Investor yang Carl Aset ke Luar Negeri
Ketika negara atau kerajaan mulai bergerak ke arah rapuh dan gagal, dari kacamata sejarah sebenarnya konglomerat besar zaman now cuma melakukan satu hal yang sama yang dilakukan pedagang cerdas di zaman dinasti China dulu yakni menyelamatkan diri dan modal sebelum istana betul-betul runtuh. Jadi pertanyaan apakah wajar grup seperti Sinar Mas, Salim, atau Lippo belanja aset di luar negeri jawabannya justru ini textbook survival, bukan sekadar gaya-gayaan global. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pertama, lihat dulu kondisi objektif Indonesia sekarang. Fragile States Index tahun 2024 mencatat skor Indonesia di 63,7, turun dari 65,6 tahun sebelumnya, peringkat sekitar 102 dari 179 negara, kategori warning. Ini artinya negara tidak masuk zona perang, tapi jelas bukan negara super stabil. Dari sisi fiskal, tax ratio turun dari 10,38% pada 2022 ke 10,31% pada 2023 lalu turun lagi ke 10,08% pada 2024. Bank Dunia memperkirakan tax ratio akan seret di kisaran sekitar 10% sampai 2027 hanya naik pelan-pelan ke 10,2% lalu 10,4% dan mentok di 10,5%. Kombinasi negara rapuh level menengah, penerimaan pajak tipis, dan kebutuhan belanja besar menciptakan lingkungan kebijakan yang bisa berubah cepat dan kadang keras.
Contoh risiko kebijakan baru kelihatan di sektor sawit. Pemerintah lewat operasi militer menyita sekitar 3,7 juta hektare kebun sawit sekitar 30% luas sawit nasional dan memindahkan hampir separuhnya ke BUMN baru Agrinas Palma Nusantara yang berafiliasi militer. Narasinya anti korupsi dan penertiban izin, tapi di lapangan banyak perusahaan menghentikan investasi dan perawatan kebun karena bingung status hukum, sementara jutaan pekerja menggantung hidup di atas lahan yang statusnya tiba-tiba dipersoalkan. Ini contoh paling jelas betapa cepat regulasi bisa mengubah lanskap bisnis satu sektor besar. Dari kacamata investor institusional ini sinyal bahwa konsentrasi aset di satu negara dan satu komoditas itu berbahaya.
Kalau dibawa ke analogi dinasti China, situasinya mirip akhir Han atau Jin awal negara masih berdiri, tapi pajak makin agresif, izin tanah sering dipersoalkan, faksi militer masuk ke ranah ekonomi, dan kepastian hukum naik-turun tergantung siapa yang pegang mandat. Pedagang yang hanya punya aset di satu wilayah dan terlalu dekat dengan satu penguasa sering ikut tenggelam ketika peta politik bergeser. Yang bertahan adalah mereka yang punya kaki di beberapa wilayah, beberapa mata uang, dan beberapa jenis aset. Fan Li di era negara Yue misalnya memilih angkat kaki setelah misinya membantu raja selesai, ganti nama dan pindah ke negara Qi, lalu bangun kekayaan baru di komoditas lokal. Kisah Lü Buwei di era Qin menunjukkan contoh sebaliknya terlalu all in ke satu penguasa sampai akhirnya terseret dan habis.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sekarang lihat konglomerat Indonesia. Sinar Mas misalnya, yang mulai dari perdagangan lalu masuk pulp and paper, sawit, batubara, keuangan, dan properti. Grup ini tidak hanya bermain di Indonesia. Sinarmas Land yang tercatat di Singapura punya operasi properti di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan China, lalu pada 2017 membeli gedung perkantoran besar di kawasan inti London dengan nilai sekitar 269 juta dolar Amerika. Asia Pulp and Paper yang bagian dari grup yang sama mengakui bahwa portofolio propertinya tersebar di Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, dan China, dengan proyek ikonik seperti Bund Center di Shanghai. Dari sudut pandang risk management, ini artinya arus kas dan nilai aset tidak sepenuhnya tergantung pada regulasi Jakarta atau satu presiden saja.
Salim Group punya sejarah trauma langsung dengan risiko negara. Di era Soeharto, grup ini jadi konglomerat terbesar dan sangat dekat dengan kekuasaan. Ketika krisis 1997–1998 meledak dan rezim jatuh, rumah keluarga pendiri dibakar, beberapa aset besar seperti Bank Central Asia dan Indocement diambil alih dan dijual lewat BPPN, dan Sudono Salim kabur ke Singapura. Setelah itu strategi mereka jauh lebih tersebar. Keluarga Salim memakai First Pacific di Hong Kong sebagai kendaraan investasi regional, memegang Indofood dan aset lain lewat struktur luar negeri. Studi tentang investor Tionghoa Asia mencatat bahwa Liem Sioe Liong dan mitra China Pacific Group juga masuk ke China dalam berbagai proyek mulai dari pabrik sepatu, minyak goreng, hotel, properti, sampai rencana pabrik mobil di Fujian dan Wuhan. Ini bukan sekadar ekspansi, tapi juga proses memindahkan sebagian kekayaan ke yuridiksi lain setelah merasakan langsung bagaimana negara bisa menyita dan merombak struktur bisnis dalam hitungan tahun.
Lippo Group bahkan cukup terang-terangan memposisikan diri sebagai kelompok multinasional. Mereka punya kehadiran di Asia dan Amerika Utara, bukan hanya Indonesia. OUE yang jadi lengan properti global berfokus mengakuisisi dan mengelola properti ikonik di luar Indonesia, portofolionya mencakup aset di Singapura, Asia lain, dan Amerika Serikat, termasuk lewat REIT berbasis Singapura. Struktur semacam ini bikin grup bisa mengakses pasar modal dan pendapatan sewa di negara yang rule of law dan rezim perpajakannya cenderung lebih stabil. Kalau ada gejolak politik atau krisis di Indonesia, nilai keseluruhan grup lebih terlindungi karena kas dan aset tidak semuanya duduk di dalam negeri.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jadi kalau ditanya apakah wajar konglomerat Indonesia belanja aset luar negeri dalam konteks risiko negara yang bisa memburuk, jawabannya bukan cuma wajar, tapi rasional. Dari sisi matematika risiko, mereka sedang melakukan diversifikasi negara, mata uang, dan sistem hukum. Indonesia masih kategori warning di Fragile States Index, tax ratio yang tipis memaksa pemerintah kreatif mencari penerimaan, dan contoh kebijakan agresif seperti penyitaan jutaan hektare kebun sawit menunjukkan bahwa risiko kebijakan bukan teori abstrak. Di kombo seperti ini, pemilik modal besar yang tidak menaruh sebagian aset di luar justru bisa dibilang ceroboh.
Dari sisi moral publik, tentu gampang melihat langkah ini sebagai kaburnya modal dan kurang nasionalis. Namun kalau pakai perspektif pedagang di zaman dinasti, mereka hanya menolak jadi korban ketika elit politik di satu negara gagal menjaga stabilitas. Di akhir dinasti Han dan Jin, keluarga kaya yang seluruh asetnya berupa tanah di satu provinsi sering tersapu habis oleh perang dan pajak darurat. Keluarga yang punya hubungan dagang ke beberapa negara kota, simpanan perak di luar, dan kemampuan pindah usaha ke wilayah lain punya peluang jauh lebih besar untuk tetap eksis setelah bendera berganti. Prinsipnya sama dengan konglomerat hari ini yang menaruh sebagian portofolio di London, Hong Kong, Singapura, atau Shanghai.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Untuk investor ritel, pelajarannya sederhana meskipun skala jauh lebih kecil. Kalau konglomerat dengan akses dalam ke pemerintah pun merasa perlu lindungi diri lewat aset global, apalagi investor kecil yang tidak punya kursi di Istana. Menaruh 100% kekayaan di satu negara yang tax ratio nya tipis, kebijakan pajaknya lagi dirombak, dan indeks kerentanannya masih di zona warning, itu artinya menerima risiko negara tanpa bantalan. Bukan berarti investor harus paranoid dan menukar semua rupiah jadi dolar, tapi meniru pola dasar yang sama itu masuk akal punya sebagian portofolio dalam aset luar negeri yang likuid dan yuridiksi yang lebih stabil, sambil tetap memanfaatkan peluang di dalam negeri yang memang masih tumbuh.
Di dunia di mana tidak ada dinasti dan tidak ada negara yang abadi, langkah konglomerat Indonesia untuk menanam akar di beberapa negara sekaligus justru sangat konsisten dengan logika survival dari zaman Zhou, Qin, Han, sampai Jin. Bedanya hanya sekarang bentuk asetnya gedung kantor di London dan REIT di Singapura, bukan lagi karavan garam dan lahan sawah di dua kerajaan.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BSDE $LPKR $ICBP
