imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Tahun-Tahun Terakhir Charlie Munger

Charlie Munger pernah berencana menghabiskan masa tuanya di sebuah rumah cantik di Montecito dengan pemandangan laut yang memukau. Ia merancang seluruh kawasan itu sendiri, hingga penduduk setempat menyebutnya “Mungerville.” Namun bertahun-tahun sebelum akhir hidupnya, ia justru memilih tetap tinggal di rumah lamanya di Los Angeles. Rumah itu panas, tanpa pendingin udara, dan ketika gelombang panas datang, teman-temannya membawa kipas angin serta kantong-kantong es untuk mendinginkan perpustakaan kecil tempat ia sering membaca.

Keputusan itu tampak tidak lazim bagi seorang miliarder sepuh. Tetapi alasannya sederhana: di rumah itu, ia dekat dengan orang-orang yang dicintainya dan dekat dengan pekerjaan yang membuat hidupnya terasa berarti. Di usia yang mendekati satu abad, Munger tidak mencari ketenangan. Ia mencari rangsangan intelektual, tantangan baru, dan hubungan manusia yang hangat.

Pembelajar Seumur Hidup
Hingga beberapa minggu sebelum wafat, Munger masih mempertanyakan apakah Moore’s Law akan bertahan di era kecerdasan buatan. Ia mendiskusikan hal itu dengan teman-temannya, bukan hanya untuk menemukan jawaban, tetapi untuk memandang masa depan dengan lebih jernih.

Pikirannya tidak pernah pasif. Ketika penglihatan kirinya hilang akibat operasi katarak yang gagal dan mata kanannya mulai bermasalah, ia tetap membaca. Ia bahkan bersiap belajar Braille jika diperlukan. Penglihatannya akhirnya membaik perlahan, tetapi tekadnya memberi pesan kuat: penurunan fisik tidak harus berarti penurunan standar mental.

Keberanian Mengubah Pandangan
Selama beberapa dekade, Munger nyaris tidak pernah melirik saham batu bara. Ia tidak menyukainya dan menganggap industrinya suram. Tetapi pada 2023, ia justru melakukan salah satu langkah besar terakhirnya: membeli dua perusahaan batu bara, Consol Energy dan Alpha Metallurgical Resources.

Pada saat itu, sentimen publik terhadap batubara berada di titik rendah. Banyak investor menolaknya. Namun Munger meninjau ulang data dan konteksnya, lalu menyimpulkan bahwa pandangan pasar terlalu ekstrem. Ketika melihat artikel yang menggambarkan industri itu benar-benar hancur, ia hanya bergumam, “Horse feathers”—omong kosong.

Keputusan itu menghasilkan lebih dari $50 juta. Namun pelajaran utamanya jauh lebih besar: jangan biarkan opini lama membuat kita buta terhadap bukti baru. Bahkan mendekati usia 100 tahun, Munger masih bersedia mengakui bahwa ia bisa salah—dan bertindak berdasarkan pemahaman yang lebih baik.

Berinvestasi pada Generasi Berikutnya
Pada 2005, seorang remaja 17 tahun bernama Avi Mayer mengetuk pintu rumah Munger sambil membawa kitab Torah. Mayer mengira Munger adalah Yahudi. Dugaan itu keliru, tetapi pertemuan tersebut menjadi awal hubungan yang panjang.

Mayer sedang berjuang dengan ADHD, tertinggal dari teman-temannya yang masuk kuliah, dan ragu soal masa depannya. Munger mendengarkan, memberi arahan, dan mengajaknya belajar di “Munger University” yang disampaikannya dengan nada bercanda, tetapi dengan komitmen yang serius.

Beberapa tahun kemudian, Mayer dan sahabatnya Reuven Gradon mulai membeli properti. Munger memperhatikan dari jauh, lalu suatu hari berkata, “Saya wisuda kalian.” Ia menawarkan modal, dan yang lebih penting, pemikiran serta pengalamannya. Mulai 2017, mereka bertiga membeli hampir 10.000 apartemen taman di California Selatan, menjadikan Afton Properties salah satu pemilik terbesar di kategorinya.

Munger tidak hanya memberi modal. Ia memilih lokasi, meninjau konstruksi, memikirkan lanskap, bahkan menetapkan jenis pohon yang harus ditanam. Ia meminta mereka menggunakan pinjaman jangka panjang demi kestabilan. Portofolio itu kini bernilai sekitar $3 miliar.

Kisah ini menunjukkan keyakinan Munger bahwa modal intelektual dan moral sama pentingnya dengan modal finansial.

Menjaga Lingkaran Sosial
Ketika mobilitasnya menurun dan golf tak lagi mungkin, Munger hanya takut pada satu hal: kesepian. Setelah istrinya meninggal pada 2010, kekosongan itu terasa membesar. Ia lalu menciptakan rutinitas baru.

Setiap Selasa pagi, ia sarapan bersama sekelompok teman di Los Angeles Country Club. Mereka datang pukul 7.30 dan bisa duduk hingga berjam-jam. Ada investor lama, eksekutif perusahaan besar, dan pemimpin bisnis teknologi. Meja itu penuh cerita, humor, kritik tajam, dan ide-ide investasi.

Di usia lanjut, Munger menjadi lebih hangat dan reflektif. “Pada usia saya, Anda membuat teman baru, atau Anda tidak punya teman,” katanya. Namun kejernihan analitisnya tidak memudar. Ketika seorang eksekutif Ford hadir, Munger tiba-tiba membeberkan data laba per lini produk Ford selama 25 tahun dan berkata, “Saya tidak tahu kenapa kalian repot membuat mobil,” sambil menunjuk fakta bahwa keuntungan terbesar Ford datang dari truk.

Menghargai Kenikmatan Sederhana
Usaha keluarganya menjaga diet Munger sering gagal. Ia menolak air mineral, lebih suka hot dog Costco, pai ceri, atau sandwich ayam sederhana. Setiap Jumat, teman-temannya membawa makan siang, dan itu menjadi ritus kecil yang menghangatkan hari-harinya.

Ketika keluarganya memasak Spam fried rice karena ia menyukainya sejak masa dinas militer, Munger mengeluh rasanya berbeda. Cucunya menjawab santai, “Granddad, itu karena lidahmu yang berubah.”

Di hari-hari terakhirnya, tidak ada makanan istimewa. Salah satu makanan terakhirnya adalah burger In-N-Out dan Diet Coke. Kesederhanaan itu tidak memperkecil kebahagiaannya. Sebaliknya, hal itu justru memperlihatkan bahwa kebahagiaan sering datang dari hal-hal kecil.

Menghadapi Akhir dengan Tenang
Menjelang ulang tahunnya yang ke-100 pada 1 Januari 2024, Munger tahu kesehatannya melemah. Ia tetap bercanda, tetapi ketika ditanya bagaimana keadaannya, ia berkata, “Ada banyak yang salah dengan saya.”

Namun ia tenang ketika membicarakan masa depan Berkshire. “Setelah dibangun, Anda tidak perlu lagi Warren dan Charlie,” ujarnya. “Yang kita punya adalah kerangka berpikir.”

Pada malam Thanksgiving, beberapa hari sebelum meninggal, ia dirawat di rumah sakit dekat Montecito. Ia meminta keluarga keluar sebentar. Ia ingin menelepon Warren Buffett—sahabat sekaligus rekannya selama lebih dari setengah abad—untuk terakhir kalinya. Mereka berbicara dan saling mengucapkan selamat tinggal.

Momen itu menjadi penutup sebuah perjalanan panjang yang penuh kejernihan, keberanian, dan keteguhan hati.

Kesimpulan
Tahun-tahun terakhir Charlie Munger memperlihatkan bahwa ketajaman berpikir tidak harus hilang dengan bertambahnya usia. Ia terus membaca ketika penglihatannya melemah, meninjau ulang pendapatnya ketika faktanya berubah, dan menjaga hubungan yang membuat hidupnya tetap bergerak. Tidak ada dramatisasi dalam caranya menjalani hari-hari itu—hanya kebiasaan yang konsisten ia lakukan sepanjang hidup.

Dari kisah ini, kita diingatkan bahwa kebiasaan-kebiasaan sederhana seperti belajar, berpikir jernih, bersikap terbuka, dan menjaga relasi bukan sekadar atribut seorang investor hebat, tetapi fondasi untuk menjalani hidup dengan baik. Jika kita bisa mempertahankan kebiasaan tersebut dalam jangka panjang, kualitas keputusan dan cara kita melihat dunia ikut berubah menjadi lebih sehat dan lebih rasional.

(Diadaptasi dari https://cutt.ly/4tia8VQT)

* * * * * * *

P.S. Tahukah Anda, Jesse Livermore dan Charlie Munger meninggal dunia pada tanggal yang sama, yaitu 28 November (1940 dan 2023). Sayangnya, mereka meninggal dunia dengan cara dan kondisi yang bertolak belakang. Saya yakin, Charlie Munger telah mempelajari segala sesuatu tentang Jesse Livermore, baik pemikiran maupun kehidupannya. Dia telah mempelajari penyebab kegagalan Jesse Livermore dan berupaya untuk tidak mengulanginya, sebagaimana perkataannya yang terkenal, “All I want to know is where I’m going to die, so I’ll never go there.”

Walaupun demikian, Charlie Munger tidak membuang bayi bersama dengan air mandinya. Dia tetap memetik pelajaran dari pemikiran Jesse Livermore yang berharga. Misalnya, Jesse Livermore berkata, “It never was my thinking that made the big money for me. It always was my sitting.” Jelaslah bahwa Charlie Munger telah mengadaptasi pemikiran itu saat berkata, “It never was my thinking that made the big money for me. It always was my sitting.”

Kisah dua tokoh ini menunjukkan bahwa pemahaman mendalam tentang pasar tidak otomatis menjamin arah hidup yang serupa. Pada akhirnya, yang membedakan hasil adalah bagaimana seseorang menerapkan kebijaksanaan itu dalam keputusan sehari-hari. Pertanyaannya, bagaimana kita sendiri mempraktikkan apa yang kita anggap benar?

@Blinvestor

Random Tags: $ADRO $ADMR $AADI

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy