Ketika Kaisar Dinasti China Terlalu Rakus Tarik Pajak Demi Memperkaya Diri Sendiri dan Keluarganya: Investasi Ke Negara vs Ke Swasta
Saat ini negara kita mulai mendekati kondisi China di zaman dinasti yang mengalami kemunduran. Polanya mirip. Kasus kriminal dan begal banyak, korupsi banyak, pajak dan cukai berbagai jenis, pejabat ajaib bikin pernyataan di media massa, bencana jadi ajang pencitraan. Kalau lihat data, rasio pajak Indonesia tahun 2024 cuma sekitar 10,08% dari PDB, turun dari 10,31% di 2023, dan proyeksi pemerintah menyebut 2025 bisa turun lagi ke kisaran 10,03%. Ketimpangan pengeluaran juga tidak kecil, Gini ratio September 2024 berada di level 0,381 dan naik sedikit dibanding Maret 2024. Di sisi lain, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2024 hanya 37 dari 100 dan menempatkan negara di peringkat 99 dari 180 negara, masih di bawah rata-rata dunia. Sementara itu, laporan kriminal menunjukkan pencurian dan pencurian kendaraan bermotor menjadi jenis kejahatan yang paling sering terjadi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kombinasinya cukup jelas, negara butuh uang, basis pajak sempit, ketimpangan tinggi, korupsi masih terasa, dan rasa aman masyarakat pelan-pelan tergerus. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau mundur ke China zaman dinasti, pola ini pernah terjadi berkali-kali, bedanya di sana tidak ada media sosial untuk protes dan tidak ada pemilu berkala untuk menyalurkan amarah. Dinasti Qin misalnya, menyatukan Tiongkok dengan kekuatan militer dan sistem hukum yang keras, lalu menekan rakyat dengan pajak berat dan kerja paksa untuk tembok, jalan, dan mausoleum. Penelitian modern menegaskan bahwa rezim Qin tidak berhasil membuat rakyat makmur, malah menguras tenaga lewat pajak dan kerja rodi, sehingga memicu pemberontakan besar Chen Sheng dan Wu Guang yang meletus sekitar tahun 209 sebelum Masehi dan menjadi pemicu runtuhnya Qin hanya beberapa tahun setelah Qin Shi Huang wafat. Di akhir Dinasti Ming, ceritanya berbeda, tetapi inti beban ke rakyat kurang lebih sama. Sistem pajak dirombak lewat Single Whip Reform yang menggabungkan berbagai kewajiban menjadi pembayaran perak, membuat ekonomi sangat bergantung pada arus perak global. Ketika pasokan perak terganggu dan harga perak melonjak, petani kesulitan membayar pajak, pemerintah menambah berbagai pajak tambahan atas tanah dan produksi, dan beban pajak berlebih di sektor pertanian ikut mendorong lahirnya gelombang pemberontakan akhir Ming.
Qing di abad ke sembilan belas malah kena badai dari banyak arah sekaligus. Taiping Rebellion berlangsung sekitar 14 tahun, melanda lebih dari setengah wilayah penting kekaisaran, dan menewaskan puluhan juta jiwa. Untuk memadamkan pemberontakan, Qing menghabiskan ratusan juta tael perak dan terpaksa menarik kontribusi besar dari pedagang, menaikkan pajak tidak langsung, serta menambah pungutan di tingkat lokal. Dalam banyak kasus, negara menutupi kelemahan fiskal dengan mengeluarkan uang kertas dalam jumlah besar yang tidak sepenuhnya didukung perak, yang akhirnya terdepresiasi dan memicu inflasi. Polanya konsisten, setiap kali negara kepepet, beban dipindahkan ke rakyat dan sektor produktif lewat pajak, pungutan, dan manipulasi uang. Dinasti bisa jatuh, raja dan kaisar bisa berganti, tetapi refleks fiskal negara jarang berubah.
Di titik ini, sebagai investor di zaman dinasti, langkah pertama yang rasional bukan berharap negara jadi suci dan hemat, tetapi menerima bahwa negara adalah entitas yang selalu lapar pendapatan dan kadang kalap ketika krisis. Investasi all in ke pemerintah dalam konteks itu adalah bentuk bunuh diri pelan-pelan. Bentuk all in zaman dulu misalnya meminjamkan perak besar-besaran ke istana, menggantungkan hampir semua bisnis pada monopoli dan lisensi khusus dari pejabat, atau menyimpan kekayaan hanya dalam bentuk hak istimewa yang sah sejauh dinasti itu masih berkuasa. Begitu dinasti runtuh dan dinasti baru naik, hak itu bisa dihapus dengan satu keputusan. Investor yang lebih cerdas di era dinasti menaruh sebagian kecil kekayaan di jalur negara untuk memanfaatkan peluang, tetapi fondasi kekayaannya justru ada di aset yang tetap bernilai meski istana berganti-penghuni.
Bentuknya cukup konkret. Pertama, tanah subur dengan akses air di beberapa wilayah, bukan cuma di sekitar ibukota yang paling sering jadi medan perang dan rebutan pajak. Kedua, stok pangan dan komoditas dasar seperti gabah, garam, atau kain, yang harganya bisa naik berlipat ketika gagal panen dan perang membuat distribusi terganggu. Ketiga, logam mulia dan benda kecil bernilai tinggi yang bisa dibawa kabur ketika kota jatuh, perak dan emas bukan hanya perhiasan, tetapi asuransi mobilitas. Keempat, jaringan usaha yang berguna di masa damai maupun kacau, seperti logistik, bengkel perahu, jasa pengawalan, dan kurir, yang justru laris ketika kejahatan naik dan negara sibuk perang. Terakhir, jaringan manusia keluarga yang tersebar antara jalur pedagang dan jalur pejabat, sehingga siapa pun yang menang, selalu ada pintu untuk dinegosiasikan ulang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sebagai investor di Indonesia hari ini, situasinya secara formal jauh lebih modern, tetapi struktur tekanannya mirip. Kita punya undang-undang, lembaga pajak modern, bank sentral independen, dan sistem politik dengan rotasi kekuasaan yang lebih teratur. Namun logika dasar fiskal tetap sama, pemerintah selalu butuh uang. Tax ratio sekitar 10,08% di 2024, dengan proyeksi sekitar 10,03% di 2025, masih jauh di bawah banyak negara tetangga dan sangat jauh dari standar negara maju. Gini ratio di kisaran 0,381 menunjukkan ketimpangan pengeluaran yang tidak kecil. Skor korupsi 37 dengan peringkat 99 menggambarkan sektor publik yang masih rentan permainan kepentingan. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika pajak dan cukai terus diutak-atik, sektor yang sedang hangat seperti kripto, tambang, dan rokok mendapat perhatian ekstra, dan berbagai wacana pajak baru muncul dari waktu ke waktu.
Maka sebagai investor di Indonesia, pelajaran dari zaman dinasti terasa sangat relevan. Pertama, jangan menggantungkan seluruh portofolio pada pemerintah. Surat utang negara, reksa dana berbasis SBN, proyek APBN, dan emiten BUMN sah-sah saja sebagai bagian portofolio, tetapi jangan dijadikan satu-satunya penopang kekayaan. Investor perlu punya pilar lain yang berdiri di dunia usaha riil dengan basis konsumen luas, bukan hanya satu instansi. Kedua, investor sebaiknya meniru pola sebar aset gaya dinasti, dengan versi modern. Tanah dan gudang diganti dengan kombinasi bisnis kebutuhan pokok, infrastruktur dasar, dan layanan yang benar-benar digunakan masyarakat, bukan hanya hidup dari satu kontrak pemerintah. Ketiga, sebagian portofolio idealnya diekspos ke luar negeri, entah lewat saham global, ETF, atau instrumen lain, sehingga risiko perubahan kebijakan fiskal dalam negeri tidak menyeret semua kekayaan sekaligus.
Keempat, investor perlu menyadari bahwa siklus pajak dan regulasi akan selalu berubah, kadang pelan, kadang mendadak. Karena itu, penting punya bantalan kas dan aset likuid, supaya ketika ada aturan baru yang memukul satu sektor, investor tidak terpaksa menjual aset bagus di harga murah hanya demi bertahan. Kelima, sama seperti keluarga pedagang di zaman dinasti yang berinvestasi pada pendidikan dan jaringan, hari ini investasi pada pengetahuan, kemampuan membaca regulasi, dan kemampuan pindah-sektor sama pentingnya dengan investasi uang. Portofolio yang anti fragil di Indonesia bukan portofolio yang berharap negara mendadak berhenti korupsi dan stop mengutak-atik pajak, tetapi portofolio yang disusun dengan asumsi jujur bahwa pajak bisa naik, aturan bisa berubah cepat, dan implementasi di lapangan bisa berantakan.
Intinya, baik di China zaman dinasti maupun di Indonesia hari ini, peran investor yang bertahan bukan jadi pengagum negara, tetapi jadi pengamat tenang yang paham bahwa negara selalu butuh uang dan cenderung menekan sektor produktif ketika terjepit. Dari situ, investor menyusun langkah supaya bisa memanfaatkan peluang tanpa ikut tenggelam ketika kapal politik oleng. Tidak all in pada pemerintah, sebar aset ke berbagai jenis dan wilayah, pegang aset riil yang tetap berguna, dan selalu sisakan ruang untuk bergerak ketika sejarah kembali mengulang pola lama dalam bungkus baru.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BBRI $BMRI $BBNI
