatif, kondisinya jauh lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Perusahaan juga berhasil mendapatkan perpanjangan jatuh tempo obligasi dan penurunan suku bunga pinjaman (seperti dari Bank BTN), yang memperlonggar napas keuangan perusahaan.
Mengingat $ADCP bergerak di bidang properti berbasis transportasi (TOD), pantau juga sentimen suku bunga BI. Jika suku bunga dipangkas, sektor ini biasanya mendapat dorongan tambahan.
ADCP menunjukkan ciri klasik “conviction bottom”:
✔ akumulasi asing
✔ supply menyusut
✔ harga konfirmasi naik
✖ valuasi mahal (perlu disiplin)
Jika ADCP berhasil menembus dan bertahan di atas Rp60, ada potensi penguatan menuju target berikutnya di Rp65 - Rp68 seiring dengan re-rating valuasi karena laba yang tetap positif.
$ADCP hahaha otw balik ke 50, offer 55 ke bawah kelihatan boongnya, tinggal cabut guyur kelar. kena karung si A1 deh 😂🤣
@skydrugz27 saya Pembeli Unit $ADCP tapi mangkrak Kak (di Ciputat) sejak 2018. Hahaha. BUMN parah ini. Sekarang minta refund pun dijawab enggak. Bener2 attitudeless BUMN Indonesia.
$PPRO Saham Properti BUMN yang Mencoba Survive
Lanjutan dari postingan sebelumnya di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
PPRO adalah perusahaan properti anak BUMN, sama seperti $ADCP, tapi pasar sering menyamaratakan keduanya seolah satu kelas. Padahal label BUMN itu cuma bendera, bukan jaminan bisnisnya otomatis rapi. Di properti, yang menentukan hidup-mati itu sederhana, seberapa cepat tanah dan bangunan berubah jadi kas, bukan seberapa sering emiten disebut punya proyek. Investor juga sering kejebak ilusi kedua, aset triliunan terlihat besar, padahal bisa saja itu cuma persediaan yang parkir terlalu lama. Di momen seperti ini, PPRO tampak seperti emiten yang sudah bangkit karena rugi mengecil drastis, sementara ADCP tampak seperti emiten TOD yang katanya strategis. Tapi kalau mesin kasnya tersendat dan piutangnya panjang, TOD pun bisa berubah jadi beban. Jadi ukuran bagusnya PPRO tidak boleh dinilai dari nostalgia BUMN, tapi dari ritme penjualan, kualitas tagihan, serta napas likuiditas. Kalau angka-angka itu jelek, status BUMN cuma jadi stiker. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari sisi skala aset pengembangan, PPRO terlihat lebih besar dari ADCP di neraca. Persediaan PPRO per 30 September 2025 Rp8,53 triliun sebagai aset lancar, lalu ada cadangan lahan atau land bank Rp3,80 triliun sebagai aset tidak lancar, totalnya sekitar Rp12,33 triliun persediaan plus cadangan lahan. ADCP punya total persediaan real estat lancar dan tidak lancar Rp6,22 triliun, dengan persediaan real estat Rp3,48 triliun dan tanah belum dikembangkan Rp2,74 triliun. Kalau investor cuma melihat angka persediaan, PPRO berasa lebih jumbo. Masalahnya, luas lahan keduanya tidak sama-sama terbuka rapi seperti emiten township. ADCP baru kebaca jelas potongan luas, Sentul Side 316.973 m2, Ciputat 52.879 m2, Cadas Ngampar 20.163 m2, total eksplisit sekitar 390.015 m2 atau 39,00 hektare. PPRO juga kebaca potongan, contoh lahan Amartha View Semarang 185.139 m2, lalu ada isu pembatalan lahan Rancasari Bandung 89.890 m2. Artinya, kalau investor mau membandingkan luas lahan ala BKSL, KIJA, $BSDE, ASRI, SMRA, PANI, ini belum apple to apple, karena angka hektare total untuk PPRO dan ADCP tidak dibuka sejelas raksasa land bank.
Karena itu, cara membandingkannya harus lewat mesin bisnis dan kualitas siklus kas, di sini PPRO jauh lebih bikin was-was dibanding ADCP. Pendapatan 9M 2025 PPRO Rp230,97 miliar, turun 19,7% YoY, lalu rugi neto Rp47,26 miliar, memang jauh membaik dibanding rugi Rp723,08 miliar tahun sebelumnya, tapi tetap rugi. ADCP lebih kecil skala pendapatan, Rp165,54 miliar dan turun 40,9% YoY, lalu rugi neto Rp4,85 miliar. Di permukaan, ADCP terlihat lebih kecil tapi ruginya juga kecil, sedangkan PPRO terlihat lebih besar tapi ruginya masih lebar. Investor harus lihat sumber pendapatannya, PPRO masih punya porsi recurring yang lumayan untuk ukuran developer apartemen, realti penjualan Rp125,41 miliar atau 54,3%, lalu pendapatan properti hotel, sewa, jasa Rp105,56 miliar atau 45,7% dengan rincian hotel Rp52,41 miliar, sewa Rp40,41 miliar, service charge Rp12,74 miliar. ADCP malah unik, hotel Rp87,47 miliar atau 52,8% sudah mengalahkan penjualan unit Rp75,48 miliar atau 45,6%, sewa cuma Rp2,58 miliar atau 1,6%. Ini membuat ADCP lebih mirip emiten hotel yang kebetulan punya proyek TOD, sementara PPRO masih campuran developer plus operator aset. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Tapi ukuran recurring saja tidak cukup, karena kualitas tagihan dan perputaran modal kerja PPRO itu ekstrem. DSO PPRO sekitar 4.208 hari. Itu bukan cuma lambat, itu seperti cerita penjualan yang uangnya baru datang entah kapan, apalagi disebut banyak berasal dari piutang jangka panjang penjualan lahan ke pihak berelasi atau asosiasi. Bandingkan ADCP, DSO sekitar 45,76 hari, masih manusiawi. Lalu DI PPRO sekitar 14.874 hari, artinya persediaan dan cadangan lahannya terasa seperti gudang puluhan tahun dibanding beban pokok saat ini. ADCP juga lama, DI sekitar 13.313 hari, tapi PPRO tetap lebih panjang. DPO PPRO sekitar 1.470 hari, artinya pembayaran ke pemasok ditahan sangat lama. ADCP juga panjang, DPO sekitar 2.409 hari, tapi konteksnya berbeda karena struktur utang proyek TOD bisa banyak bertumpu pada skema kontraktor dan pihak berelasi. Yang membuat PPRO paling kelihatan berat adalah CCC sekitar 17.612 hari, sedangkan ADCP sekitar 10.949 hari. Ini menggambarkan PPRO lebih lambat mengubah modal tertanam jadi kas dibanding ADCP, padahal ADCP pun sudah termasuk bisnis durasi panjang.
Sekarang taruh PPRO dan ADCP di antara saham properti lain supaya kebaca kelasnya. Kalau bicara recurring income yang benar-benar jadi mesin, PPRO dan ADCP belum masuk kasta itu. PWON misalnya, recurring 9M 2025 sekitar Rp4.097,19 miliar atau 80,06% dari total Rp5.117,71 miliar, itu model landlord mall yang cashflow minded. ELTY recurring Rp909,03 miliar atau 85,2% dari total Rp1,06 triliun, masih bisa napas karena sewa dan pengelolaan kantor. ASRI recurring Rp684,91 miliar dari total Rp1,66 triliun, jadi bantalan ketika penjualan rumah turun. PPRO recurring Rp105,56 miliar masih kecil, ADCP recurring yang dominan hotel Rp90,05 miliar juga kecil, jadi dua-duanya belum punya mesin sewa yang membuat investor bisa lebih santai saat penjualan unit seret.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Bagian yang menentukan bagus atau tidaknya PPRO ada di likuiditas dan cara bertahan hidup. Kas PPRO hanya Rp47,10 miliar, sementara struktur operasionalnya masih rugi dan CFO 9M 2025 minus Rp11,13 miliar. Free cash flow PPRO terlihat positif sekitar Rp20,44 miliar, tapi itu muncul karena ada penerimaan dari pelepasan aset, bukan karena mesin operasi yang sehat. Ini beda kelas dengan ASRI yang CFO Rp643,11 miliar, capex Rp194,43 miliar, free cash flow sekitar Rp448,68 miliar, itu mesin kas beneran. PPRO memang sudah melakukan restrukturisasi besar lewat PKPU, termasuk konversi utang pihak berelasi Rp9,63 triliun menjadi surat berharga perpetual yang sifatnya mendekati ekuitas, serta perubahan struktur obligasi. Ini membantu perusahaan tidak tumbang, tapi juga sinyal bahwa historinya memang sempat berat sekali. ADCP juga tidak sedang ideal, karena pendapatan jeblok dan laba berubah jadi rugi, tapi dari sisi durasi tagihan, ADCP tidak seaneh PPRO.
Kalau investor bertanya sebagus apa PPRO dibanding ADCP dan saham properti lain, jawaban yang paling fair begini. PPRO terlihat membaik karena rugi menyusut drastis, dan porsi pendapatan non-penjualan juga ada, tapi kualitas piutangnya dan siklus kasnya membuat ceritanya masih rawan. ADCP terlihat lebih kecil, tapi ritme tagihan lebih normal, hanya saja model TOD plus ketergantungan pada hotel membuatnya belum jadi mesin properti yang stabil. Dibanding saham properti yang kuat karena recurring besar seperti PWON atau yang punya kas dan free cash flow kuat seperti ASRI, PPRO dan ADCP masih jauh. Jadi PPRO cocok dibaca sebagai saham pemulihan pasca restrukturisasi yang masih harus membuktikan satu hal, piutang benar-benar berubah jadi kas dan persediaan benar-benar bergerak, bukan sekadar angka besar yang parkir di neraca.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/7






